Headline

Hakim mestinya menjatuhkan vonis maksimal.

Fokus

Talenta penerjemah dan agen sastra sebagai promotor ke penerbit global masih sangat sedikit.

Sidang Adat Pernikahan Masyarakat Batak Angkola

Alfian Syahmadan Siagian
18/7/2021 05:10
Sidang Adat Pernikahan Masyarakat Batak Angkola
Sidang Adat Pernikahan Masyarakat Batak Angkola( DOK ALFIAN SYAHMADAN SIAGIAN)

Pada 11 -14 Februari 2021, masyarakat Pargarutan Baru berkesempatan menghadiri upacara Pabuat Boru Marhabuatan yang langka dan unik. Dahulu menurut penjelasan Sutan Soripada Mulia Harahap, Raja Panusunan Bulung Luat Pargarutan yang juga Ketua Forkala (Forum Komunikasi Antar Lembaga Adat) Kabupaten Tapanuli Selatan, pesta semacam ini digelar selama tujuh hari tujuh malam. Paling tidak, kata dia, satu kerbau, satu sapi, dan satu kambing harus disembelih untuk merayakan pesta besar ini. Orangtua si pengantin perempuan menghelat ini sebagai ungkapan rasa bahagia karena anak gadisnya sudah memasuki jenjang baru dalam hidupnya, yakni menjadi seorang istri. Pesta ini diadakan di tempat kediaman pihak perempuan.

Menurut Sutan Soripada Mulia, seorang gadis Batak Angkola dipabuat (diberangkatkan) dari rumah orangtuanya dengan tiga cara, yaitu mangalua (kawin lari), dipabuat (dilepas dengan horja kecil atau menengah), dan markabuatan (dilepas dengan horja besar). Perhelatan Pabuat Boru Marhabuatan yang diselenggarakan itu termasuk langka. Sutan Soripada Mulia selaku Raja Panusunan Bulung Luat Pargarutan selama hidupnya mengaku baru tiga kali menyaksikan dan atau menyelenggarakan upacara adat semacam ini. Pesta ini biasanya berlangsung selama tiga hari tiga malam.

Pada hari pertama, tepat pukul 09.00 WIB, doal (gong) pembuka acara dimulai. Raja Panusunan Bulung, keturunan langsung dari raja pembuka luhat wilayah Pargarutan Kabupaten Tapanuli Selatan, sudah duduk di singgasananya yang bernama amak lappis berlapis tujuh. Juru bicaranya yang diberi gelar urangkaya na pande membuka acara dalam langgam khas Batak Angkola yang disebut onang-onang. Digelarlah musyawarah besar bertajuk martahi godang. Ayah sang pengantin perempuan beserta tiga pihak kerabatnya dalam dalihan natolu menyerahkan sepenuhnya penyelenggaraan upcara adat ini kepada pemangku adat tempatan.

Peserta musyawarah besar ini ialah pemangku adat utama di wilayah Pargarutan. Ada Raja Panusunan Bulung, Raja Pangundian, ada Raja Pamusuk, dan juga hadir raja-raja wilayah tetangga atau raja-raja torbing balok. Yang tak kurang penting adalah jalannya acara ini dipandu oleh urangkaya na pande juru bicara raja yang piawai merangkai kata atau pandai bersilat lidah. Ia adalah Abu Tohar Pohan, juru pantun adat Batak Angkola atau alok-alok yang paling tersohor seantero Sumatra Utara. Martahi Godang berlangsung hingga azan zuhur menggema.

Selepas makan siang, peserta sidang adat pun duduk di posisi adatnya masing-masing. Sampailah pada acara mangamparruji yakni meminta restu untuk pengantin yang menikah. Pihak pengantin laki-laki memohon kepada Raja Adat tempatan agar memberikan restu atas pernikahan itu. Tidak mudah memang. Pihak pengantin laki-laki wajib menunaikan boban atas permintaan mereka. Mereka wajib membayar sejumlah uang atas tempat duduk raja, kendaraan raja, waktu, dan kesempatan raja, serta membayar batang boban, bagian paman pengantin perempuan dari pihak bapak (hariman markahanggi), bagian paman perempuan dari pihak ibu (upa tulang), serta bagian suami bibi (anak boru) dari pihak bapak. Acara persiapan selesai.

Pesta dan sidang adat


Pada dasarnya mangamparuji merupakan satu bagian dari acara horja atau pesta dalam masyarakat Batak Angkola. Kata mangampar-ruji dimaknai sebagai sidang adat dengan agenda utama penetapan kewajiban mempelai laki-laki terhadap mempelai perempuan, dan pengesahan status perkawinan secara adat.

Upacara adat mangamparruji pada perkawinan yang berlangsung pada 17 Februari 2021 ialah pengalaman paling baik, karena penulis bisa menyaksikan secara lengkap, tepatnya di Pargarutan Baru, Kecamatan Angkola Timur, Kabupaten Tapanuli Selatan, di jalur jalan raya lintas Sumatra.

Dalam pelaksanaannya, upacara adat mangamparruji dipimpin oleh seorang kepala pemerintahan adat yang disebut sebagai Raja Panusunan Bulung. Jalannya upacara adat ini kemudian dijalankan oleh Urang Kaya yang merupakan juru bicara Raja Panusunan Bulung. Sebagimana upacara adat Batak Angkola yang lain, inti dari upacara adat mangamparruji ini ialah pembarian hak berbicara atau jambar marhata-hata bagi setiap pihak yang hadir dalam upacara adat tersebut. Hak berbicara ini adalah dialog dan monolog yang disampaikan oleh masing-masing pihak dalam bahasa andung atau bahasa yang digunakan untuk keperluan adat. Dapat dikatakan bahwa bahasa ini bernilai ‘sastra’ yang khas.

Suhut Sihabolonan (tuan rumah) yang bertanggung jawab pada ritual yang dilaksanakan pada 11 -14 Februari 2021 itu ialah Sutan pangadilan Siregar. Sutan pangadilan ialah suami dari anggota DPRD Kabupaten Tapanuli Selatan. Sutan Pangadilan sendiri bertindak sebagai suhut sihabolonan. Ia didampingi oleh Tongku Hadamean, Camat Angkola Timur, sebagai kahanggi (kerabat seketurunan/seagnata) dan Baginda Nauli Harahap sebagai mora (pemberi istri).

Perhelatan yang dilaksanakan pada hari itu ialah horja godang (pesta besar). Acara yang berlangsung tiga (3) hari tiga (3) malam itu diserahkan kepada Forum Komunikasi Antar-Lembaga Adat Tapanuli Selatan yang dipimpin oleh Sutan Soripada Mulia Harahap.

Upacara adat mangamparruji dimulai setelah para pihak lengkap hadir di kediam­an Raja Panusunan Bulung. Orang Kaya di kampung tersebut bertugas memastikan para pihak yang wajib hadir sudah menempati tempatnya masing-masing. Acara ini dibuka oleh urang kaya (juru bicara raja Raja Panusunan Bulung) yang isinya ialah pemberian kabar kepada Raja Panusunan Bulung bahwa suhut sihabolonan (tuang rumah) kedatangan tamu akan tetapi belum diketahui maksud kedatangan mereka.

Selanjutnya, suhut (tuan rumah) melakukan manyurduhon burangir (sembah sirih). Sembah sirih ini adalah untuk membuka kata. Setelah manyurduhon burangir (sembah sirih) selesai, urang kaya mempersilakan pihak suhut bersama kerabat tolu sauduran (tiga se­perjalanan) menyampaikan kata untuk melanjutkan kata pembuka melalui burangir panyurdu (sembah sirih). Selanjutnya, kata pembuka dijawab oleh Raja Pangundian.

Mata acara selanjutnya ialah penyampaian maksud yaitu pihak pemohon dan kerabat seperjalanan menyampaikan maksud mereka datang ke tempat itu. Penyampaian maksud itu ikut diserahkan oleh suhut sihabolonan (tuan rumah) berserta kerabat tolu sauduran (tiga seperjalanan). Pihak hatobangon (tetua adat), alim ulama, cerdik pandai, raja namangaluati (raja luat tetangga), raja torbing balok (raja huta tetangga) juga ikut menyerahkan penyampai­an maksud tersebut.

Maksud tersebut diterima oleh Raja Pangun­dian untuk diserahan kepada Raja Panusunan Bulung. Untuk mendapatkan ‘adat’ yang diminta, Raja Panusunan Bulung menyarankan agar pemohon pulang dahulu untuk melengkapi persyaratan dan denda. Sambil melengkapi persyaratan, Raja meminta agar pemohon Kembali dengan buah tangan berupa penganan yang memperlihatkan gurat-gurat tangan gadis raja yang pernah diberangkatkan ke kampung mereka.

Untuk memperkuat posisi mereka di mata raja luat, pemohon harus melakukan topot kahanggi (menemui kerabatan semarga/seketurunan) yang tinggal di lokasi pesta. Sesungguhnya, Raja Panusun­an Bulung melalui Raja Pangundian dan urang kayalah yang menyuruh pemohon untuk kembali ke kampung mereka guna melengkapi persyaratan amparruji dan membawa oleh-oleh berupa penganan yang memperlihatkan gurat-gurat tangan gadis mereka yang terdahulu dan menemui kerabat semarga/seketurunan sebagai penjamin.

Pada hari yang telah ditentukan, pihak pemohon adat kembali ke lokasi mangamparruji. Setelah mereka tiba, urang kaya mempersilakan Raja Panusunan Bulung dan para hadirin menikmati buah ta­ngan yang dibawa pihak pemohon. Raja mengo­mentari buah tangan pihak pemohon menandakan gurat-gurat tangan gadis mereka yang terdahulu.

Setelah menikmati buah tangan, urang kaya mempersilakan pihak pemohon melakukan sembah sirih sampe-sampe memberi tahu bahwa niat sudah tersampaikan. Sembah sirih dilanjutkan dengan kata untuk mengikuti sembah sirih sampe-sampe yang disampaikan pemohon tiga seperjalanan. Kata lanjutan sirih sampe-sampe diterima oleh Raja pangundian untuk diteruskan kepada Raja Panusunan Bulung.

Setelah menikmati buat tangan, aca­ra dilanjutkan dengan manyurduhon burangir (sembah sirih) lanjutan. Raja Panusunan Bulung menerima sembah sirih tersebut dan dilanjutkan dengan amparruji (menyerak lidi) sebagai pertanda penyerahan kewajiban pihak pengantin laki-laki kepada para pihak pengantin perempuan dan raja. 

Selanjutnya, pemohon menyampaikan kata-kata penyerahan kepada masing-masing pihak. Upacara adat mangamparruji ditutup oleh Raja Panusunan Bulung dengan sebuah keputusan bahwa pemohon sudah mendapatkan adat untuk pengantin mereka dan mendapat posisi anakboru bagi tuan rumah.

Menjunjung adat


Ritual mangamparruji adalah ritual untuk memperoleh gelar maradat (ber­adat) dalam alam pikir masyarakat Batak Angkola. Halak namaradat (orang yang beradat) adalah orang yang memahami wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan aturan yang satu dengan lainnya berkaitan menjadi suatu sistem. Maradat (beradat) adalah memahami wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan aturan yang satu dengan lainnya berkaitan menjadi suatu sistem. Orang Batak Angkola sangat malu jika dikatakan naso maradat atau tidak beradat. (M-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Triwinarno
Berita Lainnya