Headline
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.
KARTU pos memiliki peran penting dalam perjalanan sejarah setiap bangsa di dunia, termasuk Indonesia. Pada awal abad ke-20, kartu pos bergambar menjadi media penyampai informasi paling banyak digunakan.
Meski memiliki masa tenar, hanya segelintir orang atau lembaga yang menyimpan kartu pos bergambar hingga saat ini. Salah satu yang melakukannya ialah Scot Merrilleess. Pria asal Australia itu telah mengumpulkan kartu pos bergambar asal Nusantara sejak awal 1990 hingga masa kemerdekaan 1945.
Merrilleess mengumpulkan kartu pos bergambar dari berbagai wilayah Indonesia, baik yang ia datangi maupun melalui berbagai lelang yang ada di Jakarta. Selama lebih dari 30 tahun, ia mengumpulkan kartu pos bergambar. Setidaknya 2.000 lembar kartu pos bergambar dari Indonesia di era tersebut telah ia miliki saat ini.
Koleksi berharga dari Merrilleess itu kemudian dirangkai dalam sebuah buku berjudul Faces of Indonesia 500 Postcards 1900-1945. Itu merupakan buku keempat Merrilleess yang menggambarkan tentang hal-hal di Indonesia.
“Ini merupakan buku pertama saya yang sangat berbeda dengan ketiga buku saya sebelumnya. Ketiga buku saya sebelumnya itu berisikan tentang Jakarta, kehidupan, tata kota, dan sebagainya,” ujar Merrilleess dalam diskusi virtual Borobudur Writers and Cultural Festival 2021, Kamis (18/11).
Terdapat enam bagian dalam buku tersebut. Setiap bagian memuat kumpulan kartu pos bergambar dari wilayah yang berbeda. Mulai Sumatra, Jawa, Bali & Lombok, Kalimantan, Sulawesi, serta Eastern Indonesia.
Dari 500 kartu pos yang dimuat dalam buku tersebut, Merrilleess menggambarkan keragaman yang ada dalam berbagai unsur kehidupan masyarakat Indonesia. Keragaman sebelum kemerdekaan yang umumnya belum tersentuh modernisme.
Dari Sabang hingga Merauke, kartu pos yang dikumpulkan Merrilleess memiliki muatan budaya, sejarah, hingga estetika Nusantara yang mungkin tak banyak dilihat orang Indonesia pada era saat ini.
Pada bagian awal yang bertema Sumatra, terdapat kartu-kartu pos yang memuat foto kondisi masyarakat Aceh, Sumatra Utara, hingga Sumatra Barat. Mulai foto masyarakat Aceh yang saat ini tengah berjuang mengusir Belanda, keragaman budaya dan agama di masyarakat suku Batak, hingga unsur matrilineal yang sangat khas di Sumatra Barat.
“Dari Aceh, terdapat kartu pos yang memuat foto serdadu Aceh pada awal abad 20 yang akan bergerilya melawan Belanda hingga foto wanita Aceh yang ikut berjuang pada masa itu,” ujarnya.
Dari wilayah lain di Indonesia juga dihadirkan potret yang mengedepankan kebegaragaman yang mewakilkan kekayaan dan keindahan masyarakat Indonesia. Wilayah Jawa menjadi yang paling banyak menyumbang kartu pos jika dibandingkan dengan wilayah lainnya.
Sementara itu, wilayah Indonesia bagian timur menjadi yang paling minim terangkum. Hal itu karena intensitas perjalanan penulis ke wilayah Indonesia bagian timur yang lebih jarang dan sulit dilakukan.
“Dari Jawa itu, banyak sekali yang menggambarkan keragaman budaya. Salah satunya, dari kehidupan di keraton,” ujarnya.
Dari kumpulan kartu pos bergambar yang ada di buku tersebut, bagian Jawa menjadi bagian yang memiliki gambar tentang mulai masuknya teknologi ke Ibu Kota. Itu terlihat dari kartu pos yang berisi gambar alat telegram.
“Saya memiliki ribuan kartu pos dari wilayah Jawa. Jadi, memang tidak mudah untuk memilih mana yang dimuat dalam buku ini,” ujar Merrilleess.
Hal itu memang tidak heran mengingat sejak awal Merrilleess datang ke Indonesia, ia tinggal di Pulau Jawa, salah satunya Salatiga. Ia sempat belajar bahasa Indonesia di Satya Wacana University in Salatiga pada 1981-1982. Kemudian, ia tinggal dan bekerja di Jakarta selama lebih dari 20 tahun di berbagai instansi bidang perbankan.
Untuk memilih 500 kartu dalam buku itu, secara total Merrilleess mengatakan ia mengeliminasi sekitar 1.500 kartu pos bergambar asal Indonesia lainnya yang ia miliki. Beberapa hal jadi pertimbangannya dalam memilih kartu pos yang dimuat.
Selain dari estetika dan komposisi foto, unsur lain yang menjadi cerita dalam setiap foto pada kartu pos juga jadi pertimbangannya. Ia mengatakan selalu mengedepankan kartu pos dengan foto yang menggambarkan keragaman, kehormatan, dan perjuangan orang Indonesia sebelum era kemerdekaan.
”Saya sengaja memilih foto atau kartu pos yang memiliki unsur dignity. Menggambarkan bahwa setiap orang memiliki kehor matannya di kehidupannya masing-masing,” ujarnya.
Pertimbangan itu yang membuat tak ada satu pun dari kartu pos bergambar dalam buku itu memuat foto penjajahan atau perbudakan yang dilakukan Kolonial terhadap masyarakat Indonesia. Sebaliknya, foto yang muncul sarat akan gambaran perjuangan keras bangsa Indonesia untuk bertahan hidup di tengah penjajahan.
“Ada juga foto yang menggambarkan kehidupan masyarakat yang saat ini juga memang tengah banyak berada dalam kemiskinan. Namun, tidak yang memiliki unsur kolonialnya, saya sama sekali tidak mau pakai yang seperti itu,” ujarnya.
Keindahan dari foto-foto pada kartu pos bergambar dalam buku Merrilleess terlihat juga dari ragam variasi objek, latar, unsur sejarah, hingga budaya di dalamnya. Ia juga menyertakan keterangan mengenai setiap foto kartu pos sebagai informasi di balik gambar yang ada pada setiap kartu.
“(Yang) saya cari adalah artistik. Jadi, komposisi dari foto itu harus bagus, juga harus ada sesuatu yang menarik perhatian saya ketika melihat foto itu. Misalnya, apakah muka dari orang yang difoto, apakah perhiasannya, senapannya, atau latar seni dan sejarahnya. Jadi, harus ada nilai tertentu yang menarik perhatian saya,” ujarnya.
Menariknya, dari semua kartu pos bergambar yang dimuat, foto-fotonya merupakan karya fotografer asal Indonesia. Salah satunya, sosok Kassian Cephas. Kassian Cephas merupakan fotografer profesional pertama asal Indonesia yang memiliki peran besar dalam perkembangan fotografi di dalam negeri pada awal abad ke-20.
“Itu juga menurut saya nilai lebih dari setiap kartu pos yang ada di sini,” ujar Merrilleess.
Dengan seluruh koleksi yang ditampilkan dalam Faces of Indonesia 500 Postcards 1900-1945, Merrilleess berhasil menghadirkan sisi lain keindahan Nusantara pada era tersebut yang kerap tenggelam dengan cerita suram penjajahan. Merrilleess membuat visualisasi keberagaman masyarakat Indonesia pada era sebelum kemerdekaan. Jadi, lebih nyata bagi siapa pun yang melihat buku tersebut.
Buku itu menjadi sangat penting karena merupakan bagian dari dokumentasi yang tak banyak dimiliki bahkan dilihat oleh mayoritas masyarakat. Khususnya, generasi muda saat ini yang tak merasakan era emas kartu pos bergambar. (Pro/M-2)
___________________________________________________________________________________________
Judul: Faces of Indonesia 500 Postcards 1900-1945
Penulis: Scot Merrilleess
Penerbit: Hanusz Publishing (Desember 2020)
ISBN: 9781648263064
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved