Headline
Tidak ada solusi militer yang bisa atasi konflik Israel-Iran.
Para pelaku usaha logistik baik domestik maupun internasional khawatir peningkatan konflik Timur Tengah.
PERJALANAN Sapta Kunta Purnama di bidang olahraga sudah berlangsung lama dan berliku. Pria berusia 53 tahun ini pada awalnya berkarier sebagai atlet badminton yang berprestasi hingga tingkat propinsi.
Selepas gantung raket, ia menjadi pelatih atlet badminton nondisabilitas. Namun, sarjana pendidikan olahraga, Universitas Sebelas Maret, Surakarta, ini melihat jika ia hanya bisa membimbing atletnya mencapai prestasi hingga level yang dulu ia tapaki.
"Sementara itu, saya ingin bisa berkontribusi lebih besar bagi bangsa ini. Lalu, saya melihat ada cabang olahraga disabilitas yang saat itu menurut saya sangat berpotensi dan belum tergarap denga maksimal. Di bidang itu juga saya merasa bahwa saya bisa berkontribusi lebih banyak dengan kemampuan saya sebagai atlet dan juga sebagai akademisi," tutur pria yang mengambil gelar master dan doktor bidang pendidikan olahraga di Universitas Negeri Jakarta itu, ketika dihubungi, Rabu (3/11).
Dari pengalamannya melatih atlet disabilitas, Sapta mengatakan kemampuan kepelatihan tidak hanya untuk meningkatkan teknik bermain. Lebih dari itu, perannya sangat dibutuhkan untuk memberi dukungan secara psikologis bagi para atletnya.
“Kalau melatih secara teknik sebenarnya tak terlalu terasa menantang. Bagi saya yang jauh lebih sulit sebenarnya ialah dukungan psikologisnya bagi mereka,” ujarnya.
Ia menjelaskan, para atlet dengan disabilitas umumnya harus lebih diayomi dari sisi emosi. Dukungan psikologis berupa pendampingan, pemberian semangat, hingga membantu menyelesaikan masalah personal setiap atlet kerap ia lakukan demi membuat sang atlet tetap semangat dan berprestasi.
“Saya selalu harus berusaha dan bisa mendekatkan diri pada mereka secara personal. Saya selalu memastikan satu per satu atlet kondisinya bagaimana, apa saja kebutuhannya. Jadi memang lebih intensif perannya sebagai pelatih yang tak hanya melatih,” ujarnya.
Kesabaran juga harus ditingkatkan karena tak jarang atlet dengan disabilitas memiliki kondisi fisik dengan kemampuan terbatas. Seperti mudah lelah, mudah sakit, dan sebagainya. Sebab itu, jadwal dan porsi latihan harus menyesuaikan dengan kondisi mereka masing-masing.
“Saya sejak awal terjun sudah sadar akan hal itu. Saya juga tahu bahwa mereka secara psikologis harus diayomi. Saya juga beberapa kali membantu misalnya menyelesaikan masalah personal mereka. Saya bantu selesaikan supaya mereka bisa fokus dan konsentrasi berlatihnya,” ujar lelaki kelahiran Boyolali tersebut.
Kesabarannya dalam mengayomi para atlet disabilitas diakuinya semakin terbangun seiring berjalannya waktu. Terutama setelah ia juga aktif berprofesi sebagai akademisi yang kerap bersinggungan dengan mahasiswa. Dengan kiprahnya di dunia olahraga disabilitas, Sapta merasa hidupnya lebih bermakna dan berguna bagi bangsa dan masyarakat.
“Jadi saya sangat senang setiap ada kesempatan untuk terjun langsung membantu teman-teman disabilitas ini meraih prestasi. Tidak akan saya lewatkan selagi saya mampu melakukannya,” tutupnya. (Pro/M-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved