Headline
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.
PERATURAN Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbud-Ristek) No 30 Tahun 2021 yang baru-baru ini dilansir menuai pro dan kontra di tengah masyarakat.
Sebagian berpendapat, Permendikbud-Ristek tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi itu merupakan peraturan yang progresif dalam upaya menciptakan ruang aman di lingkungan pendidikan.
Aturan tersebut menyematkan beberapa langkah yang harus dilakukan kampus untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang ramah bagi korban kekerasan seksual dan menginstruksikan untuk tidak menoleransi tindak kekerasan seksual.
Meski begitu, ada juga kalangan yang menilai permen tersebut sebagai upaya melegalkan perilaku asusila karena ada term consent di dalamnya. Benarkah?
Media Indonesia berbincang dengan Direktur Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Jakarta Siti Mazumah mengenai peluang yang bisa diciptakan untuk mewujudkan ruang pendidikan yang aman lewat permendikbud-ristek tersebut. Ia juga mengulas perihal tindak kekerasan seksual secara umum di Indonesia, utamanya terkait dengan alotnya pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang kini beralih nama menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Berikut petikan wawancara melalui sambungan telepon, Kamis (2/12).
Bagaimana Anda melihat potensi impak dari Permendikbud-Ristek No 30 ini?
Instrumen itu akan menjadikan ruang aman bagi sivitas akademika di kampus. Orang tidak takut ke kampus. Korban kekerasan yang selama ini sudah lama berada di budaya patriarki, perempuan menjadi objek seksual, adanya pelecehan dan kekerasan, dengan peraturan tersebut bisa menghapus semua praktik tersebut.
Kita, kan, ingin kampus menjadi satu ruang aman, sebagai tempat belajar dan melahirkan generasi yang baik tanpa menjadi korban kekerasan seksual. Kalau permen itu dipraktikkan, itu menjadi sesuatu yang sangat baik karena ada keberanian baru untuk saling menghormati.
Hanya, biasanya produk baik, implementasi tidak baik. Jadi, mari kawal bareng-bareng agar tidak sekadar bagus di kertas, tapi juga di kenyataannya. Yang pertama, perlu komitmen pimpinan kampus. Mulai dari rektor, dekan, hingga kepala jurusan-jurusan, mereka harus memahami permen tersebut terlebih dahulu.
Kemudian mereka yang punya kekuasaan di kampus punya iktikad baik dan kepedulian. Ketika orang yang punya kekuasaan di kampus bisa peduli terhadap penghapusan kekerasan seksual, ruang aman akan tercipta dan korban tidak merasa terancam.
Respons konkret kampus yang diharapkan?
Misalnya dibuatkan aturan turunan dari Permen 30. Ada SK (surat keputusan), SOP (standard operating procedure). Aturan hukum yang lebih mengikat lagi untuk pihak internal kampus. Harus ada aturan yang memaksa, mau tidak mau semua harus mengikuti.
Fakta dan datanya, soal kekerasan seksual di kampus, bukan berarti tidak ada laporan atau belum ada beritanya lalu itu tidak pernah terjadi. Harusnya kampus-kampus bisa belajar dari kasus kekerasan seksual yang mencuat. Bisa belajar mengenai penanganannya, apakah baik atau buruk. Agar kampus tidak jadi tempat yang tidak aman buat korban kekerasan seksual. Libatkan semua pihak untuk buat satgas, seperti salah satu yang dimandatkan di permen. Libatkan juga pihak luar yang memiliki kapasitas untuk penanganan dan pendampingan kasus. Buat posko pengaduan.
Lalu, karena pelaku dan korban sama-sama ada di kampus, penting untuk merahasiakan identitas pelapor atau korban.
Selama ini yang kebanyakan terjadi ialah menjaga nama baik kampus. Itu jadi abu-abu. Makanya, kampus perlu lihatkan komitmen, dan kalau perlu, Kemendikbud-Ristek membuat penghargaan ke kampus yang mampu menyelenggarakan lingkungan kampus ramah perempuan dan korban. Itu bisa jadi dorongan.
Kalau selama ini yang ditonjolkan ialah akreditasi, lebih baik tonjolkan juga mengenai Permen No 30. Itu salah satu yang penting untuk menjadi catatan bagi kampus yang tidak berani menciptakan ruang aman.
Beberapa kasus belakangan mencuat, dengan dosen sebagai pelaku kekerasan seksual terhadap mahasiswanya. Instrumen yang diperlukan setelah adanya Permendikbud-Ristek Nomor 30 Tahun 2021?
Selain soal keputusan tegas yang harus diambil jika itu terjadi antara mahasiswa dan mahasiswa, apa konsekuensi jika dosen pelakunya? Pecat! Tidak ada tawaran selain memecatnya. Perlu aturan tegas. Kalau pelakunya mahasiswa, ada pembinaan karena bagaimanapun kampus punya tanggung jawab dengan hak dasar memberikan pendidikan dan tidak bisa menghapus (hak) begitu saja.
Kalau pelakunya adalah dosen, tidak ada kata lain selain pecat. Buktikan bahwa kampus tidak menoleransi kekerasan. Bisa juga tempatkan dosen tersebut ke bagian yang tidak memiliki kuasa dan tidak bertemu dengan mahasiswa. Sanksi ini bisa jadi komitmen dari kampus dan menjadi pembelajaran bagi dosen lainnya. Ketika dosen melihat kampus punya ketegasan dalam kasus kekerasan seksual, mereka tidak akan berani.
Aduan dari lingkungan kampus yang masuk ke LBH APIK, bagaimana datanya?
Pada 10 Desember, kami akan merilis laporan tahunan ke publik. Kami sampaikan, situasi kekerasan yang dilaporkan ke kami pada 2021 ini ada 12 pengaduan dari lingkungan kampus. Kami mendampingi, litigasi sesuai yang dikehendaki korban.
Kasusnya beragam. Ada dari senior ke junior, dosen ke mahasiswa, dan itu secara gambaran dari laporan yang masuk ke kami, saya yakin itu juga dialami di kampus lain. Kami berterima kasih ke para korban yang sudah berani mengadukan ke LBH APIK.
Lalu, kita tahu 2021 itu sebenarnya banyak perkuliahan secara daring, termasuk semua kegiatan kampus. Tapi itu juga tidak menjadikan ruang yang aman buat korban kekerasan seksual. Kekerasan juga terjadi di ruang daring.
Dari kasus yang masuk, ada yang kami bantu prosesnya sampai ke jalur pidana, ada juga yang kemudian minta pendampingan saja ke dekan, ke kampus supaya pihak kampus tahu dan dia bisa mendapat bantuan hukum. Kami serahkan ke korban apa pun keputusan mereka, proses hukum atau soal bantuan hukum litigasi dan nonlitigasi.
Bagaimana pengalaman LBH APIK dalam pendampingan korban kekerasan seksual di lingkungan kampus?
Contoh terdekat di Universitas Indonesia (UI). Ada beberapa fakultas yang ketika ada kasus, mengontak kami untuk memberikan dampingan. Ada juga fakultas yang malah mendiamkan. Nah, dalam perjalanannya, UI ada SOP penanganan kasus kekerasan seksual.
LBH APIK diajak turut serta berdiskusi memberikan masukan, kebutuhannya apa saja yang ada di SOP tersebut. Kami mengapresiasi tindakan tersebut. Dengan pelibatan masukan dari pihak luar, ada perspektif lain.
Berkaitan dengan proses hukum kasus kekerasan seksual yang dialami teman-teman mahasiswa atau yang lain, pendampingannya sama. Cuma kadang prosesnya yang agak rumit ketika ada kampus yang justru tidak mendukung korban.
Dari pengalaman dalam pendampingan terhadap korban selama ini, penting untuk kampus memberikan dukungan kepada korban supaya dia bisa kuliah lagi. Kalau si korban harus cuti untuk fokus ke kasusnya, beri keleluasaan. Dampingi, sampai sediakan psikolog, itu sangat penting. Dukungan kampus itu jadi salah satu akses keadilan pelayanan.
Bisa diberi sedikit gambaran tentang isi SOP kolaborasi UI dan LBH APIK itu?
SOP yang dimiliki UI di antaranya mengatur pihak yang berwenang menerima laporan, yaitu gugus tugas khusus yang ditunjuk universitas dan fakultas dengan SK rektor atau dekan. Gugus tugas itu bekerja sama dengan pengawas/manajer/langsung dari terlapor untuk mengambil tindakan tepat dengan menggunakan SOP ketika ditemukan terjadinya kekerasan seksual. Tanpa harus menunggu laporan diajukan.
SOP juga memuat nama dan lokasi pusat-pusat pertolongan pertama, yang mampu memberikan saran dan bantuan awal. Di UI, ada di Fakultas Psikologi, Posko Klinik Hukum Perempuan dan Anak FHUI, Posko Layanan Bantuan terhadap Korban Kekerasan Seksual di FIB, Hopehelps, posko BEM UI, dan Klinik Satelit Makara UI. Dapat mengambil tindakan dini ketika mereka mengetahui adanya kemungkinan pelecehan seksual, serta menindaklanjuti dengan segera ketika ada masalah pelecehan seksual.
Setiap laporan yang diterima di posko/crisis center akan dinilai untuk dipertimbangkan dan diperiksa sejumlah hal, termasuk: keselamatan atau risiko lain yang terkait dengan laporan dan setiap penyelidikan yang timbul darinya. Ketika laporan tidak dibuat individu yang terdampak langsung, mereka diberitahukan tentang laporan dan dapat berbicara tentang laporan dan proses yang diantisipasi bahwa universitas akan mengambil untuk mempertimbangkannya. Termasuk bukti-bukti atas kasus tersebut, ada informasi yang cukup untuk diproses, juga segala persyaratan bagi universitas apabila akan melibatkan badan eksternal.
Mengapa banyak orang tidak paham konteks consent yang masuk Permendikbud-Ristek No 30 Tahun 2021?
Saya juga bingung untuk mencoba memahami orang yang tidak pahami itu. Peraturan di Permen 30 itu, kan, dibuat untuk melindungi korban. Untuk menyatakan bahwa korban tidak menghendaki terjadinya peristiwa itu. Muncul trauma. Itu masuk ke tindak pidana karena ada hak korban yang harus dipenuhi yang direnggut.
Sebelum ada permen ini, kita sudah ada UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, UU Perlindungan Anak, perdagangan orang, dan aturan lain, termasuk pergub DKI Jakarta yang yang mengeluarkan surat edaran soal kekerasan seksual di lingkungan kerja Pemprov DKI. Untuk membedakan mana yang bukan tindak pidana dan iya, kan, adalah soal consent atau persetujuan dari korban. Itu terkait dengan pengalaman korban. Nanti ditanya di (pemrosesan) BAP (berita acara pemeriksaan), apakah alami trauma. Tentu saja consent jadi sesuatu yang sangat penting.
Jadi, Permendikbud No 30 ini murni untuk perlindungan korban kekerasan seksual, baik laki-laki maupun perempuan. Mereka mendapat hak bantuan hukum, pemulihan, dan pendidikan yang baik. Tidak jarang korban kekerasan seksual itu putus sekolah karena malu, ditambah proses hukum yang rumit.
Pengaduan ke LBH APIK Jakarta pada 2019 tercatat ada 799 dan cenderung meningkat tahun-tahun berikutnya. Apa yang bisa dimaknai?
Tentu kami sedih dengan banyaknya aduan yang masuk, tapi itu juga berarti semakin banyak orang yang teredukasi untuk melapor ketika mereka menjadi korban.
Ketika pada 2019 tercatat 799 kasus, bukan berarti cuma ada sekian kasus. Bisa jadi ada (lebih) banyak, tapi tidak terlaporkan. Pada 2020-2021 ada peningkatan aduan. Itu diiringi dengan kesadaran teman-teman mahasiswa di kampus yang menyuarakan kasus kekerasan seksual. Misal dari UGM, UI, dan beberapa kampus lain. Tentu kita ingat dengan laporan intensif dari beberapa jurnalis yang merilis laporan investigatif nama baik kampus. Itu juga turut mengedukasi masyarakat.
Pada 2021 ini, dari laporan tahunan kami yang akan dirilis 10 Desember, ada 1.300 lebih aduan yang masuk, itu per Oktober 2021. Kasus paling banyak adalah kekerasan berbasis gender online (KBGO). Contoh paling nyata adalah Baiq Nuril, kasus yang menimpanya adalah KBGO dari atasannya. Namun, karena tidak ada payung hukum, kasusnya tidak berjalan.
Ini harus jadi perhatian bersama. Baik dari pemerintah, juga parlemen, dalam merancang RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Di situ perlu akomodasi KBGO karena banyak sekali korbannya dan itu berulang. Ada stigma masyarakat, apalagi ketika materi seperti foto atau video tersebar, atau ada ancaman lain. Itu akan membuat korban menjadi sangat trauma. Jejak digital itu jahat dan bisa diakses siapa saja, identitas jadi tersebar. Ketika ada payung hukum seperti UU PKS, itu bisa untuk melindungi.
Berubahnya RUU PKS menjadi RUU TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual) turut membuat hilangnya sekitar 85 pasal serta cuma memasukkan empat hal dikategorikan sebagai kekerasan seksual. Apa impak yang bisa terjadi serta intervensi apa yang bisa dilakukan ke Baleg DPR?
Jenis kekerasan seksual itu, kan, berdasarkan pengalaman korban dan pengalaman itu setidaknya jadi panduan bagi DPR. Situasi politik sangat fluktuatif. Jadi, setidaknya kami mengingatkan DPR untuk mengesahkan RUU PKS. Agar bisa mengakomodasi korban. Kami memberikan masukan bersama masyarakat sipil lain, berdiskusi dengan membuat tim, membuat policy brief dan berbagai macam dokumen yang bisa bantu DPR untuk lebih memahami situasi di lapangan.
Misalnya saja KBGO. Beberapa tahun lalu itu belum terjadi, atau belum tahu. Kemudian ketika dunia daring makin menggejala, itu tampak. Itu, kan, juga harus diakomodasi. Hukum, kan, akan terus hidup. Kalau tidak mengakomodasi itu dengan situasi sekarang, sama saja mengalami kemunduran.
Upaya harus dilakukan walau keputusan ada di DPR. Kami terus melobi baik ke tenaga ahli, ke Baleg, baik komisi-komisi yang mendukung dan menolak, semua kami ajak dialog supaya memahami situasi di lapangan.
DPR jangan lemah. Agenda pengesahan harus dilakukan karena korban butuh payung hukum. Ada banyak korban menunggu keadilan. Hampir tiap hari diskusi sering dilakukan. Tinggal menunggu keberpihakan pemerintah dan DPR untuk korban kekerasan seksual.
Tiap 25 November-10 Desember diperingati dengan gerakan 16 Hari Antikekerasan terhadap Perempuan (HKTP). Bagaimana advokasi yang berjalan sejauh ini? Tahun lalu fokus isunya ialah penyuaraan RUU PKS sebagai payung hukum untuk perlindungan korban kekerasan seksual. Bagaimana tahun ini?
Ini jadi momentum. Dalam hari-hari biasa memang tetap ada soal kampanye penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Namun, gerakan 16 HKTP ini juga momentum yang diperingati dunia. Menjadi sesuatu yang sangat penting untuk menyuarakannya. Supaya semakin banyak orang yang tahu dan paham, bagaimana mengenai akses layanan pengaduan atau apa pun yang dibutuhkan ketika menjadi korban.
Ketika pandemi ini dengan beragam isu, tidak hanya soal kekerasan, tapi juga bagaimana perjuangan perempuan pembela HAM, ini momentum kita perkuat kembali solidaritas dengan kampanye yang makin gencar. Pada 16 HKTP ini, edukasi ke masyarakat jalan dan negara memahami situasi terhadap kekerasan saat ini. Jadi, tidak boleh berhenti. (M-2)
BIODATA
Siti Mazumah
Jabatan: Direktur Yayasan LBH APIK Jakarta
Pendidikan
S-1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Karier
Pengajar sertifikasi hakim anak untuk Mahkamah Agung (2017-sekarang)
Fasilitator pelatihan paralegal (2017-sekarang)
Fasilitator konferensi paralegal untuk kelas diskusi peran pemerintah dalam bantuan hukum (2019)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved