Headline
Manggala Agni yang dibentuk 2002 kini tersebar di 34 daerah operasi di wilayah rawan karhutla Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan.
Manggala Agni yang dibentuk 2002 kini tersebar di 34 daerah operasi di wilayah rawan karhutla Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan.
Sejak era Edo (1603-1868), beras bagi Jepang sudah menjadi simbol kemakmuran.
BADAN Meteorologi Dunia (World Meteorological Organization/WMO) mencatat bahwa enam tahun belakangan merupakan masa dengan suhu terpanas sejak perekaman dilakukan pada 1880. Adapun 2020 merupakan tahun terpanas kedua setelah 2016, dengan suhu bumi 1,2 derajat celsius lebih tinggi daripada saat era praindustri (1880).
Tanpa perubahan perilaku dari masyarakat dunia, suhu Bumi diprediksi dapat meningkat lebih dari 1,5 derajat celsius hanya dalam tempo 15 tahun.
Bumi yang semakin panas ditengarai para ahli menjadi salah satu faktor yang mempercepat pencairan es di kutub. Hal itu merembet pada perubahan volume dan kenaikan permukaan laut (sea level rise) yang bukan tak mungkin memicu bencana bagi penduduk dunia.
Pada pidatonya di Kantor Direktur Intelijen Nasional AS, akhir Juli, Presiden AS Joe Biden mengungkap prediksi Jakarta akan tenggelam dalam kurun 10 tahun mendatang. Biden tengah menyajikan fakta terkait dengan krisis iklim yang berdampak pada ancaman tenggelamnya kota-kota di dunia. Jakarta salah satunya.
Namun, sejumlah pakar di dalam negeri mengungkapkan, ramalan itu telah mereka ketahui. Bahkan, tidak hanya Jakarta, tapi juga hampir sebagian besar wilayah pesisir di Indonesia juga menghadapi ancaman tenggelam. Situasi tersebut selain karena kenaikan permukaan laut, juga karena faktor turunnya tanah yang justru terjadi lebih cepat dan dramatis.
Salah seorang pakar bersangkutan, yaitu Kepala Laboratorium Geodesi Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB, Heri Andreas, menjelaskan kepada Media Indonesia apa saja yang menjadi ancaman wilayah pesisir Indonesia dan upaya manajemen risiko bencana yang perlu disegerakan pemerintah. Berikut petikan percakapan kami yang dilakukan pada Kamis (19/8) melalui konferensi video.
Beberapa waktu lalu Anda menyatakan potensi tenggelamnya Jakarta bukan saja disebabkan kenaikan level air laut, melainkan juga faktor penurunan tanah. Bagaimana situasinya dari model proyeksi Anda dan tim?
Sekarang kita sedang disajikan fakta air laut naik. Fakta itu tersaji dari citra satelit altimetri. Nah, kenapa bisa naik? Karena es mencair dan itu menambah volume laut. Fakta berikutnya, kenapa es bisa cair, karena suhu Bumi naik 2 derajat celsius.
Ketika tahu faktanya demikian, dan wilayah pesisir ialah dataran rendah yang tidak terlalu tinggi dari laut, dengan kejadian sea level rise, suatu saat air laut akan lebih tinggi dari wilayah pesisirnya. Itu yang dibilang dengan potensi tenggelam.
Tapi, memang sea level rise tidak terlalu besar, per tahunnya hanya 6-7 mm, kurang dari 1 cm sehingga potensi Jakarta 10 tahun ke depan, belum begitu ekstrem atau mengkhawatirkan, kalau pernyataan (Joe) Biden hanya dari sea level rise. Masih kurang tepat.
Karena ia tidak menyebut soal penurunan tanah?
Ada fakta lain di pesisir. Tanah di pesisir mengalami banyak penurunan (land subsidence) dan nilainya bisa berkali lipat dari sea level rise. Penurunan tanah bisa sampai 10 cm per tahun. Seandainya tidak terjadi penurunan tanah, tidak terjadi banjir rob. Tapi sekarang kan banyak terjadi banjir rob di mana-mana, bahkan desa sampai hilang. Itulah konsekuensi kombinasi antara penurunan tanah dan kenaikan permukaan laut.
Jadi seolah krisis iklim itu datang terlalu cepat ke pesisir Indonesia, dan 10 tahun dari sekarang, tentu semakin mengkhawatirkan kondisinya. Atau misalnya pada 2050, yang terjadi di Jakarta lebih mengkhawatirkan.
Seberapa mengkhawatirkan?
Itu harus dicatat. Kalau memang tidak ada upaya, ketika tidak berbuat sesuatu. Istilahnya no measure, do nothing, berarti akan mengkhawatirkan. Nah, mengkhawatirkannya itu dari sisi apa?
Sisi luasan yang akan terkena banjir rob. Itu di pantura, puluhan ribu hektare. Di Pantai Timur Sumatra, bisa tembus 1 juta hektare. Jadi dari sisi luasannya, lumayan. Misal Pekalongan, itu dari proyeksi kami, dua pertiga kotanya akan tergenang banjir rob permanen. Jika tidak dilakukan apa-apa, dua pertiga Kota Pekalongan akan berada di bawah laut sehingga dari sisi luasannya, mengkhawatirkan.
Dilihat dari kedalamannya, di beberapa tempat mungkin saja ada yang tergenang lebih dari 2 meter. Lainnya, 1-1,5 meter. Tapi kan kalau sudah tergenang permanen meski hanya 1-1,5 meter, siapa sih yang akan tinggal di situ?
Bukti sudah banyak ya, masyarakat pindah dari desa tertentu. Mereka bongkar rumah sehingga yang dulunya desa, kini jadi laut. Seperti di Bedono, Tugu (Kabupaten Demak), Muara Gembong (Bekasi).
Proses tenggelamnya itu yang tricky ya. Ketika mengatakan desa itu hilang, ekstremnya desa di bawah laut. Tapi sebenarnya karena sudah pindah warganya, kemudian bangunan dibongkar sehingga tidak ada desa lagi. Jadi itulah yang termasuk mengkhawatirkan juga.
Dilihat dari sisi sosial, bisa dibilang juga ada kerugian besar. Jika dihitung, ada sisi ekonomi yang hilang, misal di desa tersebut ada sumber penghidupan, termasuk rumah yang ditinggikan atau dibongkar kemudian, itu kan konsekuensi ekonomi. Misalnya seperti seandainya nanti warga di Kota Pekalongan dipindahkan, itu kan akan butuh anggaran besar. Jadi dari sisi luasan dan kedalaman genangan, itu yang bisa menyimpulkan level mengkhawatirkan dan itu harus dicermati.
Faktor yang membuat wilayah pesisir Indonesia menghadapi ancaman tenggelam?
Setiap daerah ada faktor spesifik. Tapi, ada tujuh faktor secara general. Kompaksi alamiah, beban infrastruktur, eksploitasi air tanah, eksploitasi migas dan geotermal, tambang bawah permukaan, pengeringan lahan gambut, dan efek tektonik.
Di Jakarta tentu saja disebabkan kompaksi alamiah, beban infrastruktur, dan eksploitasi air tanah. Di Pekalongan, karena kompaksi alamiah dan eksploitasi air tanah mengingat sekitar 90% sumber air bagi masyarakat dan industri menggantungkan air tanah. Di Demak, Semarang, tipikalnya juga demikian. Di Sumatra, pengeringan lahan gambut dan eksploitasi migas. Di Jawa Barat, juga ada eksploitasi migas. Belum ditemukan efek lain di luar tujuh faktor tadi.
Apa yang paling dominan?
Yang dominan tentu eksploitasi air tanah. Kalau bicara eksploitasi air tanah, itu ada kompaksi akuifer yang menyebabkan penurunan tanah sampai 10 cm per tahun. Jika dibandingkan dengan beban urukan, termasuk reklamasi, itu memang membebani tapi lokal dan tidak meluas. Itu sampai 2 cm per tahunnya, dan setelah 40 tahun, beban akan hilang sudah kompaksi maksimal. Sementara itu, kompaksi alamiah, itu dalam 300 tahun, 1-2 cm. Jadi bisa dirumuskan, masalah terbesar ialah eksploitasi air tanah.
Bagaimana baiknya manajemen risiko oleh pemerintah daerah?
Ya memang penanganan atau bola panasnya ada pada pemerintah, baik daerah maupun pusat. Tapi porsinya juga belum jelas, baik dari regulasi, tupoksi, program, maupun anggaran. Ada sedikit kelemahan di regulasi.
Sementara itu, jika bicara isunya sendiri, banjir rob selalu hadir. Tanah turun, ada sea level rise. Yang pertama, bikin tanggul, itu tidak bisa dihindarkan. Di beberapa negara, ketika ada banjir rob, dilakukan peninggian tanggul dan peninggian infrastruktur pesisir, termasuk jalan dan bangunannya.
Tapi, sea level rise dan penurunan tanahnya tetap ada. Sea level rise itu konsekuensi global, tidak bisa bicara banyak, tapi, kalau penurunan tanah itu kan lokal, bisa ditangani.
Jadi setelah bikin tanggul, polder, pompa dengan retensi, itu belum maksimum. Itu saya menyebutnya masih pain killer. Karena tanggul ikut turun, dan akan terkena banjir lagi.
Harus ada optimalisasi. Tidak boleh berhenti di pembuatan tanggul atau peninggian infrastruktur pesisir saja. Harus masuk pada upaya pengurangan atau penghentian penurunan tanah. Di beberapa negara sudah ada studi kasus yang berhasil seperti Tokyo dan Shanghai. Ada manajemen dan substitusi air tanah dengan air permukaan.
Ketika tidak mengambil air tanah, penurunan tanah akan berhenti. Itu yang belum dilakukan di Indonesia, bagaimana menyubstitusi air tanah, kemudian mengurangi atau menghentikan eksploitasi air tanah. Kenapa itu belum dilakukan karena sumber penggantinya juga belum tersedia saat ini. Jadi, harusnya langkah kedua setelah penanggulan dan peninggian infrastruktur pesisir ialah mencari air untuk menggantikan air tanah.
Dengan apa kita bisa substitusi air tanah?
Carinya di mana? Bisa dengan membenahi sungai yang tercemar menjadi bersih kembali, bisa dengan IPAL, bisa bangun waduk, membangun tempat pemanenan air hujan, daur ulang air, dan desalinasi, meski yang terakhir itu yang paling mahal. Semua upaya itu ditempuh. Itu yang masih berjalan lambat di pemerintahan kita. Di situ ketidakmaksimalan upayanya. Kalau semua itu sudah dilakukan, penurunan tanah bisa berhenti, dan risiko tenggelam juga akan berkurang, atau bahkan berhenti.
Artinya upaya substitusi air tanah kita masih nihil?
Sudah diupayakan tapi belum maksimal, masih lambat. Misal DKI Jakarta nanti akan dapat suplai dari Waduk Karian (Lebak, Banten). Diharapkan waduk selesai pada 2023 dan ini masih menunggu. Di Pekalongan, Waduk Petanglong yang nantinya juga akan berbagi dengan Kabupaten Batang. Itu baru wacana dan sedang dibangun, butuh beberapa tahun.
Harusnya bisa dipercepat melihat ini urgensinya lebih tinggi. Tapi karena satu dan lain hal, program anggaran, di regulasi ada beberapa kelemahan. Di UU Kebencanaan Nomor 24 Tahun 2007 belum tegas sebut banjir rob sebagai bencana yang harus diantisipasi, itu belum ada. Jadi tidak ada cantolan hukum buat pos anggaran yang lebih besar. Tupoksi siapa yang harus melakukan juga masih ada kerancuan. Dari sisi regulasi, tupoksi, berlanjut ke sisi program dan anggaran. Saya sarankan ada penguatan di regulasi. Perlu dibuat badan khusus ke depannya. Di luar negeri, ada badan khusus yang menangani.
Apa yang bisa didorong dari sisi regulasi?
Harus dibenahi dulu regulasinya. Ini kan ada RUU Kebencanaan, di situ sudah masukkan problematik land subsidence dan banjir rob meski belum beres RUU-nya. Kalau sudah ada cantolan hukum, pemerintah akan lebih pede dalam ambil tindakan sekarang, secara tupoksi juga jadi lebih jelas.
Banjir rob itu belum ada cantolan hukumnya. Jadi, pihak yang safety player, tidak akan mau buat progresi sampai diskresi. Padahal permasalahannya penting untuk dibenahi.
Badan baru/khusus itu bisa dibentuk atau bisa juga tidak, melihat efisiensinya. Tapi jika melihat restorasi gambut saja ada badannya (BRG) yang sekarang juga menangani rehabilitasi mangrove karena sudah melihat ada kerusakan terhadap gambut dan mangrove. Nah, ini pesisir yang akan rusak, yang hilang bukan sekadar gambut yang ada di pesisir, tapi ada masyarakat, ada ekonomi, ada sosial yang akan hilang. Itu kan lebih urgen harusnya sehingga wajar jika kelak dibentuk badan khusus. Bisa juga dengan penguatan BRG, dengan perluasan tanggung jawab.
Pada model proyeksi 2007, Anda menyebut kawasan utara Jakarta, seperti Gunung Sahari, Pluit, dan Ancol, tenggelam pada 2020. Nyatanya tidak karena ada beberapa upaya preventif. Yang bisa jadi cerminan dan perlu perbaikan mendatang?
Ada upaya yang dilakukan dari peristiwa banjir besar 2007. Pada 2008, tanggul dan infrastruktur pesisir ditinggikan. Upaya itu berhasil dan wilayah utara Jakarta tidak jadi laut. Seandainya tidak ditanggul, pasti itu akan jadi laut dan tergenang permanen. Gunung Sahari saja sekarang sudah minus di bawah laut, Pluit itu sudah 1-1,5 meter di bawah laut. Artinya kalau air laut tumpah, ada kedalaman laut 1-1,5 meter di Pluit.
Tapi, setelah 2017, tanggul juga harus ditinggikan lagi. Di DKI Jakarta itu sudah 3-4 kali ditinggikan, termasuk infrastruktur di pesisir. Apakah mau dengan pendekatan demikian terus-menerus, atau memilih pendekatan yang lebih optimal? Ujung-ujungnya, ke land and water management yang harus lebih baik dari hulu sampai hilir.
Kalau sudah benahi eksploitasi air tanah dengan water management, tanah akan berhenti turun. Potensi tenggelam berhenti juga. Apakah bisa? Harusnya bisa. Pertanyaannya apakah kita mau terus-terusan menahan rasa sakit dengan pain killer (dengan tanggul)? Sembuhkan rasa sakitnya itu ya dengan land and water management. Itu obat mujarab.
Proyeksi dan skenario dalam penyediaan air baku pengganti air tanah bisa dipenuhi dalam jangka waktu berapa lama?
Kalau lihat kasus di beberapa negara, butuh waktu 10-15 tahun untuk bisa membenahi manajemen air, manajemen banjir rob, serta penurunan tanah. Kalau kita mulai dari sekarang, ya setidaknya butuh 10-15 tahun. Awalnya bisa dengan menghitung kebutuhan airnya berapa dan minusnya berapa di suatu wilayah.
Dari berbagai skenario, yang paling mungkin diupayakan cepat adalah pemanenan air hujan. Itu bisa dilakukan cepat, tapi memang harus ada areanya. Daur ulang air secara teknologi juga sudah memungkinkan. Kalau urgen sekali seperti di Pekalongan, itu desalinasi air laut. Ini paling cepat meski mahal. Tapi kalau urgen, ya dilakukan saja, dengan subsidi silang demi untuk menyelamatkan.
Yang lebih memungkinkan lagi saat ini, bisa dengan suplai air dari pegunungan dengan truk-truk pengangkut air. Bisa dilihat juga cadangan air di daerah hulunya seperti apa. Harus ada hitung-hitungannya supaya tidak merusak kebutuhan di pegunungan tersebut. Tidak boleh dieksploitasi habis-habisan juga. Jadi sembari waduk dipersiapkan, itu ialah upaya kecil-kecilan dan akan efektif.
Kalau sudah punya sumber air pengganti, dan kita hentikan eksploitasi air tanah, itu dalam setahun dua tahun penurunan tanah berhenti. Tapi penurunan tanah kan di banyak tempat. Apakah substitusinya nanti itu langsung di semua tempat atau parsial di titik tertentu terlebih dulu? Dari modelling dan data empiris, tidak lama.
Krisis iklim yang kini juga semakin memunculkan banyak bencana, seperti banjir tahunan, badai, impaknya proyeksi hilangnya wilayah pesisir bisa lebih cepat?
Apa yang terjadi di pantura atau di Banjarmasin, Kalsel, pada awal tahun, itu ialah cerminan pesisir yang punya masalah dengan penurunan tanah, ditambah krisis iklim dengan adanya cuaca ekstrem, itu menambah risiko.
Misal di Pekalongan, ada gelombang tinggi. Itu kan krisis iklim juga, yang menyebabkan gelombang ekstrem, hujan ekstrem. Langsung kelihatan terjadi banjir rob. Itu belum kombinasi dari beberapa peristiwa krisis iklim lainnya.
Setelah disadari, dari proyeksi dan modelling kami, kalau ditambah hujan ekstrem, gelombang yang lebih sering, itu dampaknya bisa lebih luas. Bayangkan jika semua itu terjadi pada waktu yang sama, dengan situasi penurunan tanah dan sea level rise. Artinya, krisis iklim bisa melipatgandakan risikonya. (M-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved