Headline

Tidak ada solusi militer yang bisa atasi konflik Israel-Iran.

Fokus

Para pelaku usaha logistik baik domestik maupun internasional khawatir peningkatan konflik Timur Tengah.

Sebarkan Narasi yang Merekatkan Bangsa

Furqon Ulya Himawan
26/9/2021 06:30
Sebarkan Narasi yang Merekatkan Bangsa
Direktur Wahid Foundation, Yenny Wahid(MI/Furqon Ulya Himawan)

MINGGU lalu sebuah video yang menunjukkan sejumlah santri menutup kuping saat mendengar musik, viral. Banyak orang cepat bereaksi pada video itu bahkan tidak sedikit yang menilai para santri anak-anak tersebut radikal.

Di luar alasan sebenarnya para santri, perilaku masyarakat yang cepat melabeli negatif pada kelompok lain menimbulkan keprihatinan dan kekhawatiran. Direktur Wahid Foundation yang juga putri mendiang Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid, Yenny Wahid, melalui instagram @yennywahid mengajak masyarakat agar lebih proporsional dalam menilai orang lain.

Lalu mengapa perilaku pelabelan negatif ini begitu gampang dilakukan masyarakat kita, bahkan oleh pejabat pemerintahan? Apa yang harus dilakukan terkait hal ini? Berikut petikan wawancara Media Indonesia dengan Yenny di kediamannya, di Yogyakarta, Kamis (23/09).

Berkaca dari kejadian video santri tutup kuping, bagaimana melihat fenomena masyarakat yang mudah melabeli orang lain radikal?
Iya ini yang coba kita edukasi kepada masyarakat. Jangan mudah melabeli seseorang karena itu berbahaya dan bisa menimbulkan perpecahan dan memecah belah bangsa. Dalam tataran individu saja, kalau dilabeli sesuatu kita pasti marah. Mungkin ada kecenderungan dalam anak-anak kalau dilabeli bandel, dia malah jadi bandel. Kalau pemalas, ya dia akhirnya pemalas.

Untuk bisa mengatakan seseorang radikal atau tidak, itu ada indikatornya dan berdasarkan data serta pendekatan ilmiah. Nah, tidak suka musik, bukan berarti radikal. Konservatif, iya. Dia ekstrem dalam pandangan hidup, tapi hal itu salah atau radikal tidak? Belum tentu. Selama dia taat pada negara, bayar pajak, itu tidak radikal. Kalau konservatif, itu pilihan hidup.

Dalam konteks video anak santri tahfiz, itu malah jauh bisa dimaklumi. Kenapa, karena mereka tidak mau hafalannya hilang. Mereka butuh konsentrasi dan segala macam. Ada orang yang bisa menghafal Alquran sambil mendengarkan musik, ada yang tidak. Mungkin bagi pondok tahfiz ini mendengarkan musik bisa mengganggu konsentrasi, ya sudah itu aturan internal mereka. Tapi kalau dia kemudian sampai mengafi rkan orang lain, memaksa orang lain untuk mengikuti gaya hidupnya, itu baru radikal apalagi menggunakan kekerasan. Jadi, bedanya di situ.

Apa dampaknya kalau perilaku pelabelan ini terus terjadi?
Orang mudah sekali melabeli sesuatu yang dia tidak pahami. Mungkin buat dia aneh. Orang sekarang kecenderungannya judgmental, suka menghakimi. Sesuatu yang berbeda dengan dirinya dianggap aneh dan tidak wajar. Nah, apalagi kalau kemudian sesuatu itu dikaitkan dengan pemahaman agama, tambah lagi dan buat dia radikal.

Orang Amish, sekte Kristen di Amerika.Gaya hidupnya jauh lebih ekstrem ketimbang salafi . Bajunya khusus, pertanian sendiri, boro-boro dengar radio, keretanya saja pakai kereta sendiri, kereta kuda tidak pakai mobil. Ini kurang apa, aneh tidak buat kita. Ya aneh. Tapi apakah mereka radikal, belum tentu.

Nah, jadi menurut saya, kita harus mampu memilah mana yang menunjukkan indikator seseorang radikal atau tidak. Namun, kalau sedikit-sedikit orang dilabeli radikal, malah menjadi radikal benaran. Tambah marah mereka. Kan gawat kalau begitu. Sebagai bangsa, kita harus bisa menemukan titik temu, dan di mana kita masih bisa hidup berdampingan secara damai dan baik walaupun punya nilai dan gaya hidup yang berbeda. Selama masih menghormati negara ini dengan segala aturannya, mengakui Pancasila dan UUD 1945, tidak melanggar hukum, bayar pajak, selesai.

Bagaimana edukasi yang tepat untuk menghentikan pelabelan dan menumbuhkan toleransi?
Memang kita harus aktif mengedukasi. Saya juga agak kaget ternyata yang merespons postingan saya banyak banget. Berarti banyak yang punya kepedulian dengan isu ini. Ada juga yang mengatakan kalau perspektif (seimbang) seperti itu tadinya tidak terpikirkan. Jadi, buat saya kita harus terus melakukan upaya begitu untuk terus menyadarkan masyarakat agar bersikap seimbang. Dalam hidup itu harus seimbang. Caranya kita bareng-bareng menyebarkan narasi dan opini yang bisa merekatkan kita sebagai bangsa, bukan malah memecah belah
bangsa. Menciptakan narasi yang menyejukkan dan banyak dialog.

Bagaimana dengan edukasi mulai dari lingkup keluarga?
Pada hakikatnya manusia berbeda. Nah, karena sudah tahu berbeda, kita hormati perbedaannya. Sebagai ibu, saya meyakini perempuan punya andil besar dalam mewujudkan toleransi dan perdamaian di Indonesia. Minimal hal itu dia mulai tingkat paling kecil, keluarga. Dari situlah dia berikan nilai-nilai toleransi dan perdamaian kepada anak-anaknya.

Terkait dengan peran perempuan ini, bagaimana yang dilakukan lewat program Desa Damai yang dilakukan bersama UN Women sejak 2017?
Desa damai ialah sebuah inisiasi. Ada 3 pendekatan. Pertama pendekatan ekonomi, yakni dengan memberikan pelatihan peningkatan ekonomi kepada masyarakat. Kedua pendekatan terkait konflik. Meningkatkan peningkatan daya tahan masyarakat terhadap konflik, seperti konfl ik sosial atau identitas dengan memberikan pelatihan pencegahan konflik. Apa yang harus dilakukan kalau terjadi konflik, penyelesaian persoalan dan bagaimana membangun perdamaian di tingkat desa. Ketiga peningkatan peran perempuan di masyarakat, bagaimana
menghadirkan sosok perempuan sehingga suaranya didengar dan diikutsertakan dalam pengambilan keputusan.

Pertamanya mereka (perempuan) juga ada yang bingung, masak iya kami agen perdamaian. Akhirnya oh ternyata bisa jadi juru damai, toh. Bahkan ada yang baru tahu kalau ternyata juga punya hak bersuara. Yang pertama harus dibangun ialah kesadarannya. Bahwa mereka punya hak dan kewajiban yang sama untuk membangun masyarakat. Mereka juga punya kemampuan untuk bisa berkontribusi membangun masyarakat lebih baik.

Selama ini perempuan tidak percaya diri dan tidak mengerti bahwa dirinya punya kekuatan. Ini yang kita tekankan. Mereka itu punya daya untuk bisa menggerakkan masyarakat dan menjadi inisiator. Dimulai dari tingkat keluarga. Ibu-ibu yang menjadi anggota kita juga harus berkomitmen bahwa keluarganya harus sekolah. Kadang, masyarakat plural kalau mendapat hambatan sedikit, mereka putus sekolah. Ini tidak bisa, harus kita dorong. Kalau masalahnya uang, ayo kita cari bersama. Misalnya, dagangannya ditingkatkan dan ayo kita bantu.

Sampai sekarang ada berapa desa dan bagaimana penyebaran program ini ke desa-desa lainnya?
Ada 30 desa, lalu yang sudah deklarasi 15 desa, bulan depan ada deklarasi di Solo sehingga jumlahnya 16. Ada di DIY, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat. Bagi desa yang sudah deklarasi sebagai desa damai, mereka mendapatkan bantuan kepentingan desa dan kita prioritaskan. Seperti ambulans. Banyak indikator yang harus dicapai untuk deklarasi desa damai. Mereka harus mekanisme pencegahan konflik, penghormatan kepada keberagaman, warga berhak beribadah secara damai.

Itu semua harus dipenuhi. Contoh konkretnya ada Pokja Perempuan. Bahkan ada Aturan Desanya, macammacam sesuai kebutuhannya. Kalau itu sudah terpenuhi, baru mereka boleh deklarasi.

Di Program Desa Damai, anda juga melakukan program mitigasi Covid19. Bagaimana dampak pandemi yang anda lihat di desa-desa?
Masyarakat kita itu luar bisa dengan segala keterbatasannya, tapi punya komitmen tinggi untuk membangun. Ini yang saya lihat. Hanya perlu difasilitasi sedikit sudah menjadi gerakan yang luar biasa. Contoh Desa Damai. Saya hanya sedikit memfasilitasi, begitu terfasilitasi, wah gerakannya luar biasa, komitmennya luar bisa. Mulai perangkat sampai masyarakatnya luar bisa. Kemudian ini menjadi gerakan yang betul-betul berdampak.

Saya juga menemukan banyak kepala desa yang benar-benar berpikir untuk warganya. Saat pandemi misalnya, saya tanya kepada desa, apa sih yang dibutuhkan masyarakat selama ini. Macammacam, dan itu betul-betul suara dari tingkat bawah. Ada yang minta genset
portable. Itu karena jumlah yang meninggal sangat banyak sehingga antrean pemakaman banyak, sampai malam. Tidak ada penerangan di areal makam sehingga mereka butuh penerangan. Ada yang minta oksigen, dan mobil ambulans.

Bagaimana kesadaran masyarakat desa dalam menghadapi pandemi, termasuk mengikuti program vaksin?
Masyarakat desa itu punya kemampuan dan komitmen yang tidak kalah dengan siapa pun, termasuk masyarakat urban. Justru masyarakat desa punya kepedulian lebih jika dibanding dengan masyarakat urban yang cenderung individualis dan eksklusif. Masyarakat desa masih kuat rasa gotong royongnya. Ada juga yang tidak mau dan raguragu di vaksin. Namun, itu terjadi di seluruh dunia, tidak hanya di desadesa. Masyarakat berpendidikan juga gua ada. Nah, kita yang harus bangun kesadarannya. Silakan kalau tidak percaya, tapi dia harus membatasi pergerakannya karena dia rentan dan mengancam kesehatan orang lain. Nah, yang perlu kita perluas adalah pengalaman orang-orang yang awalnya anti vaksin, tak mau pakai masker dan tahu-tahu kena covid-19. Akhirnya mereka beralih jadi pendakwah militan dan mengatakan kepada orang bahwa anggapannya salah.

Bagaimana anda melihat strategi yang dilakukan pemerintah dalam menangani pandemi?
Secara umum ada pandangan setiap negara harus memilih antara ekonomi dan kesehatan. Dua hal mana yang harus didahulukan. Kalau kesehatan, lockdown total dan ekonominya terganggu. Kalau ekonomi, ya sudah nanti banyak yang kena covid-19. Nah Indonesia mampu membuat keseimbangan, antara tuntutan ekonomi agar tetap jalan, tapi juga memastikan bahwa masyarakatnya tetap terjaga dan tidak ada kerumunan yang berlebihan.

Seperti dengan adanya PPKM. Ada titik keseimbangan. Banyak orang memuji, banyak para ahli memuji Indonesia karena berhasil mencapai titik keseimbangan antara ekonomi dan kesehatan. Saya melihat ini prestasi luar biasa karena bisa menyeimbangkannya. Tidak mudah untuk mencapainya. Adanya penurunan angka covid-19 secara signifikan, ini juga menjadi bukti, bahwa kebijakan pemerintah, caranya cukup berhasil. Jadi, kita harus apresiasi. (M-1)

 


 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah
Berita Lainnya