Headline
Tidak ada solusi militer yang bisa atasi konflik Israel-Iran.
Para pelaku usaha logistik baik domestik maupun internasional khawatir peningkatan konflik Timur Tengah.
DI tengah tuntutan kebebasan berekspresi dan keterbukaan informasi di era demokrasi, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) masih menjadi momok bagi sebagian kalangan. Dalam catatan Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet), organisasi yang fokus dalam mengadvokasi kebebasan berekspresi dan vokal mengampanyekan hak-hak digital, tercatat pada 2020 ada 50 warga sipil yang dilaporkan atas kasus UU ITE.
Sementara itu, sepanjang 2017-2021, setidaknya ada 24 jurnalis yang menjadi korban pasal karet di UU ITE. Itu bisa menjadi salah satu parameter iklim kebebasan berinternet dan keamanan digital masih belum sepenuhnya tercipta.
Media Indonesia berbincang dengan Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi Safenet Nenden Sekar Arum perihal musabab makin masifnya UU ITE digunakan sebagai alat perangkap pembatasan kebebasan berekspresi dan berinformasi, juga menyoal urgensi revisi kedua UU ITE. Berikut petikan wawancara yang dilakukan melalui konferensi video pada Kamis (10/2) dan melalui teks pada Jumat (11/2).
Hingga 2022, kasus UU ITE yang melibatkan jurnalis terkait dengan laporan mereka masih ditemukan. Bagaimana data yang dimiliki Safenet, secara trennya dari tahun ke tahun, serta pola aduannya?
Dari catatan Safenet, pada rentang 2017-2021 ada 24 jurnalis yang dilaporkan karena UU ITE. Terbanyak pada 2018 (7) dan 2019 (8). Mayoritas jurnalis dilaporkan karena pemberitaan mereka dan dianggap melakukan pencemaran nama (melanggar UU ITE Pasal 27 ayat 3) atau ujaran kebencian (Pasal 28 ayat 2).
Mayoritas, motifnya karena politis atau kepentingan pribadi karena pihak yang diberitakan (biasanya tersandung oleh kasus korupsi/konflik agraria/penipuan) tidak terima meskipun berita tersebut sudah ditulis sesuai dengan kaidah jurnalistik. Semestinya harus diselesaikan dengan mekanisme sengketa pers.
Mungkin juga, ada motif balas dendam terhadap berita atau jurnalis. Alih-alih lewat mekanisme sengketa pers, mereka ingin bikin jurnalis kena batunya dengan dipenjara atau dihukum pidana.
Apakah semakin berkembangnya media berbasis daring juga turut menaikkan angka pelaporan jurnalis terkait dengan UU ITE?
Ini bisa jadi sebagai salah satu faktornya karena memang makin menjamur juga media-media berbasis daring.
Namun, kalau dilihat mengapa trennya mulai naik, misalnya bila dibandingkan dengan sebelum 2017, juga karena ada momentum politik yang kerap kali dijadikan sebagai upaya pengkriminalisasian atas dasar pasal di UU ITE. Salah satunya bisa dilihat saat momen Pilkada DKI 2017 ketika pasal penistaan agama digunakan sebagai salah satu dasar untuk melaporkan korban. UU ITE juga digunakan dalam momen-momen tertentu, yang biasanya bersifat politis.
Sudah ada nota kesepahaman (MoU) antara Dewan Pers dan Polri pada 2017 terkait dengan koordinasi dalam perlindungan kemerdekaan pers. Ada juga SKB pedoman implementasi UU ITE oleh Polri, Kemenkominfo, dan Jaksa Agung. Dua instrumen itu belum cukup melindungi kerja jurnalis dari jerat UU ITE?
Selama ini UU Pers sebetulnya instrumen yang sudah cukup baik untuk melindungi kerja-kerja jurnalistik. Sayangnya, dalam proses implementasi, kondisi ideal ini tidak tercapai. UU Pers sering dikesampingkan dalam memproses kasus-kasus yang melibatkan jurnalis.
Hal ini juga berlaku dengan SKB pedoman implementasi, juga MoU. Semuanya tampak ideal hanya di tataran pusat, tetapi ketika kita cek ke daerah-daerah lain, banyak sekali aparat penegak hukum yang tidak paham, bahkan tidak tahu ada dua instrumen ini.
Contoh konkretnya, kasus yang terjadi pada 23 November 2021 yang menimpa jurnalis Berita.news, Muhamad Asrul (Asrul menulis seri artikel dugaan korupsi di Palopo yang diduga melibatkan Farid Kasim Judas, putra Wali Kota Palopo Judar Amir). Majelis Hakim Pengadilan Negeri Palopo, Sulawesi Selatan, memutuskan Asrul bersalah dengan pidana penjara 3 bulan penjara karena melanggar Pasal 45 ayat 1 jo Pasal 27 ayat 3 UU ITE tentang pencemaran nama.
Meski dalam pertimbangan hakim menegaskan Berita.news memenuhi ketentuan standar perusahaan pers dan menolak dakwaan jaksa serta mengakui berita yang ditulis Asrul ialah produk jurnalistik, serta ia diakui sebagai jurnalis, ia tetap divonis bersalah walau hakim tidak memerintahkan penahanan.
Tentunya Polri harus terus menyosialisasikan sampai ke tingkat satuan terkecil kepolisian, seperti polres, dan MoU itu perlu dikuatkan, harus ada usul ke situ pada 2022.
Instrumen yang perlu ditambahkan dalam upaya perlindungan kerja jurnalisme kita?
Instrumen sudah cukup banyak. Yang paling penting adalah bagaimana implementasinya di lapangan. Idealnya aparat penegak hukum (kepolisian/kejaksaan) bisa menyosialisasikan SKB dan MoU hingga ke anggota mereka hingga ke daerah-daerah pelosok Indonesia.
Tentunya juga perlu peningkatan pemahaman untuk aparat penegak hukum dan masyarakat sipil terkait dengan kerja-kerja jurnalistik. Apa dampaknya bagi demokrasi dan kenapa kerja jurnalis tidak boleh dihalang-halangi, termasuk dengan ancaman pidana UU ITE.
Apa ukuran kebebasan pers sudah tercipta?
Jurnalis bisa memberitakan semua isu tanpa mendapatkan ancaman, tekanan, dan intimidasi dari pihak mana pun. Keselamatan mereka terjamin dan tentunya kualitas jurnalistik yang terus meningkat dan dapat diterima masyarakat.
Persoalan yang lebih fundamental?
Persoalan yang paling fundamental tentunya pasal-pasal multitafsir di UU ITE. Hal itu yang menyebabkan tafsir-tafsir yang serampangan, memaksa kasus-kasus jurnalis bisa dipidanakan dengan pasal tersebut. Selain itu, pengetahuan dan pemahaman aparat penegak hukum terhadap konteks UU ITE dan kerja jurnalis sangat-sangat-sangat rendah. Ini yang memicu kasus-kasus yang seharusnya selesai dengan skema sengketa pers tetap diproses dengan pidana UU ITE.
Safenet turut memperjuangkan revisi kedua UU ITE. Ada sembilan pasal yang disoroti. Bisa dielaborasi terkait dengan ini?
Safenet tergabung dalam koalisi masyarakat sipil yang mendesak revisi kedua UU ITE. Ada pasal-pasal yang kami soroti; Pasal 26 ayat 3 terkait dengan penghapusan informasi, Pasal 27 ayat 1 jo Pasal 45 ayat 1 terkait dengan pidana kesusilaan, Pasal 27 ayat 3 jo Pasal 45 ayat 3 terkait dengan penghinaan dan pencemaran nama baik, Pasal 28 ayat 2 jo Pasal 45 A ayat 2 terkait dengan kebencian atau permusuhan berdasarkan SARA, Pasal 29 jo Pasal 45 B terkait dengan ancaman kekerasan, Pasal 36 jo Pasal 51 ayat 2, Pasal 40 ayat 2a dan 2b terkait dengan pencegahan penyebarluasan dan kewenangan pemerintah memutus akses, dan Pasal 43 ayat 3 dan 6 terkait dengan penggeledahan, penyitaan, penangkapan, dan penahanan.
Terkait Pasal 27 ayat 3 misalnya, itu menjadi yang paling populer digunakan untuk membatasi ekspresi di ranah daring. Sepanjang 2021 saja, tercatat ada 17 korban yang dilaporkan terkait dengan pasal tersebut. Kalau menilik dari catatan sepanjang 2016-2020, total ada 286 kasus. Pasal ini juga yang jadi senjata untuk menyasar jurnalis, ditambah Pasal 28 ayat 2.
Kami juga mencatat ada enam korban yang dikenai Pasal 5 ayat 3, kemudian ada lima korban yang dijerat UU ITE, tanpa perincian pasal yang dikenakan.
Atas dasar itu, kami bersama anggota yang tergabung dalam koalisi masyarakat sipil menyusun kertas posisi revisi UU ITE, melihat berbagai permasalahan yang terjadi. Di situ dijelaskan bagaimana seharusnya pengaturan internet dalam UU ITE. Pemerintah juga harus mampu menunjukkan iktikad baik dalam memperbaiki regulasi agar tidak terjadi kesewenangan berulang yang merugikan masyarakat.
Di luar jurnalis, yang juga banyak menjadi korban UU ITE ialah warga biasa. Kalau mengutip data Anda, pada 2020 ada 50-an warga yang terjerat kasus. Kerentanannya melebihi kalangan pekerja media?
Bisa dibilang warga menjadi lebih rentan karena biasanya berhadapan dengan warga juga. Siapa pun bisa melaporkan siapa pun. Selain itu, literasi soal proses hukum dan lainnya juga rendah sehingga membuat mereka jadi less power.
Kalau jurnalis atau pekerja media, mereka minimal paham bahwa kerja mereka ada risikonya. Mereka sedikit banyak tahu soal kriminalisasi dan tentunya mereka memiliki lebih banyak jaringan untuk mendapatkan support. Berbeda dengan warga biasa yang mungkin sebetulnya hanya ibu rumah tangga di suatu daerah, yang misalnya niatnya hanya curhat di medsos, eh, malah dilaporkan kepada polisi.
UU ITE ini, kan, juga punya irisan dengan ketimpangan relasi kuasa. Meski katakanlah sesama warga, setingkat rukun tetangga, ada relasi kuasa di situ.
Dari data serupa, pada 2021, aktivis merupakan profil korban UU ITE terbanyak. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, warga menjadi yang terbanyak. Ada apa?
Ini sangat erat dengan kondisi politik Indonesia belakangan ini. Aktivis yang banyak dikriminalisasi ialah yang benar-benar vokal mengkritik kinerja pemerintahan dan menjadi pola yang sebetulnya mirip dengan praktik-praktik pembungkaman aktivis di masa lalu. Mungkin dulu dengan ditangkap dan dipenjarakan, sekarang diserang dengan kriminalisasi.
Selain jumlahnya yang meningkat, tren pemidanaan yang dialami para aktivis semakin khas. Mereka dipidanakan dengan Pasal 27 ayat 3 UU ITE tentang pencemaran nama karena memaparkan hasil riset yang mengungkapkan keterlibatan pejabat negara yang terindikasi ada konflik kepentingan dalam proyek-proyek dengan nilai rupiah yang sangat besar. Contohnya ini terjadi pada dua peneliti ICW yang dilaporkan KSP Moeldoko medio September 2021, atau Kemenko Marves Luhut Binsar Pandjaitan yang melaporkan Direktur Lokataru Haris Azhar dan Koordinator Kontras Fatia Maulidiyanti ke Polda Metro.
Secara persentase, apakah lebih banyak mereka yang harus mendekam di penjara, atau lebih banyak yang masih bisa diadvokasi tanpa harus masuk jeruji?
Laporan yang dihimpun koalisi masyarakat sipil menunjukkan sejak 2016 sampai Februari 2020, untuk kasus-kasus dengan Pasal 27, 28, dan 29 UU ITE, penghukuman (conviction rate) mencapai 96,8% (744 perkara) dengan tingkat pemenjaraan yang sangat tinggi, mencapai 88% (676 perkara).
Lalu dari laporan kami tentang situasi hak-hak digital pada 2020, sepanjang tahun terdapat 84 kasus pemidanaan terhadap warganet. Jumlah itu meningkat empat kali lipat bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya, 24 kasus. Dari 84 kasus tersebut, 64 di antaranya menggunakan pasal karet UU ITE.
Sejak revisi UU ITE pada 2016, dengan adanya pengurangan masa tahanan, sudah banyak kasus yang memang tidak menggunakan pengurungan, tapi tetap masih ada satu-dua yang dipenjara dengan banyak alasan. Misalnya, merujuk pada kasus jurnalis, Diananta Putra Sumedi (jurnalis Banjarhits.com, terkait laporan berjudul Tanah Dirampas Jhonlin, Dayak Mengadu ke Polda Kalsel) dipenjara, tapi jurnalis Asrul tidak. Biasanya juga ada strategi penggunaan pasal berlapis supaya ancaman penjaranya lebih tinggi sehingga ada alasan untuk ditahan. Untuk data detail terbarunya belum ada, sih.
Siapa para pelapornya?
Kami mencatat pejabat publik, mulai setingkat ketua rukun tetangga (RT) sampai level menteri, menjadi yang paling banyak menggunakan UU ITE, ada 10 kasus (35,7%). Lalu petinggi institusi, pemimpin perusahaan atau organisasi (9 kasus) dan terduga pelaku kekerasan (4).
Dari pengalaman pihak Anda, bagaimana advokasi bagi para korban UU ITE?
Tentunya ini disesuaikan dengan kebutuhan korban. Karena kasusnya kompleks, kami harus selalu berjejaring dengan organisasi lain. Misalnya, minimal dengan LBH sebagai kuasa hukum korban.
Kami bantu juga di ranah nonlitigasi dengan membangun dukungan dari masyarakat luas melalui kampanye-kampanye, serta membentuk support group dengan Paku ITE (Paguyuban Korban UU ITE). Dalam hal ini, korban yang sudah bebas biasanya juga masih mendapat stigma dari masyarakat karena pernah menjadi tersangka. Selain itu, proses hukum yang berjalan lama dan berlarut-larut bisa menimbulkan trauma bagi korban.
Menyinggung juga soal hari aman berinternet, bagaimana Anda melihat iklim keamanan dan kebebasan berinternet di Indonesia?
Dilihat dari kondisi belakangan, rasanya masih jauh dari kata bebas dan aman di internet, ya. Kasus kriminalisasi opini dan ekspresi, serangan digital, dan ancaman sering banget kita lihat di media sosial. Menyerang siapa pun yang mengungkapkan opininya secara kritis. Ini juga bisa disinyalir ketika mulai munculnya polisi siber, yang turut mengancam ekspresi di dunia digital.
Dari pemantauan kami, sepanjang 2021, setidaknya ada 30 kasus pemidanaan dengan total 38 korban kriminalisasi. Memang secara jumlah menurun hampir separuh dari jumlah korban pada tahun lalu (84), tapi ini tidak serta-merta menunjukkan sudah terjadi perbaikan dalam pemenuhan hak atas ekspresi.
Parameter yang digunakan?
Tentunya bagaimana memastikan masyarakat merasa aman untuk mengekspresikan opini, kritik, dan pendapat mereka di internet tanpa harus takut adanya ancaman, intimidasi, dan lain-lain. Belum adanya jaminan perlindungan bagi masyarakat juga menjadi indikator lain bagaimana kondisi dunia maya belum ideal atau aman di Indonesia.
Mana yang paling sering dialami antara kriminalisasi ekspresi, serangan digital, kekerasan berbasis gender online, dan gangguan akses internet?
Kekerasan berbasis gender online (KBGO) menjadi kasus yang paling banyak dialami, yang masuk ke laporan kami. Lalu disusul serangan digital, dan kriminalisasi gangguan akses.
Pada 2020, kami mencatat ada 620 kasus KBGO. Bentuk yang paling banyak dilaporkan ialah penyebaran konten intim nonkonsensual (non-consensual dissemination of intimate images/NCII), sebanyak 208 kasus dengan pasangan sebagai pelaku terbanyak.
Dari catatan sepanjang 2020, catatan soal serangan digital berjumlah 147 insiden (rerata 12 kali tiap bulannya). Puncaknya, terjadi pada Oktober 2020 (berkaitan dengan tagar #TolakOmnibusLaw dan #MositidakPercaya), tercatat 41 insiden. Naik tiga kali lipat dari rerata per bulannya. Bentuk-bentuknya berupa peretasan (114 insiden, menjadi yang terbanyak), lalu ada juga doxing, dan pencurian data pribadi.
Upaya yang bisa dilakukan publik untuk tetap bisa aman berinternet dan tetap bisa menyuarakan ekspresi mereka?
Harus paham apa saja hak-hak digital yang kita miliki (hak untuk berekspresi, hak akses informasi, dan hak merasa aman di internet). Dengan mengetahui itu, kita bisa memperjuangkan hak kita jika ada yang mencoba melanggarnya. Tentunya, dengan semakin banyaknya kasus serangan atau kriminalisasi, hal ini jangan sampai membuat suara-suara kritis menjadi diam. Kita harus tetap bersuara untuk menunjukkan ada masalah di Indonesia supaya lebih banyak orang yang sadar.
Tentunya, jika suatu hal terjadi, padahal kita yakin kita berkata benar, akan banyak dukungan yang membantu dari berbagai pihak. (M-2)
—
Biodata
Nama: Nenden Sekar Arum
Jabatan: Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi Safenet
Pendidikan
-S-1 teknik informasi Universitas Muhammadiyah Surakarta (2011)
-S-2 advance computer science University of Birmingham, Inggris (2017)
Karier
-Jurnalis Solopos (2012-2016)
-Peneliti dan data analis Katadata (2018-2019)
-Kopendiri dan Manajer Program Indonesian Data Journalism Network (IDJN) (2019-saat ini)
-Manajer Automasi Data Sonar Platform (2020-saat ini)
Penghargaan dan capaian
-Short Term Awards in Human Rights Leadership to Influence Policy, Australia Award Indonesia (2021)
-Ambasador #KitaMulaiSekarang Yayasan Pulih dan Campaign Indonesia (2018)
-Kader Bangsa, Perkumpulan Kader Bangsa (2018)
-Beasiswa LPDP (2016)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved