Headline

Tidak ada solusi militer yang bisa atasi konflik Israel-Iran.

Fokus

Para pelaku usaha logistik baik domestik maupun internasional khawatir peningkatan konflik Timur Tengah.

Pembatasan Sosial tanpa Kompromi

Fathurrozak
11/7/2021 05:00
Pembatasan Sosial tanpa Kompromi
Prof Tjandra Yoga Aditama, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia(Dok. Pribadi)

PERTENGAHAN pekan ini, Indonesia mengumumkan 38.391 kasus baru covid19 yang merupakan rekor kasus harian tertinggi semenjak
pandemi tersebut merebak di Tanah Air. Total kasus covid-19 di Indonesia saat ini sudah melampaui 2,45 juta dengan kasus aktif lebih dari 359 ribu. Tidak kurang 64.631 jiwa telah melayang. Dalam tiga pekan, kasus covid-19 di Indonesia meningkat tiga kali lipat.

Saat ini pemerintah tengah memberlakukan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat Jawa-Bali selama 3 sampai 20 Juli. Upaya tersebut ditujukan untuk mengerem laju kasus dan menurunkan beban fasilitas layanan kesehatan yang telah overload di banyak wilayah. 

Untuk merespons kondisi saat ini, Media Indonesia berbincang dengan Prof Tjandra Yoga Aditama, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang juga merupakan anggota COVAX Independent Allocation of Vaccine Group (IAVG), organisasi independen yang turut mengawasi distribusi vaksin di dunia. Prof. Tjandra memberi pandangan terkait upaya yang harus ditempuh pemerintah serta masyarakat untuk turut menurunkan laju kasus baru. Berikut petikan wawancara melalui konferensi video pada Kamis, (8/7), yang di tengahnya pun sempat terdengar berita duka dari pengeras suara masjid.

Banyak yang menilai realisasi PPKM Darurat belum begitu ketat. Implementasi seperti apa agar ini bisa efektif?
Poin pertama, peningkatan kasus covid-19 di Indonesia sudah sangat tinggi. Positivity rate kita menyentuh 20%. Sekarang ini yang penuh bukan rumah sakitnya saja, tetapi IGD. Orang bukan lagi antre RS, tapi sudah IGD. Jadi harus ada tindakan yang sangat ketat untuk menangani itu.

Ada dua hal untuk menangani. Pertama, pembatasan sosial atau yang sekarang ini disebut PPKM darurat. Kedua, peningkatan tes
dan telusur.

Sekarang pembatasan sosial sudah berjalan dengan nama lain dari yang sebelumnya. Tidak perlu persoalkan terlambat. Sekarang ini harus dijalankan maksimal dan konsisten supaya bisa berdampak. Selanjutnya, harus ada sistem monitor, apakah situasi membaik atau malah memburuk. Ketiga, penyesuaian setelah hasil monitoring, (pembatasan) itu bisa lebih diketatkan atau dilonggarkan berdasar dari monitoring.

Ada yang belum maksimal dari pembatasan sosial kali ini?
Hal sederhana, misalnya ada sektor esensial yang masuk 50%. Itu bukan hanya pegawai kantor itu saja yang masuk, tetapi juga ada pegawai lain yang berhubungan dengan sektor esensial tadi. Jadi, jumlah yang sebenarnya masuk bisa lebih banyak.

Misalnya ada satu kantor sektor esensial atau sektor kritikal di lantai 10 sebuah gedung, atau ada restoran dan bank yang tetap buka di mal, yang akan bekerja bukan hanya pekerjanya langsung. Ada petugas parkir gedung/mal yang harus masuk kerja, satpamnya, petugas listrik gedung dan lainnya.

Yang dikhawatirkan bukan hanya mobilitas karyawan sektor esensial dan kritis itu, tetapi juga sektor penyerta lain yang terkait. Ada cukup banyak pertimbanganpertimbangan lain yang dapat dilakukan dan tentu akan baik kalau PPKM darurat dapat terus dijamin diperketat sesuai perkembangan yang ada untuk menghindari terus jatuhnya korban.

Bagaimana soal monitoring? 
Harus dilakukan monitoring situasi untuk menentukan kebijakan selanjutnya dan demi mendapat dampak terbaik. Cara yang bisa dilakukan, Movement Restriction and Mobility Change, PHSM severity index dengan enam indikatornya; kedisiplinan penggunaan masker, penutupan sekolah, penutupan/pembatasan operasi kantor, bisnis dan institusi lainnya, larangan pengumpulan kerumunan orang, pembatasan pergerakan penduduk, dan pembatasan penerbangan internasional.

Juga perlu analisis indikator risiko yang mematrikskan derajat besarnya pola penularan di masyarakat dengan kapasitas respons yang tersedia. Parameter yang akan dijadikan target, bisa gabungan beberapa hal dari jumlah kasus, jumlah kematian, ketersediaan tempat tidur dalam bentuk bed occupation rate (BOR) rumah sakit, dan data tenaga kesehatan, termasuk yang tertular covid-19.

Tadi Anda juga menyebut tes dan telusur untuk penanganan. Idealnya seperti apa?
Ya, PPKM darurat perlu dibarengi dengan peningkatan tes dan telusur. Hari pertama PPKM darurat sudah dilakukan tes pada 110.983 orang, dan pada 8 Juli naik menjadi 135.900.

India sudah berhasil melakukan tes pada sekitar 2 juta orang seharinya. Maka, dengan penduduk kita yang sekitar seperempat penduduk India, target melakukan tes sampai 500 ribu sehari tampaknya patut dikejar untuk dicapai.

Apa penyebab tes dan telusur masih rendah?
Ini saya tidak tahu sebab pastinya. Tapi saya pernah membaca pernyataan Menkes yang mengatakan daerah sengaja mengurangi tes
demi status zonasi.

Menaikkan (jumlah) tes memang seakan membuat kasus bertambah banyak, tetapi itu jauh lebih baik karena kita tahu berapa besar masalah kesehatan di masyarakat, daripada melaporkan jumlah sedikit padahal di lapangan masih banyak kasus.

Target yang harus dicapai untuk tes sudah jelas, 1 kasus per 1000 penduduk per minggu, tinggal dilakukan saja. Selain tes, juga harus diikuti dengan telusur untuk setiap kasus yang ditemui. Percuma kalau hanya tes ditingkatkan tapi kontaknya tidak ditelusuri karena tidak akan menyelesaikan masalah.

Yang perlu dilakukan untuk meningkatkan tes dan telusur?
Pelaksanaan tes dan telusur ini kan relatif banyak melibatkan kegiatan kesehatan, tidak berdampak pada aspek sosial ekonomi. Jadi, tinggal siapkan tiga hal: petugas, alat pemeriksaan, dan sistem, serta tingkatkan kegiatan tes dan telusur.

Kalau ini jadi prioritas pengendalian covid-19, seharusnya tidak ada masalah harga. Artinya perlu disediakan anggaran yang cukup untuk tes 1/1000/minggu di setiap kabupaten atau kota. Ditambah penyediaan anggaran untuk menelusuri sedikitnya 15 (atau lebih) kontak dari setiap kasus positif. Saya tidak tahu apakah dianggarkan atau tidak, tapi yang kita tahu, jumlah tes saat ini belum cukup banyak.

Saat ini yang terkonfirmasi meninggal terbanyak dari kelompok lansia, mencapai 50%. Ini karena lambatnya upaya pencegahan,
termasuk capaian vaksin?

Itu (target vaksin lansia 21,55 juta jiwa) harus betul-betul dikejar. Mereka yang punya komorbid dan lansia paling berisiko. Salah satu cara untuk mengejar vaksinasi ialah dengan membuat mereka mudah datang ke tempat vaksinasi. Kalau ada tempat terpusat, di stadion misalnya, ya bagus saja. Sekali pelaksanaan bisa langsung banyak orang. Namun, akan lebih mudah lagi jika mereka bisa vaksin ke puskesmas dekat rumah. Jadi, mendekatkan pos-pos vaksinasi ke masyarakat.

Ada situasi tertentu dengan kunjungan rumah dan sebagainya. Kalau (tempat vaksinasi) didekatkan ke rumah masing-masing, dan tanpa kumpul atau antre, itu lebih memungkinkan cakupan (vaksinasi) meningkat. Itu juga yang dikerjakan negara lain.

Lalu, apakah faktor serupa yang juga jadi penyebab target capaian vaksin nasional belum terwujud?
Kalau semua kalangan lain lagi. Ini persoalan ketersediaan vaksinnya. Vaksin itu kan didapat dari empat sumber. Pertama beli sendiri, tapi ada yang jual tidak? Kedua, dari hubungan bilateral, itu mesti ditingkatkan hubungan ini. Ketiga, secara multilateral, seperti COVAX Independent Allocation of Vaccine Group (IAVG) yang memvalidasi pembagian vaksin ke seluruh dunia. Keempat, vaksin buatan sendiri.

Paling krusial tentu ialah ketersediaan vaksin karena memang jumlahnya terbatas dan belum cukup. Ada negara yang memang  memprioritaskan vaksinnya untuk sendiri ketimbang dibagi ke negara lain.

Hal krusial lainnya adalah kemudahan orang untuk vaksin. Melayani vaksinasi agar lebih dekat dengan masyarakat. Tantangannya, semakin banyak pos vaksin, maka manajemen distribusi menjadi lebih kompleks bila dibanding (vaksinasi) di satu tempat dengan jumlah peserta massif.

Di beberapa negara yang vaksinnya sudah melampui separuh populasi, herd immunity ternyata tidak terwujud. Apa sebabnya dan apakah Indonesia bisa mengalami risiko serupa?
Jumlah vaksinasi yang banyak di satu sisi misalnya, kita bisa melihat orang-orang menyaksikan langsung Piala Eropa (Euro 2020). Beberapa waktu lalu, ketika saya di forum virtual bersama diaspora Indonesia di Frankfurt, mereka mengatakan sekarang sudah boleh berkumpul hingga 500 orang di tempat terbuka dan 200 orang di tempat tertutup.

Itu antara lain karena vaksin jelas memberi dampak positif bagi kehidupan ke arah yang normal. Nah, tapi jika Anda mengajukan pertanyaan demikian, itu mesti dianalisis. Apakah juga karena peranan varian baru, apakah penularan sudah cukup ditekan sampai titik rendah dan positivity rate-nya kecil? Karena di beberapa negara, selain vaksin, mereka juga berhasil menekan penularan dan positivity rate. Jadi, ini mesti jalan secara bersama dengan vaksinasi; penularan di masyarakat ditekan, tes dan telusur ditingkatkan.

Di Indonesia, skala perburukan pandemi tampaknya makin parah. Ada banyak kasus pasien tidak mendapat perawatan layak. Bagaimana penguatan fasilitas kesehatan yang harus dilakukan?
Penuhnya rumah sakit berhubungan dengan ramai tidaknya pasien di luar (RS). Itu mendasar. Sekarang sudah kadung, mau tidak mau penguatan fasilitas layanan kesehatan mesti ditingkatkan. Layanan primer seperti puskesmas, klinik, bisa melayani orang-orang di wilayahnya.

Misal puskesmas, bisa tahu persis bagaimana keadaan pasien di lingkungannya, dipantau. Ini sangat membantu masalah di lingkungan
tanpa harus naik ke level atas. Petugas puskesmas juga harus bisa berkomunikasi dengan level di atasnya. Misalnya, jika menghadapi
permasalahan tertentu, bagaimana penanganannya. Jadi, komunikasi sehari-hari antara yang ada di layanan kesehatan primer, sekunder, dan tersier sehingga beban tidak sepenuhnya lari ke layanan kesehatan tersier.

Layanan kesehatan primer ditingkatkan fungsinya. Tidak bisa untuk mengimbau masyarakat sadar dengan isoman saja. Harus ada layanan kesehatan yang menangani. Mau tidak mau ditingkatkan kapasitasnya. Namun, yang sulit itu kan meningkatkan (jumlah) tenaga kesehatan.
Peningkatan kapasitas tempat tidur bisa buka di tempat lain selain RS, ketersediaan alat masih bisa dikejar. Mau nambah oksigen, tempat tidur, tapi kalau tenaga kesehatannya segitu saja, ya jebol juga. Masalah ketersediaan ini mesti diselesaikan. 

Belakangan ini faskes kita juga mulai krisis oksigen, apa sudah saatnya minta bantuan negara lain?
Kalau oksigen, misal ilustrasinya India yang juga sempat krisis mereka pakai lima jalan. Pertama oksigen untuk industri tidak boleh, 100% hanya untuk medis. Pengalihan ini pun sudah dilakukan di sini, tapi di India itu berjalan ketat sekali. Kedua, menyediakan sarana pengelolaan oksigen di fasyankes.

Ketiga, sediakan transportasi yang cepat untuk distribusi oksigen. Di India memanfaatkan dengan membuat satu lajur khusus kereta api
untuk mendistribusikan oksigen dari satu provinsi ke provinsi lain. Keempat, berbagai LSM membantu untuk menyediakan oksigen. Kelima, bantuan luar negeri. Dan terakhir, bagaimanapun untuk menangani krisis oksigen, ya harus dikurangi dari sumbernya. Mengurangi orang yang sakit dengan pembatasan sosial, tes dan telusur.

Salah satu yang turut menjadi perhatian dalam terapi covid-19 ini ialah pemakaian obat-obatan tanpa resep dokter, terutama oleh  mereka yang isolasi mandiri di rumah. Bagaimana bijaknya?
Semua obat-obatan dibagi jadi dua, yang diresepkan dokter dan yang bisa dibeli bebas. Kalau dengan resep dokter ya harus dikonsumsi
dengan pengawasan dokter, mau ada pandemi atau tidak ada pandemi, prinsip itu harus dijaga.

Lalu beredar berbagai informasi tentang obat yang bisa mengobati covid-19 di grup-grup Whatsapp. Itu tidak boleh ditelan mentah-mentah. Kecuali untuk vitamin C dan D, semua harus ada resep dokternya. Antibiotik juga bukan bagian nyata dari pengobatan covid, itu untuk bunuh kuman. Yang dibutuhkan kan antivirus, dan belum ada yang direkomendasikan untuk covid.

Jadi, harus berkomunikasi dengan petugas kesehatan untuk konsumsi obat-obatan. Pertama, bisa dengan layanan telemedis untuk di kotakota besar seperti Jakarta. Kedua, bisa menghubungi RS, klinik, atau pelayanan kesehatan dekat rumah seperti puskesmas. Ketiga, untuk yang sedang isoman dan tidak bisa akses layanan telemedis atau puskesmas, bisa menghubungi dokter yang biasanya dikunjungi saat berobat. Tanyakan apa yang perlu dikonsumsi. Jangan diputuskan sendiri tanpa supervisi. Itu bisa tidak tepat dan bahaya kalau asal-asalan.

Apa yang bisa Anda sampaikan ke para pemimpin di daerah untuk menyiapkan skenario penanganan terbaik, guna menekan risiko kematian?
Memang pembatasan sosial ada faktor sosial ekonomi. Cuma mesti ditimbang juga, faktor itu tidak akan selesai jika masalah covid-nya tidak diselesaikan. Sekarang ini, dengan jumlah kasus tinggi dan masih naik terus, para pemimpin harus konsentrasi mengupayakan agar kasus turun segera. Keras saja tidak cukup, sekarang konsentrasi penuh untuk mengimplementasikan aturan yang sudah ada secara maksimal tanpa kompromi.

Upaya itu salah satunya data terinterpretasikan dengan baik. Bukan sekadar info, tapi data sebagai dasar mengambil keputusan. Itu untuk melindungi warga. Harus benar-benar data yang update, tidak terlambat atau data kemarin. Data digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan. Itulah salah satu cara melakukan upaya maksimal.

Terakhir, apa yang perlu kita lakukan untuk bisa menang melawan virus ini?
Penyakit ini relatif baru, terhitung sejak Desember 2019 dan sekarang baru satu setengah tahun. Masih belum banyak yang diketahui dari pergerakannya. Namun, sepanjang yang sekarang sudah kita lihat, kuncinya adalah pembatasan sosial, tes dan telusur.

Kita harus membatasi secara sosial. Setiap orang harus maksimal. Menurunkan kasus ini gunanya untuk kepentingan kita, keluarga
kita. Jadi, seyogianya setiap kita juga berperan dengan fungsi masing-masing. Jangan dilihat semata aturan diterapkan. Kalau begitu akan sulit. Saya pikir selain aturan dan implementasi, juga perlu ada dukungan dari kita semua, karena yang kena dampak kan kita semua.

Tes dan telusur menjadi tugas pemerintah. Targetnya jelas. Ini harus diimplementasikan maksimal. Vaksinasi, separuh tugas pemerintah, tapi kita semua masyarakat juga perlu mau divaksin kalau sudah tersedia.

Kalau kita kembali mengambil India sebagai salah satu benchmark, negara itu sudah berhasil memvaksinasi 8 juta penduduknya sehari.
Selaras dengan itu, pencapaian 2 juta vaksinasi sehari di negara kita merupakan target yang laik terlaksana. (M-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah
Berita Lainnya