Headline
Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.
Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.
Presiden menargetkan Indonesia bebas dari kemiskinan pada 2045.
“Seperti angin kencang yang meniup daun kering hingga berguguran,
Seperti arus sungai menghanyutkan kayu dengan cepat,
Seperti sebuah jarum menarik benang melalui sebuah kain,
Maka kami pun akan pergi, dengan perintahmu, Ya Tuan,
Untuk menghadapi para musuh.
Bersabdalah, maka akan kami patuhi!
Dan bila kami tidak pergi dengan perintahmu,
Biarlah generasi yang akan datang tahu,
Bahwa tubuh kami tidak layak untuk dikubur.”
Penggalan kalimat di atas merupakan bait sumpah setia yang dilantunkan Panglima Perang Kerajaan Makassar (Gowa-Tallo). Syair sakral tersebut dinyatakan di hadapan raja sebelum berangkat ke medan perang. Peristiwa yang menjadi ritual wajib panglima perang ini dikenal dengan sebutan tradisi Aru Tubarani. Di balik itu, tradisi ini menyimpan banyak peristiwa dan narasi besar mengenai kedigdayaan Kerajaan Makassar di masa lampau. Tradisi inilah yang menjadi spirit Kerajaan Makassar sehingga menjadi adikuasa di bagian timur Nusantara pada abad XVI-XVII.
Kini, di era modern tradisi Aru Tubarani masih dijumpai dengan bentuk komodifikasi atau sajian populer yang mengikuti kebutuhan pertunjukan kesenian masyarakat Makassar. Masyarakat Makassar atau yang terkenal dengan sebutan Tu Mangkasara adalah panggilan bagi suku Makassar yang berarti orang Makassar. Kelompok etnis ini umumnya bermukim di bagian pesisir selatan pulau Sulawesi. Pesebarannya dapat ditemukan di Kota Makassar, Kabupaten Gowa, Takalar, Jeneponto, Bantaeng,
Selayar, sebagian di Pangkajene, Maros, dan Bulukumba. Bahasa Makassar memiliki beberapa dialek, antara lain dialek Lakiung, Turatea, Bantaeng, dan Konjo (pesisir dan agraris). Seluruh daerah ini sampai sekarang disebut juga disebut dengan Pa’rasanganna Mangkasaraka yang berarti negeri-negeri Makassar.
Secara etimologi, Aru berasal dari bahasa Makassar kuno yang berarti sumpah/ikrar. Dalam kamus bahasa Makassar, Aru berarti mengamuk atau amukan yang dilakukan pada suatu peristiwa penting. Kemudian, apabila ditambahkan prefiks A’/Ang menjadi Angngaru dalam gramatika atau kaidah bahasa Makassar, kata itu berubah menjadi bentuk kata kerja yang bermakna bersumpah, sedangkan pelakunya disebut dengan Pangngaru. Pada dasarnya, dalam konteks Pa’rasanganna Mangkasaraka masing-masing memiliki tradisi Angngaru dengan ciri khas atau alegori masing-masing. Adapun pesebaran jenis-jenis Aru berdasarkan wilayahnya, yaitu, seperti Aruna Lipang Bajeng di Takalar, Aruna Macang Kebo ri Tallo di Tallo, Aru Kajang di Bulukumba, Aru Bunting di Maros, dan Aru Tubarani di Gowa.
Adapun penambahan diksi Tubarani dalam Aru Tubarani merupakan pemaknaan dari kata ‘pemberani’ (subjek/orang). Bila dimaknai, Aru Tubarani sendiri merupakan sebuah peristiwa sumpah setia yang dilakukan seorang pemberani. Dalam catatan lain, William Cummings dalam bukunya Penciptaan Sejarah Makassar di Awal Era Modern (2015) mengatakan bahwa Angngaru Tubarani merupakan janji setia yang diucapkan oleh seorang hulubalang atau perwira di hadapan rajanya. Sementara Halilintar Latief dalam tulisannya Tari Daerah Bugis (Tinjauan Melalui Bentuk Dan Fungsi) menyebut bahwa Angngaru Tubarani ialah sumpah setia yang dilakukan oleh seorang pria dan umumnya ditujukan kepada raja sambil memegang keris atau senjata tradisonal.
Aru Tubarani sebagai salah satu tradisi lisan masyarakat Makassar menyimpan berbagai macam jenis pengetahuan dan kearifan lokal. Salah satunya yaitu pengetahuan mengenai proses penciptaan syair Aru Tubarani yang berasal dari spirit formula Aru Paccallayya—yang merupakan peristiwa kontrak politik antara Paccallayya (hakim adat) dan Tomanurung (raja pertama), sehingga berdirinya Kerajaan Gowa. Selain itu, banyak hal yang berkelindan dengan local knowledge apabila dilakukan riset dan analisis holistik perihal aspek-aspek yang menubuh pada tradisi ini. Khazanah tersebut dapat ditelisik melalui aspek pertunjukan dan kaidah Aru Tubarani berikut ini.
Pertunjukan Aru Tubarani
Dalam aspek pertunjukan, Aru Tubarani umumnya berdurasi sekitar 5-10 menit. Umumnya terdiri dari empat orang pemain, masing-masing memainkan alat musik tradisional Makassar, di antaranya yaitu: gendang Makassar (dua orang, dalam posisi depan dan belakang), pui-pui, dan gong (masing-masing satu orang).
Pertunjukan dimulai dengan bunyi pui-pui (instrumen tiup), kemudian bunyi tabuhan gendang pola Pakanjara’ selama beberapa menit. Di sekitar panggung Pangngaru bersiap-siap dengan kostum lengkapnya yaitu badik/sele’ (senjata tajam tradisional Makassar), pattonro (penutup kepala), barocci (celana ukuran puntung), Balladada (sejenis jas tutup), lipa’ (sarung), dan tali bannang (pengikat sarung).
Di antara dentuman gendang Pakanjara tersebut, Pangngaru secara perlahan masuk ke dalam arena pertunjukan. Ketika ia telah tiba di panggung, bunyi gendang berubah menjadi tabuhan padundung, dan mengalami decressendo (volume gendang perlahan menurun). Selama padundung dibunyikan, saat itulah Pangngaru melakukan atraksinya, yaitu mengambil posisi setengah berlutut atau posisi kuda-kuda, kemudian, perlahan menghunuskan badik, dan secara bersamaan mengucapkan syair-syair Aru Tubarani.
Pada saat Pangngaru melafalkan syair, umumnya dilafalkan dengan suara lantang dan ekpresi wajah menampakkan bentuk kerasnya gejolak di medan perang. Adapun pada posisi tubuh, Pangngaru bergerak dinamis, variatif berdasarkan intuitif dan isi syair.
Pada kalimat terakhir syair tabuhan pola Padundung berubah menjadi Pakanjara, kemudian secara cressendo bunyi gendang terdengar dari volume kecil ke besar. Setelah itu, Pangngaru beranjak dari posisi setengah berlutut atau posisi kuda-kuda, kemudian, mempersilakan pihak yang disambut untuk melewati wilayah yang telah ditentukan.
Kaidah Aru Tubarani
Menurut penuturan (Alm) Syarifuddin Dg. Tutu, seniman Sulawesi Selatan, ada beberapa hakikat atau kandungan yang perlu diketahui dalam tradisi Aru Tubarani, antara, yaitu Aru Tubarani hanya diperuntukkan kepada Raja atau kepala pemerintah yang menjabat, dan dilaksanakan dalam melakukan penjemputan tamu kehormatan.
Selain itu, karena tradisi ini bersifat ritual sakral, dalam pertunjukan Aru Tubarani sebaiknya dilengkapi dengan musik pengiring oleh seniman profesional (ahli). Hal tersebut merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap khidmatnya pertunjukan.
Kemudian, aspek yang perlu menjadi perhatian ialah pemilihan badik atau keris. Dg. Tutu menegaskan agar Pangngaru (pelaku sumpah) sebaiknya menggunakan alat pribadi (koleksi pribadi). Bahkan dianjurkan bagi Pangngaru agar tidur bersama senjatanya di tiga malam berturut sebelum melaksanakan pertunjukan. Aktivitas tersebut dimaknai sebagai bentuk ‘pasiama’ atau bentuk penyatuan antara batin Pangngaru dan alat yang akan digunakan
Selain itu, pemilihan kostum termasuk merupakan aspek yang sangat perlu diperhatikan. Seorang Pangngaru wajib menggunakan kostum Tubarani lengkap, di antaranya terdiri dari Pattonro, Balla dada, Barocci, dan Lipa’. Adapun anjuran yang digunakan sebaiknya menggunakan warna serbamerah atau hitam.
Dalam konteks ritual sakral, seorang Pangngaru tidak boleh berasal diluar dari rumpun Gowa (sembilan dewan hadat). Hal itu dapat memicu pertanyaan oleh keluarga dewan adat yang ditujukan kepada Pangngaru, misalnya pertanyaan mengenai asal usul keluarga dan rumpunnya di Gowa.
Pada saat pertunjukan, seorang Pangngaru harus sangat hati-hati dalam mengayunkan badik atau kerisnya. Ujung badik atau keris sangat pantang untuk dihunuskan di hadapan orang sekitar, apalagi di hadapan raja. Tindakan tersebut merupakan perbuatan tercela dan keliru dalam adat istiadat Pangadakkang. Oleh sebab itu, posisi ujung badik atau keris harus selalu ditutup dengan tangan yang berlawanan saat dikeluarkan. Hal itu dilakukan sampai badik masuk ke sarungnya.
Akhir-akhir ini, di beberapa pertunjukan sering dijumpai beberapa Pangngaru yang melakukan pertunjukan sejenis debus, yaitu menusuk-nusukkan badik atau keris di anggota tubuhnya. Dengan kata lain, Pangngaru tersebut menggabungkan antara pertunjukan Aru Tubarani dengan praktik debus. Hal tersebut sangat dikritik oleh (Alm) Dg. Tutu. Menurutnya, hal tersebut termasuk perbuatan arogan dan sombong, sifat ini tidak patut dimiliki seorang Pangngaru, khususnya di Gowa.
Aru Tubarani sebagai sebuah ritual sakral panglima perang kini telah mengalami perubahan fungsi menjadi profan atau budaya pertunjukan populer. Perubahan ini disebabkan oleh bergesernya berbagai dimensi kehidupan masyarakat Makassar, termasuk pada faktor perubahan konsep dinasti ke administratif; Perubahan budaya ritual sakral ke profan; dan Perubahan Sosial-Budaya masyarakat Makassar.
Dimensi perubahan tersebut disebabkan oleh globalisasi dan perihal yang sifatnya realistis. Kebutuhan ekonomi yang kini bertambah kompleks menuntut pelaku-pelaku tradisi bersiasat dengan perubahan zaman sehingga tradisi ini kemudian dipertahankan mengikuti pola pertunjukan populer. Namun demikian, faktor-faktor yang menyebabkan pergeseran fungsi tradisi ini menjadi sebuah penggambaran mengenai proses preservasi dan pewarisan tradisi ke dalam bentuk yang lebih adaptif.
Sebagai kesimpulan, keberadaan Aru Tubarani dengan bentuk populer merupakan suatu sebuah upaya pelestarian yang sejalan dengan objek pemajuan kebudayaan Nomor 5 Tahun 2017, yaitu, tradisi lisan dan seni. Selain itu, diharapkan agar tradisi ini segera dilegalisasi dengan menjadi bagian dari Warisan Budaya tak Benda (WBTB) nasional, bahkan hingga terdaftar di skala internasional, yaitu UNESCO. (M-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved