Headline
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.
EMPAT puluh tahun setelah kelahiran Anak Bajang Menggiring Angin, sang adik kini menyusul sudah. Akhir pekan lalu, Anak Bajang Mengayun Bulan mewujud dalam buku setelah menggenapi kisahnya dalam rubrik cerita bersambung di Harian Kompas sejak September 2021 hingga Maret 2022.
Peluncuran novel tersebut berlangsung pada Selasa (29/3) di toko buku Gramedia Yogyakarta, dengan penyerahan buku dari pihak penerbit, Gramedia Pustama Utama, kepada sang penulis, Dr Gabriel Possenti Sindhunata SJ alias Romo Sindhu.
Seperti halnya Anak Bajang Menggiring Angin yang bertolak dari imajinasi penulis atas kakawin Ramayana, kisah kali ini pun merupakan improvisasinya atas kisah pewayangan.
Anak Bajang Mengayun Bulan menceritakan kelahiran dan kehidupan sepasang kakak-beradik. Lahir dari rahim Dewi Sokawati dalam waktu nyaris bersamaan, keduanya memiliki paras yang jauh berbeda. Sumantri, sang kakak, layaknya manusia yang tampan. Sementara itu, sang adik, lahir dengan paras raksasa yang bertubuh kerdil.
Perbedaan rupa tersebut di kemudian hari membuat perbedaan besar akan nasib mereka. Sang ayah, Begawan Swandagni, beranggapan wajah buruk Sukrasana merupakan pertanda dosanya sebagai manusia yang tidak bisa lepas dari nafsu.
“Jika kau tak mau menerima anak yang jelek ini, Sukrosono ini, karena dia lahir dari nafsu, dari mana kau yakin anakmu yang tampan itu, Sumantri, tidak lahir dari nafsu, sehingga kau mau menerimanya selagi kau menolak anak yang jelek ini. Jawablah, Begawan!”
Begawan Swandagni kehilangan kesabarannya. Pendengarannya tuli. Ia berpikir telah melakukan noda. Tanda dari noda adalah anaknya yang jelek itu, dan baginya, noda itu dosa. Karena itu, tak cukup bila dosa itu dibersihkan. Dosa itu harus disingkirkan.
“Anak itu harus dibuang, Sokawati.”
Namun, meski ditolak sang ayah dan sang kakak, Sukrosono tetap berwatak mulia. Dianggap terlahir dari dosa nafsu, Sukrosono seolah justru menjadi metafora bahwa manusia tidak dapat selalu mengingkari dan menyalahkan nafsu.
Dalam acara peluncuran, Romo Sindhu mengemukakan proses penulisan novel Anak Bajang kedua ini sesungguhnya sudah berlangsung sejak 13-14 tahun lalu. Namun, dirinya mengalami kebuntuan, bahkan untuk sekadar menulis bab pertama.
“Terus saya coba lagi, tidak jalan lagi. Tapi di tengah-tengah saya masih mencoba terus untuk betul-betul bergulat, dan baru pada masa pandemi saya bisa menyelesaikan. Entah bagaimana tiba-tiba sudah selesai," jelas novelis yang juga mantan jurnalis tersebut.
Tokoh Sukrosono yang ia tulis, menurutnya, merupakan representasi dari figur anak bajang, yaitu seorang raksasa bertubuh kecil yang tidak sempurna, tetapi ingin mencapai kesempurnaan dengan beragam pengorbanan. Ia juga mengatakan, kisah kakak-beradik tersebut sebenarnya merupakan cerita sederhana dalam jagat pakeliran wayang. Namun, kesederhanaan itu justru membuat dirinya penasaran untuk mengeksplorasi, dan berimajinasi.
"Ternyata begitu banyak hal yang bisa saya kupas, misalnya tentang pertentangan antara nasib dan kebebasan, tentang kesia-siaan, cita-cita, dan bagaimana akhirnya yang jelek itu justru dibutuhkan oleh yang baik agar yang baik menjadi sempurna. Itu nilai-nilai yang saya gulati ketika menggarapnya," kata Romo Sindhu.
Ia juga ingin memberikan kritik kekuasaan melalui cerita yang ia tuliskan bahwa untuk meraih kekuasaan terkadang harus dilakukan dengan banyak pengorbanan. "Novel ini ialah refleksi kemanusiaan dan kritik terhadap ambisi, cita-cita, dan kritik terhadap kekuasaan, salah satu telaga untuk memaknai peristiwa-peristiwa yang kini tidak masuk akal, buku ini bisa jadi bahan perenungan," jelasnya.
Redaktur Kompas Hilmi Faiq menambahkan, meski menampilkan cerita fiksi dari tokoh pewayangan, novel Anak Bajang Mengayun Bulan tetap mampu mengakomodasi para pembaca untuk merefleksi berbagai persoalan dan isu-isu terkini sehingga nilai-nilai yang terdapat dalam cerita novel akan tetap seusai dengan perkembangan peradaban manusia.
"Saya pikir, pembaca yang bijak tidak hanya melihat elemen wayangnya, tetapi juga melihat bagaimana pergulatan kemanusiaan yang disampaikan dalam buku ini. Apa yang disajikan dalam buku ini terjadi pada kita, misalnya perebutan kekuasaan, mengedepankan ambisi, pengkhianatan, jatuh cinta yang tidak tersampaikan, cinta yang mendua, dan sebagainya,” ungkapnya dalam kesempatan serupa. (*/M-2)
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Judul: Anak Bajang Mengayun Bulan
Penulis: Sindhunata
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Terbit: April 2022
ISBN: 9786020656038
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved