Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Menabuh Kompang Membangkitkan Tradisi

FATMAWATI ADNAN
20/3/2022 05:30
Menabuh Kompang Membangkitkan Tradisi
Berlatih main kompang.(DOK GRUP KOMPANG SENAPELAN)

SECARA leksikal, kompang bermakna 'gendang pipih bulat, dibuat dari tabung kayu pendek, ujungnya agak lebar, satu ujungnya diberi tutup kulit' (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2016). Akan tetapi, secara semantis, kata kompang meng­alami perluasan makna. Kompang tidak lagi dimaknai sebatas nomina berupa gendang, tetapi didefinisikan sebagai seni tradisi. Kedua makna itu tetap dipakai dalam komunikasi. Tentu saja sesuai dengan konteks kalimat yang melatarinya.

Sebagai seni tradisi, kompang mengusung warna lokal yang mencerminkan budaya masyarakat. Pewarisannya pun telah berlangsung dari masa ke masa, beralih generasi. Hingga pada era milenial saat ini, kompang masih eksis di tengah-tengah gempuran budaya global yang terus mendesak.

Kompang biasanya dihadirkan pada acara tepuk tepung tawar, berinai curi, mengarak pengantin, turun mandi, mandi safar, dan khitanan. Selain itu, kompang sering mengiringi pencak silat, mengantar kepergian, dan menyambut kepulang­an jemaah haji, menyambut pejabat dan pemuka masyarakat, mengisi acara peringatan hari besar dan pertunjuk­an kesenian Melayu, dan lain-lain.

Menurut sejarah, kompang berasal dari jazirah Arab yang dibawa para pedagang India muslim ke tanah Melayu pada zaman Kesultanan Malaka. Diperkirakan kompang tumbuh dan berkembang di Semenanjung Melayu pada abad ke-13 Masehi. Kompang kemudian meluas perkembangannya hingga ke seluruh puak Melayu yang ada di Nusantara. Bukan hanya di Indonesia, kompang juga ada di Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, dan Thailand.

Di Provinsi Riau, salah satu kantong puak Melayu terbesar di Indonesia, kompang berkembang di hampir seluruh kabupaten/kota. Setiap daerah memiliki grup-grup kompang yang kondisi eksistensinya beragam. Ada yang eksis dengan kuat, tetapi ada juga yang terseok-seok.

Kabupaten Bengkalis dapat dikatakan sebagai sentra perkembangan kompang di Riau. Bahkan, pada pertengahan Janua­ri 2022, di Kecamatan Bantan, Kabupaten Bengkalis diadakan Helat Silaturahim dan Main Kompang Bersama yang diikuti lebih dari 200 orang penabuh kompang. Pemerintah Kabupaten Bengkalis dan Lembaga Adat Melayu Riau Kecamatan Bantan menaja kegiatan itu untuk lebih 'menghidupkan' kompang dalam kegiatan sosial budaya masyarakat.

Di Kabupaten Bengkalis juga pernah diadakan festival kompang berskala provinsi. Kompang berkembang dengan baik di desa-desa yang ada di Bengkalis, seperti Desa Ulu Pulau, Bantan Tengah, Teluk Papal, Selat Baru, Pasiran, Mentayan, Jangkang, Pedekik, dan Resam Lapis. Konon, Desa Resam merupakan tempat kompang tumbuh pertama kali di Kabupaten Bengkalis yang dibawa seorang warganya yang pulang dari me­rantau di Muar, Johor, Malaysia.

Kabupaten Siak tidak ketinggalan. Daerah yang dijuluki 'Negeri Istana' itu mendapat rekor Muri dengan menaja acara menabuh kompang bersama oleh 2.676 pelajar. Gemuruh suara kompang mengangkasa ke langit negeri Siak. Tak cukup sampai di situ, kompang menyemarakkan acara pembukaan balap sepeda internasional Tour de Siak yang dihadiri para peserta dan tamu dari berbagai negara.

Di ibu kota Provinsi Riau, Kota Pekanbaru, kompang cukup eksis di komunitas Melayu yang ada di kota yang sangat heterogen itu. Meskipun sangat variatif dengan kondisi multietnis, seni tradisi kompang menggeliat digerakkan oleh grup-grup yang dibentuk secara independen. Mereka pun cukup eksis pada acara-acara penting pemerintahan dan acara adat orang Melayu. Satu di antaranya ialah grup Kompang Senapelan. Grup yang dipimpin oleh Rinaldi itu terbentuk pada 14 Oktober 2018. Menurut Rinaldi, tujuan yang ingin dicapai melalui pembentukan grup tersebut antara lain ialah mengenalkan seni budaya kompang dan zapin kepada masyarakat, khususnya di Kota Pekanbaru dan umumnya di Riau. Selain itu, melestarikan seni budaya Melayu agar generasi muda sadar akan kebudayaan sendiri serta menjadikan Pekanbaru sebagai barometer atau pusat kebudayaan Melayu.

Bermarkas di Kecamatan Senapelan, kecamatan tertua yang menjadi cikal bakal Kota Pekanbaru, grup tersebut beranggotakan para pelajar, mahasiswa, karyawan, dan wirausahawan dengan total 25 orang. Eksistensi mereka teruji pada kegiatan acara pernikahan (mengarak pengantin, malam berinai, tepuk tepung tawar), penyambutan tamu penting, dan perhelatan/festival/event lainnya.

Pembuatan dan bunyi kompang


Kompang merupakan alat musik tabuh berbentuk gendang bulat pipih berdia­meter 35 cm-40 cm yang salah satu sisinya ditutup dengan kulit. Bagian yang ditutupi kulit dinamakan bagian muka, yang dalam bahasa Melayu disebut belulang. Sementara itu, bagian kayu dinamakan badan yang disebut baluh. Rotan yang diletakkan di antara belulang dan baluh disebut sedak, berfungsi sebagai pene­gang yang menguatkan kompang agar bunyinya semakin nyaring.

Kayu yang biasanya digunakan untuk membuat baluh ialah kayu leban. Kayu dari pohon leban (Vitex pinnata) itu diketahui memiliki daya tahan dan tingkat kekerasan yang cukup tinggi serta tahan air. Kulit atau membran belulang yang digunakan ialah kulit kambing betina. Dewasa ini, belulang bukan hanya kulit kambing betina, melainkan juga kulit lembu, kerbau, bahkan bahan sintetis atau polimer. Sedak juga tidak hanya menggunakan rotan, sekarang berganti menggunakan plastik tebal. Keberadaan bahan-bahan alami kini memang semakin sulit ditemukan sehingga alat musik kompang pun dimodifikasi.

Ismail dkk (2015) dari Faculty of Mechanical and Manufacturing Engineering, Universitas Tun Hussein Onn Malaysia, meneliti perbandingan bunyi yang dihasilkan kompang yang terbuat dari kulit kambing dan polimer. Dari penelitian yang berjudul Analysis of Sound Produced by a Traditional Malay Musical Instrument Kompang, disimpulkan terdapat perbedaan karakteristik suara yang dihasilkan dan frekuensi suara antara belulang yang terbuat dari kulit kambing serta polimer. Belulang yang terbuat dari kulit kambing menghasilkan frekuensi 25,34% lebih rendah jika dibandingkan dengan kulit polimer. Selain itu, jarak antara frekuen­si puncak kulit polimer lebih lebar dari frekuensi puncak kulit binatang.

Kompang dimainkan dengan cara dipegang sebelah tangan dan tangan yang lainnya menabuh belulang. Bunyi yang dihasilkan akan berbeda sesuai dengan cara menepuk dan bukaan telapak tangan. Bunyi 'bum' diperoleh dengan menepuk sisi kompang dengan telapak tangan dikuncup atau dirapatkan. Bunyi 'pak' didapat dengan menepuk bagian tengah kompang dengan telapak tangan terbuka.

Kompang dimainkan dengan pola pukulan rampak (memainkan jari jemari) dan pola jalinan (memindahkan posisi telapak tangan, naik turun). Pola-pola ini bervariasi dan digunakan untuk mengiringi vokal (nyanyian). Secara garis besar, terdapat 12 pola pukulan yang sering dimainkan penabuh kompang. Itu sebabnya sering kali jumlah penabuh kompang dalam satu tim sebanyak 12 orang yang memainkan pola pukulan berbeda. Akan tetapi, itu bukanlah jumlah mutlak. Bisa saja penabuh kompang hanya lima atau enam orang dan bisa juga lebih dari 12 orang. Hal terpenting yang harus diperhatikan ialah pembagian pola pukulan yang seimbang sehingga menghasilkan paduan bunyi estetis dan harmonis.

Dua belas pola pukulan itu diberi nama untuk memudahkan para penabuh menghafal gerakan dan bunyi yang dihasilkan. Berikut nama-nama pola pukulan dasar kompang yang biasa dimainkan penabuh kompang yang ada di Riau, yaitu (1) mecah, (2) mabon, (3) nginan, (4) selang nginan, (5) ngendung, (6) selang ngendung, (7) apet ngendung, (8) mecah ngendung, (9) tratat 9, (10) tratat 10, (11) tratat 11, dan (12) tratat 12.

Zailani Sulung, pemimpin dan pelatih grup kompang Sa'idi di Bengkalis, memberi nama yang sedikit berbeda untuk menandai 12 pola pukulan kompang. Kedua belas nama itu ialah mabon, mecah, menggulung, merapat (tratat 12), selang gendung (gendung 4), gendung 1, gendung 2, gendung 3, melalu panjang 2, melalu panjang 2, ngempling jarang 1, dan ngempling jarang 2.

Menurut dia, gabungan pola pukulan dasar berdasarkan panjang pendeknya itu dapat diklasifikasikan dalam tiga jenis, yaitu pukulan kacang goreng, pukulan kentung 3, dan kentung 5. Lima jenis pukulan kompang yang dapat mewakili 12 pola pukulan dasar di atas ialah mecah, mabon, ngendung, tratat 11, dan tratat 12. Versi lain menyebutkan lima jenis pukulan kompang dinamai pukulan panjang, luncai, pukulan dua, palakam, dan sekerat (setengah).

Kompang bukan hanya 'main tunggal' (alat musik yang digunakan hanya kompang), melainkan juga dapat dijadikan sebagai alat musik tambahan pada pertunjukan lain. Kompang sering digunakan untuk mengiringi pertunjukan gambus, ditengarai fungsinya ialah menambah 'keseruan' dan menghangatkan suasana. Dalam hal ini, fungsi kompang sama dengan rebana, tetapi kompang tidak memiliki cakram gemerincing di sekelilingnya.

Jenis pertunjukan


Dewasa ini, pertunjukan kompang dapat dibedakan dalam tiga bentuk. Pertama, main duduk; maksudnya ialah para penabuh kompang dalam posisi duduk. Biasanya kompang main duduk ini dalam acara berinai dan tepung tawar. Para penabuh kompang duduk berkeliling, berkelompok, atau berjajar. Aturan posisi tidak ditentukan secara ketat, tetapi disesuaikan dengan acara dan tempat bermain kompang. Di Bengkalis, kompang main duduk ini menyanyikan syair dari kitab Al-Barzanji sehingga sebagian masyarakat menyebutnya kompang Al-Barzanji.

Kedua, kompang mengarak. Kompang ini dimainkan sambil berjalan, para penabuh kompang berbaris mengikuti sebuah rombongan. Perjalanan yang dilakukan rombongan yang diiringi kompang menjadi lebih semarak dan meriah. Rombongan yang biasanya diarak dengan kompang ialah rombongan pengantin laki-laki menuju rumah pengantin perempuan, rombongan keberangkatan dan kepulangan jemaah haji, rombongan tamu kehormatan, rombongan pemuka adat, dan lain-lain. Kompang main duduk dan mengarak digolongkan sebagai kompang tradisional karena memang sudah ada sejak dulu dan seperti itulah yang diwarisi dari generasi ke generasi selanjutnya.

Ketiga, kompang modern. Kompang modern merupakan hasil kreativitas yang bertujuan meningkatkan daya tarik pertunjukan kompang. Performansi kompang modern diiringi gerakan tarian yang beragam. Para penabuh bergerak sesuai dengan bunyi/irama yang mereka hasilkan dari tabuhan kompang. Penampilan kompang modern yang disertai tarian itu menambah daya tarik kompang sebagai sebuah seni pertunjukan.

Nyanyian kompang


Vokal berupa nyanyian dalam bahasa Arab yang bersumber dari teks-teks kitab Al-Barzanji yang lazim disebut adi. Adi ialah teks lagu berupa frasa kalimat tanya jawab yang ditulis dengan huruf Hijaiyah. Permainan pola pukulan dan vokabuler vokal dipengaruhi makhraj yang berarti ketepatan ucapan.

Teks yang dinyanyikan dalam berkompang berisi puji-pujian kepada Allah SWT, salawat nabi, dan kisah hidup Nabi Muhammad SAW sejak lahir sampai wafat. Di beberapa daerah, teks yang dinyanyikan sering pula ditambah dengan pantun-pantun berbahasa lokal. Pantun itu ada yang diciptakan secara spontan, ada juga yang sudah berulang kali dinyanyikan. Teks pantun berbahasa lokal tersebut memuat pesan moral, pengetahuan lokal, sapaan kepada orang-orang tertentu, dan gurauan.
Adakalanya para penabuh kompang menyanyikan lagu-lagu Melayu klasik dan populer untuk menghibur masyarakat. Pukulan kompang disesuaikan dengan lagu yang dinyanyikan. Lagu yang berirama lambat dan mendayu terasa indah untuk didengarkan, seperti lagu Sri Mersing, Selasihku Sayang, dan Patah Hati. Lagu berirama cepat menstimulasi keinginan audiens untuk berjoget, seperti Tanjung Katung, Joget Berhibur, dan Joget Anak Tiung. (M-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Triwinarno
Berita Lainnya