Headline
Tidak ada solusi militer yang bisa atasi konflik Israel-Iran.
Para pelaku usaha logistik baik domestik maupun internasional khawatir peningkatan konflik Timur Tengah.
SEPANJANG 2021 berjalan, sejumlah konflik kembali meletup di Papua. Terakhir, pecah konflik yang menyasar markas Posramil Kisor, Distrik Aifat Selatan, Maybrat, Papua Barat.
Mengapa ‘Bumi Cenderawasih’ tidak henti bergolak?
Jika berkaca pada studi LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), situasi yang terjadi berkepanjangan di Papua dan Papua Barat disebabkan empat akar permasalahan, yakni sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia, operasi militer yang menyebabkan pelanggaran HAM, stigmatisasi yang memarginalkan, dan kegagalan pembangunan Papua.
Media Indonesia berbincang dengan analis isu-isu strategis internasional dan resolusi konflik yang juga Koordinator Jaringan Papua Damai, Dr Adriana Elisabeth, MSocSc. Ia mengutarakan pendekatan militeristis yang tergolong sebagai pendekatan keras sudah tidak relevan lagi. Hal itu perlu segera diupayakan berganti menjadi pendekatan yang mengedepankan dialog berkelanjutan.
Berikut petikan wawancara yang dilakukan melalui konferensi video pada Jumat (3/9).
Beberapa waktu lalu, konflik umumnya terjadi di wilayah tengah Papua, kini tampaknya ada pergeseran. Mengapa?
Sejarah munculnya gerakan separatis Papua itu kan memang dari Manokwari dan kemudian menyebar ke seluruh Papua. Dari 2018, memang (konflik) terpusatnya di wilayah pegunungan tengah Provinsi Papua.
Nah, saya tidak tahu pasti mengapa ini bergeser ke Maybrat. Ini masih dugaan, belum tentu juga pelakunya ialah kelompok separatis bersenjata (KSB). Tidak mungkin ada penyerangan kalau tidak ada kasus/cerita sebelumnya.
Saya melihat ini aialah sekelompok masyarakat yang kecewa, lalu menyerang TNI. Menduganya ialah karena isu SDA (sumber daya alam) juga. Lalu, kenapa berhadapan dengan TNI? Ini sudah jadi rahasia umum ya, perusahaan/investasi menyewa aparat untuk pengamanan perusahaan mereka. Mungkin saja ada komplain dari masyarakat adat setempat, kemudian akhirnya berhadapan dengan aparat keamanan. Ada persoalan yang terjadi, dan buntutnya adalah penyerangan itu. Menurut saya, tidak masuk akal jika terjadi secara tiba-tiba.
Saya melihatnya belum nyambung dari pegunungan tengah bergeser ke Papua Barat, itu kan jauh tempatnya. Pernyataan Sebby Sambong (jubir Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat/TPNPB) bahwa mereka bertanggung jawab, itu juga bisa saja untuk mengambil momentum, untuk menaikkan privilese mereka, gerakannya sudah seluas itu.
Dalam buku Anda, Mosaik Cendrawasih-Pembangunan dan Kesejahteraan di Tanah Papua (2020) disinggung mengenai kompleksitas persoalan pembangunan di Papua. Itu pula yang melatari rentetan konflik hingga saat ini dan masa-masa terdahulu?
Jadi, proses perdamaian, pembangunan, dan HAM, itu semua bermasalah di Papua. Pembangunan belum optimal. Lalu ada kejadian-kejadian konflik bersenjata, korbannya masyarakat sipil. Ini terkait dengan peace building yang realitasnya betul-betul belum ada, dan konflik berkepanjangan yang sudah mengarah ke kasus-kasus pelanggaran HAM. Itu semualah yang saya sebut kompleks.
Kalau mau ada pembangunan, harus ada korelasi positif dengan yang lainnya. Jangan sampai konflik terus-menerus yang akhirnya ada korban masyarakat sipil. Itu kompleksitasnya.
Sejauh ini, dua pendekatan berjalan paralel (pembangunan dan militeristis), tapi tidak ketemu. Seharusnya pendekatan militeristis diubah menjadi lebih humanis dengan pendekatan dialogis supaya bisa ketemu sehingga peace building dan penegakan HAM pun berjalan simultan, dan korelasinya memang tidak bisa jalan sendiri-sendiri.
Sebab itu, memang yang tecermin ialah pendekatan militeristis?
Begini, kebanyakan memang akan sangat tertarik kalau sudah ada kasus-kasus seperti kemarin ini. Sebetulnya dua-duanya jalan. Pendekatan pembangunan jalan, secara hard approach (pendekatan keamanan/militeristis) juga jalan.
Kita bergeser ke Afghanistan misalnya. Pendekatannya benar-benar murni militeristis. Tidak akan mungkin ada pembangunan. Di Papua, dua-duanya jalan. Jadi ya tidak juga dominan pendekatan keamanan itu. Tapi, memang ada perusahaan yang pakai jasa keamanan aparat TNI/Polri, itu rahasia umum. Nah, itu pula yang menimbulkan permasalahan lainnya.
Jadi, kajian LIPI beberapa tahun silam juga masih relevan dan valid dengan kondisi terkini?
Relatif masih valid. Isu marginalisasi dan diskriminasi, apalagi sejak 2019 mulai kasus di Surabaya, itu trennya meningkat. Walau ada politisasi di isu ini, realitasnya sebagian orang Papua memang masih mengalami diskriminasi.
Soal pembangunan, itu jalan terus tapi belum penuhi apa yang menjadi kepentingan dasar masyarakat Papua. Pelanggaran HAM, pasti! Belum ada yang diselesaikan dengan baik.
Soal pro dan kontra sejarah juga demikian. Itu sangat dihindari pemerintah yang merasa insecure. Sejarah di dunia ini kan banyak diwarnai konflik, pertentangan, dan perselisihan. Konflik di Papua juga masuk di interested conflict di internasional, meski masih low intensity. Tapi, ini jadi persoalan. Kenapa, misalnya, tidak melakukan studi historiografi Papua? Harus ada upaya untuk menggali sejarah itu. Kalau tidak, perdebatan tidak akan selesai. Setidaknya, ada satu ruang untuk kita bisa berbicara secara objektif melihat itu semua.
Ada yang mengkritik saya, ‘orang Papua harus move on.’ Saya mengatakan, sebagian memang sudah move on. Kita bisa melihat banyak orang Papua berprestasi, tidak terpaku pada masa lalu sejarah. Tapi, ya harus realistis juga, ada yang belum bisa move on. Jadi skema masalah utama di Papua road map itu masih relevan sampai sekarang. Solusinya, kami sempat memberikan ide soal rekognisi dan pemberdayaan secara politik, ekonomi, sosial budaya, untuk mengurangi diskriminasi.
Apa memang terlihat pusat dan daerah masih meminggirkan masyarakat Papua atau Orang Asli Papua (OAP), termasuk ranah kebijakan?
Stereotip terhadap orang Papua itu masih ada. Apakah karena ketidaktahuan, tidak pernah berinteraksi, tapi bahkan di kalangan intelektual, politik, itu juga masih ada. Untuk sebagian orang yang punya pengalaman berinteraksi secara baik dengan orang Papua, bisa lebih cair.
Keberagaman di Papua sebenarnya sama dengan tempat-tempat lain. Di Jawa juga kan tidak satu. Di Papua juga sama. Dalam situasi normal, tidak akan merasa takut. Tapi, dalam situasi konflik, bicara salah sedikit bisa jadi hal lain.
Tidak perlu gunakan perbedaan untuk memicu persoalan. Kalau ada yang berpikirnya masih rasis, itu karena dikonstruksi. Sebenarnya, selain pendekatan militeristis, yang berbahaya juga ialah pandangan sipil yang militeristis, apalagi untuk menyelesaikan konflik. Itu bisa memicu persoalan baru.
Pada ranah kebijakan, dalam revisi UU Otonomi Khusus (Otsus), misalnya. Jauh sebelum pembahasan di DPR, saya sempat ajak beberapa kalangan diskusi soal otsus. Karena sudah hampir 20 tahun, itu harus dievaluasi secara komprehensif. Dievaluasi regulasinya, ada yang overlap, ada inkonsistensi di mana. Itu klaster lain.
Ada juga soal kendala teknis seperti di sektor pendidikan, kesehatan, kenapa belum optimal. Bagaimana juga persoalan di pemberdayaan ekonomi rakyat, juga masalah strategi, bagaimana sambungkan antara pembangunan, peace building, dan HAM.
Keputusan pemerintah melakukan revisi terbatas, ini bisa dibayangkan persoalan 20 tahun yang sebegitu banyaknya, dibicarakan dalam dua bulan, dan tidak melibatkan banyak elemen di Papua. Kita bisa tahu bagaimana gap-nya. Banyak kata kunci yang masuk di revisi UU Otsus, tapi ada juga yang tidak bisa menjawab kebutuhan orang Papua.
Namun, karena sudah ketuk palu, harus ada cara untuk menjelaskan kepada orang-orang di Papua, kenapa seperti itu prosesnya supaya tidak mengulang pada kesalahan UU Otsus 2001. Sosialisasi tidak merata, tidak ada supervisi dan pendampingan. Masyarakat Papua tahunya otsus hanya uang.
Poin penting yang perlu diperhatikan dalam langkah selanjutnya?
Perlu sosialisasi atau konsultasi publik. Semua elemen yang ada di Papua harus diberitahukan kenapa seperti itu proses dan hasilnya (revisi UU Otsus).
Dalam UU ini kan juga akan dibentuk satu badan khusus yang bersekretariat di Jayapura. Supaya kantor itu lebih mendengar apa yang diinginkan masyarakat, kenapa ada penolakan. Untuk tahu umpan balik apa yang dihasilkan di Jakarta dan responsnya seperti apa. Itu strategi komunikasi ya.
Yang paling penting ialah sejauh mana revisi UU Otsus ini dilegitimasi masyarakat Papua. Ini penting karena bisa jadi akan sama kasusnya dengan otsus 20 tahun lalu. Makanya kenapa perlu disampaikan di Papua, ini terkait dengan representasi.
Kesalahannya, pada waktu belum disahkan, tidak diberikan waktu cukup untuk mendapat masukan dari masyarakat Papua. Hasil yang sudah ada itu pasti akan ditanyakan kembali oleh orang Papua dan masih akan panjang ceritanya.
Anda kemarin menyebut kekerasan di Papua jangan ada lagi. Bagaimana risiko meletusnya konflik ketika PON nanti terselenggara?
Saya melihat aparat keamanan sudah bisa antisipasi berbagai hal, terutama di klaster Mimika. Ini daerah hotspot-nya sudah diantisipasi. Aspek pengamanan sudah diperhitungkan secara maksimal. PON ialah momentum untuk menyampaikan ke publik internasional juga, Papua aman. Artinya juga suatu upaya yang harus diwujudkan. Bahwa dalam persiapannya itu banyak persoalan, itu banyak. Setelah PON, itu akan ada lagi. Jadi, menurut saya, semua itu bisa diredam selama gelaran PON. Tapi, persoalan itu masih ada. Bahkan kalau publik banyak tahu isu Papua itu lebih ke konflik politik, ada konflik sosial seperti disharmoni sosial, sejak kasus Surabaya 2019 itu, dan konflik SDA.
Jadi bentuk-bentuk marginalisasi, diskriminasi, dan represi itu tecermin bukan saja dari pendekatan keamanan, melainkan juga ada persoalan dari isu disharmoni sosial dan konflik SDA?
Iya. Misalnya saja dalam konteks PON. Soal pelibatan orang asli Papua itu kan harusnya sebanyak-banyaknya. Kenapa harus ambil, misalnya, contoh ikonnya orang non-Papua? Kalau tidak dilibatkan sebanyak mungkin, bisa jadi persoalan, jadi disharmoni sosial.
Persoalan jelang PON ini misalnya juga bagaimana mencari pengusaha-pengusaha asli Papua, soal handycraft yang dibuat dan diusahakan orang asli Papua. Secara ekonomi kan yang menguasai rata-rata ialah pendatang, termasuk pendatang yang sudah menguasai komoditas lokal Papua, seperti pinang. Itu persoalan disharmoni sosial sangat mungkin meluas kalau tidak segera diatasi.
Anda pernah menyebut istilah jeda kemanusiaan. Bisa dielaborasi tentang ini? Apakah PON ialah cara yang Anda sebut dengan jeda kemanusiaan tadi?
Jeda kemanusiaan itu spesifik untuk mengatasi konflik bersenjata yang secara jelas menyebabkan korban masyarakat sipil. Momentum PON tidak bisa dikatakan jeda kemanusiaan. Setelah saya sampaikan soal itu, juga jadi pro dan kontra. Karena kepentingan aparat keamanan, itu mengatakan tidak bisa dilakukan. Menurut mereka itu (jeda kemanusiaan) sama saja artinya dengan gencatan senjata.
Dalam istilah jeda kemanusiaan, ada beberapa tahapan. Kalau jeda kemanusiaan tidak disepakati, ada koridor kemanusiaan. Ini ialah kesepakatan dari semua pihak yang berkonflik, baik TNI-Polri maupun TPNPB, untuk menyepakati jalur khusus untuk memberikan bantuan ke masyarakat terdampak konflik.
Dua pihak tidak boleh saling mengintervensi. Itu paling sederhana. Seperti kasus di Nduga, sampai hari ini, tidak ada akses mudah untuk mencapai itu. terutama yang ada di pengungsian. Sulit untuk mencapai masyarakat terdampak konflik yang ada di selter, tidak ada jalur aman. Sekarang juga sudah ada tambahan pengungsi di Intan Jaya. Ini yang bisa ditempuh melalui koridor kemanusiaan tadi.
Silakan berkonflik, tapi tolong, ini kan ada yang jadi korban. Mau menunggu sampai kapan kalau tidak berhenti-henti? Di dalam hukum perang pun harus ada zona-zona yang betul-betul diperlakukan netral, seperti sekolah dan RS. Itu harus dijamin. Sempat ada laporan berita KKB menyerang/membakar sekolah. Setelah ditelusuri, KKB menyatakan mereka membakar sekolah karena itu sudah diduduki TNI. Artinya TNI tidak menyepakati hukum perang.
Masyarakat sipil harus diberikan akses. Itu yang menurut saya perlu dipikirkan. Bukan dalam arti negara harus tunduk ke separatis, melainkan ini untuk menolong masyarakat terdampak konflik. Signifikansinya tentu memberikan akses aman bagi masyarakat, termasuk akses untuk memberikan bantuan ke mereka yang terdampak konflik.
Bagaimana road map perlu disusun sehingga ada titik temu menuju perdamaian?
Ada tiga pendekatan yang harus dilakukan secara simultan. Artinya, dilakukan bersama dan berkorelasi positif antara satu dan yang lain. Pertama pendekatan kemanusiaan. Ini bukan yang terkait dengan pelanggaran HAM berat, tapi juga kemanusiaan secara luas. Terutama dalam menangani masyarakat terdampak konflik. Pemerintah sudah tahu tapi belum jadi fokus. Itu harus paralel dengan pendekatan perdamaian.
Kedua, hard approach (pendekatan militeristis/keamanan) tidak lagi relevan. Harus dengan pendekatan dialogis. Untuk membantu orang-orang yang belum bisa move on, untuk sebisa mungkin mengurangi idealisme yang berbeda. Kan ada idealisme mau memerdekakan diri. Itu bisa melalui dialog. Jeda kemanusiaan bisa didialogkan.
Ketiga, beralih ke pendekatan yang lebih dialogis. Apakah kalau dengan pendekatan dialogis kesannya ini soft? Justru yang soft ini yang lebih sulit membangunnya. Soft approach itu nantinya yang akan diselesaikan dengan dimensi orangnya. Orang itu kan dimensinya kompleks, butuh bagaimana orang Papua percaya, yakin, dan nyaman supaya idealisme bisa berubah dan berganti.
Pendekatan pembangunan juga perlu memahami kondisi spesifik Papua. Masyarakatnya heterogen, tidak bisa membangun dengan satu template. Di aspek pembangunan ini, Papua sebagai daerah yang kaya SDA, dan semuanya yang datang untuk berinvestasi harus memperhatikan pembangunan berkelanjutan dan bertanggung jawab.
Beberapa tuntutan TPNPB-OPM di antaranya meminta perundingan damai dengan Presiden, meminta pemerintah Indonesia tidak melakukan operasi militer terhadap masyarakat sipil di Papua, dan meminta Indonesia meninggalkan tanah Papua. Mana yang paling urgen untuk ditemukan titik tengahnya?
Pemerintah dalam posisi tidak mau berdialog dengan TPNPB. Bahkan mereka sudah distigma separatis-teroris. Posisi tidak setara. Pihak TPNPB mau menyelesaikan persoalan dengan bertemu dengan bahkan presiden, sedangkan pemerintah tidak mau bertemu.
Ini semua dalam posisi ekstrem. Saya pikir, dalam memediasi konflik, harus bedakan posisi dan kepentingan. Posisinya memang masih sama, satu promerdeka, satu pro-NKRI. Jadi tidak ada yang mau mengalah. Nah, apa sih kepentingannya, itu yang bisa dibicarakan. Misalnya untuk membicarakan yang terdampak konflik. Bisa berbicara dengan tidak melihat posisinya, tapi yang dilihat ialah kepentingannya. Itu bisa dan harus bisa. Sayangnya, pemerintah dan separatis tidak bisa tidak bisa bedakan posisi dan kepentingan. Posisi tidak bisa berubah, sedangkan kepentingan bisa dikompromikan. Selama tidak bisa membedakan kepentingan dan posisi, susah.
Dalam membuka pintu perundingan, bagaimana yang sebaiknya dilakukan pemerintah sehingga kekerasan juga berakhir di Papua dan Papua Barat?
Kalau pendekatan militeristis diganti dengan pendekatan perdamaian atau dialog, itu memungkinkan untuk semua mau mendekat ke tengah, dari titik ekstrem. Pendekatan militeristis itu tidak sulit. Yang jadi catatan, pendekatan militeristis (hard approach) seperti deployment pasukan, bukan hal sulit. Tapi, hard approach harus diubah jadi soft approach.
Bukan berarti negara lemah. Soft itu juga ada ketegasan. Ada juga koersif power secara terukur, seperti penegakan hukum. Soft approach itu lebih mengedepankan kognitif yang peacefull. Bicara, saling mendengar apa yang dimaui. Banyak yang belum paham betul. Untuk bangun soft approach lebih sulit tapi tidak pernah dimulai, termasuk misalnya trauma healing, itu kan dialami semua orang di sana. Baik oleh masyarakat, aparat, maupun KKB. Ada traumatis yang luar biasa. Banyak persoalan yang bisa dibicarakan dari yang dialami semua. (M-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved