Headline
Tidak ada solusi militer yang bisa atasi konflik Israel-Iran.
Para pelaku usaha logistik baik domestik maupun internasional khawatir peningkatan konflik Timur Tengah.
BEBERAPA pekan belakangan, kehidupan mulai berangsur nyaris normal di banyak wilayah Tanah Air seiring pelonggaran intensitas pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) oleh pemerintah. Angka kasus harian infeksi covid-19 bergerak dalam tren menurun, jika dibandingkan dengan periode Juli silam. Bahkan, beberapa hari lalu pemerintah melaporkan angka positivity rate, yaitu jumlah kasus positif jika dibandingkan dengan jumlah orang yang dites, sudah di kisaran 2%-3%. Adapun standar ‘aman’ dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) ialah maksimal 5%.
Kendati demikian, banyak kalangan menilai rendahnya positivy rate nasional saat ini bukan berarti pandemi telah terkendali. Ada faktor data tes yang memengaruhi, begitu pula lokasi tes yang masih banyak terpusat di kota-kota besar Jawa dan Bali.
Lapor Covid-19, platform gerakan publik untuk transparansi data dan advokasi, merilis data 10 kota/kabupaten di tiap gugus pulau yang masing-masing memiliki kasus aktif lebih dari 100, bahkan mencapai ribuan. Data itu mencerminkan kasus covid-19 belum sepenuhnya tertanggulangi, terutama di luar Jawa-Bali.
Media Indonesia berbincang dengan Co-leads Lapor Covid-19, Irma Hidayana, mengenai permasalahan yang perlu diselesaikan pemerintah, kewaspadaan terhadap risiko gelombang ketiga, dan sebaran vaksinasi yang saat ini terganjal ketidaksetaraan. Berikut petikan wawancara dengan penyandang Master of Public Health itu via daring, Rabu (15/9).
Pemerintah melaporkan adanya penurunan kasus. Bagaimana analisis Anda?
Kita harus melihat penurunan kasus ini apa indikatornya. Memang dalam tabel data testing, Indonesia kelihatannya melakukan tes dengan jumlah banyak. Padahal, itu menyatukan antara tes untuk diagnosa dan skrining. Tes PCR yang digunakan untuk menemukan/mendiagnosis kasus, digabung dengan tes antigen yang peruntukannya skrining, sedangkan antigen, masih ada rentang ketidakakuratan. Bagaimana validasi akurasinya? Inilah yang menimbulkan bias.
Seharusnya tidak bisa ambil kesimpulan mengenai penurunan kasus hanya karena gara-gara rata-rata positivity rate di Indonesia sudah turun. Itu kesalahan fatal dalam melihat laju penularan dan penyebaran kasus covid-19. Kecuali, kalau dipisahkan antara tes PCR dan antigen. Orang negatif itu harus dites dan diverifikasi lagi, apakah benar negatif atau false negative. Dari situ muaranya kenapa ada anggapan kasus itu turun.
Selain itu, kalau kita lihat ini juga tepat dengan momentum waktunya. Cakupan vaksinasi kita yang di kota besar sudah banyak. Kecenderungan pemberitaan mengenai sentra vaksinasi, dan fenomena vaksinasi di kota besar atau setting urban.
Jadi memang tidak cukup hanya dengan melihat positivity rate ya?
Persoalannya ialah penataan data. Dengan memasukkan data antigen ke data tes nasional, ditambah dengan waktu tepat dengan efek vaksin yang sudah bekerja, seolah-olah ya memang penularan sudah menurun. Padahal sebenarnya belum. Masih banyak daerah yang terdapat banyak orang sakitnya. Cuma memang sakitnya itu ketemu kalau dites.
Kita juga harus melihat angka kematian, tidak bisa berpaku pada data positivity rate. Mesti berpaku pada data lokal. Penduduk lokal kan yang memiliki data akurat, dan yang mengetahui siapa saja yang meninggal, bukan hanya karena covid-19 ya, melainkan yang meninggal di masa pandemi ini, karena itu ada kemungkinan ekses dari pandemi. Dari situ bisa lihat seberapa besar dampak pandemi masih terasa di masyarakat.
Apa yang harus dilakukan?
Jujur dengan data. Tidak usah menggunakan data antigen untuk positivity rate. Memang ada yang sudah tidak membutuhkan layanan darurat rumah sakit, tapi kan masih ada juga yang meninggal dan itu jumlahnya ratusan. Ini menunjukkan adanya tingkat keparahan.
Di daerah terpencil, cakupan vaksin masih rendah. Masih banyak orang yang belum dapat vaksin. Mereka tidak terjangkau dan tidak terdengar.
Sebenarnya yang paling bisa dilakukan ialah melihat data lokal, statistik di daerah. Lihat berapa banyak kasus aktifnya, juga kasus baru, dan jumlah tes di tingkat lokal.
Yang paling penting juga ialah melihat situasi masyarakat. Masyarakat banyak yang tidak mau atau takut dites karena tidak mau isolasi andai dinyatakan positif sebab nanti tidak bisa bekerja dan kehilangan mata pencaharian. Kombinasi itu cukup menarik, dan memang belum tahu seberapa besar orang yang mengalami kejadian itu sehingga situasi orang merasa sehat, atau ketika hanya sumeng tidak mau dites itu ialah faktor risiko yang harus digali dan dilihat. Oleh siapa? Ya puskesmas, RT-RW, yang nantinya dilaporkan ke dinkes.
Artinya ada persoalan literasi juga?
Soal trust issue, literasi covid-19, dan pendidikan kesehatan di masyarakat ini juga ternyata masih jadi pekerjaan rumah pemerintah. Bagaimana untuk memastikan masyarakat paham bahaya covid-19, termasuk soal keengganan tidak mau dites yang bukan hanya bahaya untuk diri sendiri, tapi juga komunitas tempat individu tersebut berada.
Dari publikasi Lapor Covid-19 tentang 10 kota/kabupaten dengan status paling bahaya di tiap gugus pulau, ada Jayapura, Mimika, dan Merauke. Skenario apa agar kasus tidak meledak saat PON?
Seharusnya ditunda atau digagalkan. Karena infrastruktur yang belum siap, termasuk soal vaksinasi yang belum banyak dilakukan, testing juga masih rendah. Kemudian mendatangkan kerumunan dari luar daerah. Itu semua ialah faktor risiko yang bisa menunjang penularan.
Tidak ada PON saja situasinya seperti ini, apalagi ada PON? Tidak ada urgensinya di tengah situasi pandemi. Bukannya tidak suportif terhadap olahraga, tetapi ada yang lebih mulia untuk diperjuangkan.
Indonesia sempat berada di situasi seperti sekarang pada triwulan awal 2021. Lalu, situasi kritis dan darurat pada Juni-Juli. Ini bisa terulang?
Belajar dari pandemi-pandemi sebelumnya, ada yang namanya gelombang ketiga. Kita harus waspada, dan tentunya tidak mau itu terjadi. Begitu melonggarkan pengetatan mobilitas, kemudian vaksinasi tidak terkejar dan tidak setara, testing rendah dan menggunakan antigen/skrining sebagai angka tes, dengan semua itu, peluang menuju puncak gelombang ketiga terbuka sekali.
Antisipasinya?
Yang bisa dilakukan ialah pengetatan dan melakukan perbaikan saat melandai. Kalau ada perbaikan, itu bisa menekan supaya tidak ada gelombang ketiga. Aspek yang paling penting ialah pengetatan, testing dan tracing, dan cakupan vaksinasi. Itu semua satu paket. Tidak boleh dilakukan dengan meninggalkan salah satunya.
Percepatan cakupan vaksinasi juga harus dilakukan secara benar. Harus setara, semua orang harus mendapatkan hak sama untuk divaksinasi, terutama mereka yang rentan terinfeksi.
Apakah sekarang tidak setara?
Sekarang malah fenomenanya, pejabat dapat booster ketiga, sedangkan masyarakat lain ada yang belum dapat vaksin, bahkan dosis pertama sekalipun. Ini sangat tidak adil dan membuka peluang orang yang rentan, seperti rakyat miskin dan warga biasa menjadi lebih gampang terinfeksi ketimbang para pejabat maupun mereka yang punya uang. Elite politik, kelompok orang kaya, bisa dengan mudah mendapat vaksin karena ketidaksetaraan itu.
Plus, beberapa kali sudah dicoba untuk hidup sehat sehingga mereka yang miskin akan makin menderita dan meninggal. Ini konsep dasar yang penting dalam kesehatan masyarakat, tetapi dilupakan menteri kita.
Faktor ketidaksetaraan cakupan vaksinasi?
Masalah ketidaksetaraan itu bukan di masyarakatnya, melainkan di pembuat kebijakan yang tidak mengetahui prioritas yang harus diberikan vaksin terlebih dahulu. Nakes memang sudah dapat prioritas. Tapi, ada masyarakat lain yang juga rentan terinfeksi, belum dapat vaksin.
Seharusnya itu menjadi komitmen pemerintah. Setop inisiasi vaksin dibagikan ke orang yang bukan prioritas (kelompok prioritas ditentukan berdasarkan kerentanan). Fokuskan distribusi vaksin ke daerah-daerah yang selama ini memang belum banyak divaksinasi. Itu diidentifikasi, datanya diperbaiki, daerah mana saja.
Pendataan (data penerima vaksin), tata laksana seperti pendaftaran vaksin juga masih susah. Tidak semua orang bisa daftar dengan mudah.
Salah satu yang juga bisa dilakukan untuk meningkatkan cakupan vaksinasi ialah puskesmas dan kelurahan, yang punya data dimanfaatkan mendatangkan atau mengundang warga untuk vaksin sesuai kelompok umur. Misal grup A kelompok umur sekian, didahulukan, begitu seterusnya.
Pemerintah juga sudah mengungkap soal peta jalan hidup bersama covid-19, dan persiapan menuju status endemi. Pandangan Anda?
Ya, persiapan perlu dilakukan memang. Tapi, sepertinya kita itu disibukkan dan senang dengan hal-hal yang narasinya sudah mau sehat, sembuh dari pandemi, sudah mau selesai.
Meski harus dipersiapkan, jangan sampai lupa. Selesaikan masalah yang ada dulu. Euforianya itu jadi tidak seimbang. Harusnya kan dua-duanya jalan seimbang. Test, tracing, and treatment, dan vaksinasi digenjot luar biasa, sambil juga mempersiapkan ke arah hidup berdampingan dengan covid-19.
Dengan adanya varian Mu dan ketidakmungkinan mencapai herd immunity, bagaimana kans transisi ke endemi?
Selama pemerintah masih mengendalikan pandemi dengan data semu, testing yang masih mencampuradukkan antigen sebagai diagnosis, itu akan susah. Plus, pengendalian mutasi dan transmisi virus baru itu penyebabnya yang utama karena longgarnya prokes, longgarnya pengetatan, dan orang bisa dengan gampang keluar dan masuk Indonesia.
Dalam situasi endemi nanti, artinya apakah booster vaksin untuk publik luas juga diperlukan, dan apakah memang pilihannya ialah berbayar?
Kita bicara saat ini saja dulu. Fokus pada surveillance yang sekarang untuk diperbaiki kalau belum menemukan indikator keluar dari pandemi dan masuk menuju endemi itu seperti apa. Harus dilihat satu per satu, apa saja dan bagaimana. Intinya, selama kita masih berada di situasi krisis dan masih ada warga Indonesia yang belum divaksinasi, itu harus gratis dan tidak boleh bayar. Izinnya (vaksin) masih darurat. (M-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved