Headline
Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.
Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.
Kawasan Pegunungan Kendeng kritis akibat penebangan dan penambangan ilegal.
PEKAN Komponis Indonesia kembali hadir. Tahun ini berlangsung 6 - 7 November 2021, acara yang diadakan oleh Dewan Kesenian Jakarta ini mengambil tema tajuk Pekan Komponis Indonesia: Dari Masa ke Masa.
Sejumlah kegiatan awal telah dilangsungkan, termasuk seri diskusi publik daring pada Selasa, (2/11). Salah satu pembicaranya adalah Otto Sidharta, komponis yang tam[il di perhelatan pertama di era 70-an ketika masih menyandang nama Pekan Komponis Muda.
Otto mengatakan acara musik itu sebenarnya cukup 'seram' bagi sejumlah musikus. Pasalnya, dalam program tersebut, komponis tidak hanya diminta untuk menampilkan karya, tetapi juga harus menyampaikan gagasan di balik suguhannya.
"Mungkin lebih seram dari ujian. Tapi itu memang sebagai ujian bagi komponis untuk memikirkan betul gagasan dan konsepnya. Apalagi kalau menyampaikan gagasan-gagasan baru. Nah, ini kenapa selalu ditunggu-tunggu karena selain pertunjukannya yang 'aneh-aneh', pertunjukan-pertunjukan di pekan komponis ini selalu menarik," kata komponis senior ini.
Menurut Otto, karya yang ditampilkan para komponis dalam Pekan Komponis Indonesia pada dasarnya sangat beragam. Banyak gagasan-gagasan yang mengagetkan karena menawarkan kebaruan dan kesegaran.
"Franki Raden pernah mementaskan karyanya dengan empat tape recorder. Jadi pemainnya ada empat, tapi empat-empatnya itu real tape recorder yang pakai pita itu. Kemudian Harry Roesli. Dia mementaskan karyanya yang menggunakan banyak hal. Peralatan rumah sakit dan segala macam dipasang sebagai instalasi di sana," kenang Otto.
Pembicara lain, Nyak Ina Raseuki mengkilas balik acara ini dari sudut pandang sebagai penonton. Baginya, di era 80-an, acara ini menjadi salah satu dorongan bagi mahasiswa, khususnya jurusan musik untuk mendengarkan berbagai jenis musik, baik tradisional, populer, maupun kontemporer.
Acara tersebut juga menjadi faktor penting munculnya gagasan-gagasan baru yang berlatar musik tradisional. "Yang paling terkesan bagi saya adalah karya Pak AL Suwardi dari Solo (Ngalor-Ngidul, 1982 -red). Lalu, bagaimana saya melihat Pekan Komponis Indonesia pada masa kini? Saya kira setiap institusi seni dan komunitas musik memiliki tujuan masing-masing. Nah apa yang dilakukan DKJ, sebagai institusi milik publik melalui pekan komponis, saya kira diteguhkan dengan cita-cita publik musik juga. Kelak, siapapun yang mengelola, visi dapat diteruskan dalam variasi bentuk perkembangannya," tutur Ina.
Selain itu, hal yang tidak kalah penting bagi Ina, ialah peran Pekan Komponis Indonesia sebagai pintu bagi para komposer dan pencipta musik yang berada di luar Jawa. Ia juga berharap agar Pekan Komponis Indonesia menjadi akses bagi perempuan komposer dari timur hingga barat Indonesia.
"Selama ini terbatas ruangnya. Mereka tersembunyikan. Petanya perlu dibuat, sehingga kita tahu dimana, ada apa, dan siapa saja yang patut diberi ruang. Di era sekarang bukan hal yang mustahil bahwa saling-silang apresiasi berbagai jenis musik terjadi," pungkasnya. (M-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved