Headline

Tidak ada solusi militer yang bisa atasi konflik Israel-Iran.

Fokus

Para pelaku usaha logistik baik domestik maupun internasional khawatir peningkatan konflik Timur Tengah.

Bersinergi dalam Ekosistem Perfilman

Fathurrozak
24/10/2021 05:50
Bersinergi dalam Ekosistem Perfilman
Sineas Garin Nugroho(Dok. Pribadi)

FESTIVAL Film Indonesia (FFI) tahun ini menjadi yang kedua kalinya diselenggarakan di era pandemi covid-19. Sejarah film dan media baru menjadi tema pengikat festival yang juga menandai masa kerja kepengurusan komite baru yang diketuai aktor Reza Rahadian.

Berdasarkan 69 film yang mendaftar dalam FFI 2021, komite baru-baru ini mengumumkan daftar pendek nominasi untuk 22 kategori. Sejumlah hal menarik tampak pada kategori film terbaik yang memunculkan mulai dari sutradara debutan hingga yang sudah cukup mapan. Pada kategori film pendek, juga muncul film garapan mahasiswa. Komite FFI pun mengadakan empat kategori baru, termasuk kritik film.

Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai seluk-beluk penjurian FFI tahun ini, Media Indonesia berbincang dengan Garin Nugroho, Ketua Komite Bidang Penjurian FFI 2021-2023. Kami juga berbincang mengenai posisi FFI sebagai salah satu medium untuk membaca peta dan dinamika perfilman Indonesia yang kini mencakup media baru seperti platform OTT. Berikut petikan percakapan kami via konferensi video, Rabu (13/10).

Sistem seleksi dan penjurian tahun ini mengacu pada sistem tahun lalu atau ada penyesuaian?
Sebetulnya tidak ada sedikit pun peraturan dari perundangan yang ada untuk menjadi suatu sistem. Saya sebagai ketua penjurian harus membuat sistem berbasis demokratisasi. Pertama, lewat diskusi terarah yang kemudian menunjuk sistem juri. Diskusi ini diikuti lebih dari 15 asosiasi di perfilman, membahas sistem seperti apa yang akan digunakan. Mayoritas, 90%, memilih dengan sistem juri.

Jadi, saat ini menggunakan sistem juri yang ditumbuhkan dari partisipasi individu anggota asosiasi-asosiasi, dan dikontrol asosiasi dalam memilih juri nominasi dan sebagainya. Juri ini tidak sekadar dari asosiasi, tetapi juga merepresentasikan ekosistem. Makanya, di dalamnya ada pakar, kritikus, dan lainnya.

Tim kurator tetap ada, yang kami sebut sebagai tim seleksi. Mereka bertugas memilih jumlah film, yang (tahun ini) semula ada 69 menjadi 30. Tidak semua (yang gugur) karena syarat administrasi. Ada kurasi awal juga berdasar unsur-unsur film oleh tim kurasi. Film lalu diseleksi individu perwakilan asosiasi, dan waktu nominasi dipilih 45 juri, dengan setiap asosiasi mengirim tiga perwakilan juri. Nanti untuk memilih hasil akhir, akan ada 15 juri yang mewakili ekosistem.

Bagaimana untuk menekan konflik kepentingan, misal yang menjadi juri juga bagian dari salah satu film yang dinilai?
Conflict of interest bisa saja terjadi, dan itu wajar. Maka, ada act of conduct, semacam peraturan, bagi juri yang terlibat di suatu film, dia tidak memiliki hak suara.

FFI sangat terbuka dalam proses yang dilakukan dalam bentuk sistem hingga cara pemilihan. Misal ada satu film menang, lalu tiba-tiba ternyata melanggar hak cipta, itu sudah diatur dalam act of conduct kami, agar dibatalkan demi hukum. Banyak peraturan dan etika yang diterapkan dalam penjurian.

Anda pernah menyebut FFI bukan sekadar untuk kompetisi, tetapi juga untuk membangun ekosistem perfilman dan membaca peta dinamika perfilman Indonesia. Bagaimana keterkaitannya?
Ketika para asosiasi melakukan penjurian, mereka memberikan catatan tentang masalah, tantangan, dan kecenderungan film Indonesia sekarang, dan itu akan jadi pekerjaan rumah yang besar bagi FFI untuk memberi rangkuman.

Kalau misalnya cuma dengan sistem seperti Oscar, memilih tanpa berdiskusi, itu akan sulit untuk melakukan pencatatan. Semua diskusi direkam, dan nantinya bisa dibaca. Misalnya saja untuk menentukan nominasi untuk kritik film, terjadi diskusi yang seru tentang beragam perkembangan kritik film saat ini dari era media cetak hingga media baru.

Atau di (kategori) film dokumenter, yang dalam proses penjuriannya, untuk mengatasi apa yang disebut dengan bertumbuhnya film-film daerah, asosiasi dokumenter membentuk korda-korda daerah. Cara-cara seperti ini yang muncul dalam penjurian. Membangun partisipasi dan institusi profesi yang mampu menghadapi tantangan zaman. Tidak saja kompetisi, tapi mendorong asosiasi itu mengembangkan pemberdayaan institusinya menghadapi tantangan baru. Sehingga mereka bikin korda-korda, dan kemudian dengan diskusi, ada semacam catatan-catatan yang nantinya bisa jadi landasan untuk membaca peta perfilman Indonesia.

Kritik film menjadi kategori baru di FFI tahun ini. Apa yang ingin dituju?
Di dalam kultur dan ekosistem di dunia, bahkan ada Critic’s Choice, ada Federasi Kritik Internasional. Perfilman Indonesia hanya akan tumbuh jika ekosistem terbangun. Artinya tidak hanya asosiasi beserta insan film, tetapi ada kritikus, industri, pendidikan, dan lainnya yang menjadi bagian.

Kritik jadi salah satu ekosistem terpenting dan ketika terjadi transisi dari cetak ke media-media baru, kita harus membuka peluang terjadinya suatu kompetisi yang juga mampu membaca peta baru tentang eksistensi kritik film di tengah peralihan yang mengalami percepatan.

Bicara soal mendorong perfilman daerah, bagaimana Anda melihat fenomena film cerita yang membawa tema lokal, tapi tidak terepresentasi pada bintang-bintang utamanya?
Memang di dalam film cerita masih terjadi pemusatan. Justru, dengan adanya sistem diskusi, berbagi antarasosiasi, mereka bisa saling belajar.

FFI jadi pendorong untuk setiap asosiasi saling belajar dan membaca tantangan ke depan. Diakui, film cerita masih berpusat di Jakarta. Kedua, Yogyakarta. Di tempat lain sudah tumbuh sebenarnya, misalnya Makassar, tapi ya itu tadi masih minor. Dengan saling sharing antarasosiasi, caracara untuk menumbuhkan dan menghadapi tantangan ini akan jadi ekosistem yang bagus dan saling belajar antara asosiasi dan institusi.

Harus diakui, hampir di berbagai negara, ibu kota menjadi panduan gaya hidup dan pusat teknologi, juga bergeraknya ekonomi. Untuk melakukan desentralisasi pada film cerita, banyak tantangan. Misalnya saja Yogyakarta sekarang sudah tumbuh seperti kota industri film yang lebih indie, dihidupkan dengan cara-cara indie, bermula dari festival film oleh teman-teman komunitas.

Jadi harus dibangun trigger-trigger di daerah untuk menumbuhkan industri penciptaan film. Tapi, menurut saya, dengan percepatan teknologi yang luar biasa, kapital besar, (perfilman) akan meluas di daerah-daerah beberapa tahun ke depan.

Pada kategori film terbaik tahun ini, muncul film dari sutradara debutan, sutradara yang sudah cukup matang, juga perempuan sutradara. Sementara di film pendek, ada film garapan mahasiswa. Apa makna dari situasi ini?
Ketika menjaring film, tidak semata-mata mana film baik dan tidak saja, tapi juga untuk menumbuhkan keberagaman, baik usia maupun tema. Kalau lihat nominasi sekarang kan keberagaman usia itu luar biasa. Di kritik film juga demikian. Terjadi keberagaman usia dan tema, bahkan dari jenis art dan industri. Itu menandakan asosiasi dan anggota dalam memilih juga membaca ekosistem secara luas.

Anda pernah mengatakan, saat ini adalah generasi ketiga perfilman Indonesia pascareformasi. Bisa dijelaskan?
Saya menyebutnya secara umum, generasi ketiga ini biasanya tidak begitu euforia dengan masalah demokratisasi seperti pada zaman reformasi. Kalau sebelumnya kan misal, ‘saya pakai bahasa kasar, lihat ini.’ ‘Aku buka masalah ini.’

Seakan-akan semua begitu. Kalau Anda lihat pada beberapa film (sekarang) yang meraih penghargaan festival internasional, itu bicaranya tema mikro, misal di urban, atau era 80-90-an. Temanya khusus, mikro. Tapi dalam mikro itu mengandung masyarakat makro. Tidak dengan euforia yang diceritakan gegap gempita seperti pascareformasi. Jadi ada pertumbuhan baru. Nah, itu di film indie-nya.

Di film industrinya juga tecermin keberagaman tema karena ini pengaruh dari OTT juga. Platform OTT membawa pengaruh besar pada tema. FFI juga sekarang berpusat pada sejarah dan media baru karena pengaruhnya besar sekali.

Media baru menjadi tema tahun ini, tapi dalam kultur kita, bioskop masih menjadi sesuatu yang utama. Apa kelak akan tergeser?
Ada tontonan dalam dan luar rumah. Keduanya saling menghidupi. Dan film hanya bisa dihidupi kalau dua-duanya hidup. 

Bioskop adalah budaya keluar rumah yang juga tidak akan pernah mati, selain sebagai lambang sejarah awal film. Kenapa bioskop tetap jadi ‘arsitek’ film Indonesia? Karena bioskop menjadi bagian dari sejarah sinema. Apa yang disebut ekonomi dan tontonan budaya keluar rumah, itu utamanya masih bioskop. Maka bioskop jadi penting untuk ke depan.

Menonton di bioskop itu serupa upacara, dengan berada di ruang gelap, tidak boleh saling usik. Berbeda dengan menonton di OTT lewat gawai, yang sangat terfragmentasi. Maka, bagi pembikin film, bioskop adalah upacara. Semua sinema kan dirancang ditonton dalam gelap, tanpa mengurangi cakupan media baru. Maka itu juga yang jadi tema FFI tahun ini, sejarah dan media baru.

Anda pernah menyinggung soal pasar banal OTT karena yang dikejar ialah kuantitas konten ketimbang kualitasnya. Apa yang bisa didorong oleh para pekerja film agar leverage mereka bisa naik di mata penyedia streamer?
Harus ada kesadaran baru di media baru dari ekosistem filmnya. Pertama, keberagaman tontonan di OTT yang digemari orang Indonesia menunjukkan berbagai tema bisa dijual. Tinggal keterampilan bertuturnya saja. Bukan jual kemasan, tapi menjual keterampilan bertutur dengan keberagaman tema.

Kemudian perlu disadari, selera bisa dibentuk dan ditawarkan dengan berbagai alternatif. Selera itu kan seperti pendidikan, kalau dibiarkan, ya itu-itu terus. Selera harus dibentuk. Ketika ada kesadaran akan era media baru dengan segala kemungkinan internet, pasar global sebenarnya tersedia di depan mata, lewat OTT, misalnya. Tapi, konten OTT kita kebanyakan lokal, sementara yang di internasional bersifat regional. Jadi, kita ini cuma dijadikan pasar, dan tidak dikembangkan. Cuma diambil oleh banyak orang, dan kita hidup dari pasar kita yang seleranya dihentikan. Itu masalah besar. Dibutuhkan rekonstruksi cara berpikir ulang tentang selera para pencipta. Karena itu tadi, selera bisa dibentuk. Makanya, harus dimulai dari sisi orang film dulu. Jangan dikemas hanya untuk kepentingan sesaat saja soal selera itu.

Sejumlah film kita tahun ini mendapat penghargaan bergengsi di festival-festival internasional. Apakah itu kasuistik, atau memang perfilman kita sudah cukup punya modal menjadi bagian sinema internasional?
Itu menunjukkan kualitas personalitas jauh lebih unggul daripada industrinya. Personalitas film yang memang karyakarya indie. Karya industri belum bisa bersaing di dunia. Di OTT, masih regional. Artinya, pasar karya-karya komersial kita masih untuk lokal saja, sementara karya
indie-nya yang meluas.

Sekarang sudah mulai ada terobosan. Misalnya, dengan Joko Anwar dan horornya. Tapi horor memang Asia rajanya, ya. Ada Thailand, Jepang. Kita harus mulai mencoba dalam industri di pasar global. Itu tersedia lewat media baru. Harus dimulai dan dilakukan untukkarya yang sifatnya orisinal dan global. Memang industri ini ada yang disebut industri dalam siklus memperbaiki diri dan ada industri dengan siklus yang memenjarakan diri. Semoga kita dalam siklusyang memperbaiki diri.

FFI dengan keberagaman, dan OTT yang masuk ke rumah-rumah, terjadi revolusi dalam melihat film, terjadi migrasi selera yang memengaruhi karya film Indonesia. Dulu ketika tidak ada OTT, kita tidak punya kemampuan memilih. Dengan adanya OTT, ada perpustakaan besar, kita bisa melakukan pilihan dan merasakan yang belum pernah kita rasakan. (M-2)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah
Berita Lainnya