Headline
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.
SEBAGAIMANA banyak bentuk sastra lain, puisi atau sajak ialah salah satu bentuk refleksi ataupun ekspresi penulisnya. Ia bisa saja harfiah, meski tidak jarang tampil jua dengan metafora. Ia bisa dipantik opengalaman pribadi, mitologi, atau bahkan sekadar imajinasi.
Pada buku antologi puisi Lara Djonggrang, alam dan budaya Indonesia menjadi benang merah dari puluhan inspirasi sajak yang ditulis lima perempuan penyair. Yang menarik, antologi ini mempertemukan puisi-puisi dari penyair-penyair Korea Selatan dan Indonesia.
Adalah Chae In Sook, penyair Korea yang telah 22 tahun menetap di Indonesia, sebagai penggagas Lara Djonggrang. Ia terjun ke dunia kesusastraan Korea sejak 2015 dan pernah Oh Jang-Hwan New Writer Literary Award.
Selain dirinya, ada pula (mendiang) penyair Kim Gil Nyu yang wafat pada Mei silam. Kim Gil Nyu datang ke Indonesia pada 2013 dan punya kenangan mendalam terhadap negeri ini.
Antologi Lara Djonggrang turut melibatkan Nenden Lilis, sastrawan sekaligus pengajar di Universitas Pendidikan Indonesia. Kemudian, Ratna M Rochiman, pendiri Komunitas Penulis Perempuan Indonesia, serta Katherina Achmad, pelukis dan penyair yang melahirkan Kumpulan Puisi Esai: Dari Rangin ke Telepon.
Sebagai negara yang sama-sama memilki sejarah panjang meraih kemerdekaan dan kaya akan budaya tradisional, similaritas Indonesia dan Korea Selatan memang tidak terbantahkan. Setidaknya itu yang dirasakan para perempuan penyair tersebut. Kelimanya sepakat bahwa selain sama-sama berada di Asia, Indonesia dan Korea Selatan juga punya kedekatan emosional. Kedekatan emosional tersebut yang lantas diwujudkan dalam kolaborasi antologi puisi.
Diterbitkan oleh Korean Cultural Center Indonesia, buku setebal 119 halaman ini memuat 50 judul puisi yang masing-masing ditampilkan dalam bahasa Indonesia dan bahasa Korea. Setiap penyair menyumbangkan 10 karya. Adapun proses penulisan antologi ini, menurut Chae In Sook, memakan waktu dua tahun.
“Ini pekerjaan bersama pertama yang dilakukan penyair perempuan Indonesia dan Korea Selatan. Tentu bukan pekerjaan mudah, tetapi kami menikmati pertemuan untuk menulis dan menyelesaikan buku ini bersama-sama. Saya harap antologi puisi ini bisa jadi titik baru untuk pertemuan sastra Korea dan Indonesia,” ujarnya pada saat peluncuran buku Lara Djonggrang, di Jakarta, Senin (14/6).
Dari mitologi hingga anak kucing
Pengalaman Chae In Sook tinggal di Indonesia sejak 1999 memang tampaknya membuat ia memiliki kedekatan emosional dengan ragam budaya di negeri ini. Puisi-puisi Chae In Sook dalam buku antologi ini sangat kental dengan budaya, seni, hingga kehidupan di Pulau Jawa, utamanya Jawa Tengah. Mulai puisi berjudul Dataran Tinggi Dieng, Menonton Wayang Kulit di Suatu Petang, hingga Surat dari Ambarawa. Adapun Lara Djonggrang, judul antologi ini, diambil dari puisi Chae In Sook berjudul serupa sebagai buah inspirasinya terhadap mitologi di balik Candi Prambanan.
cinta itulah
yang membangun seribu candi
yang menggali sebuah perigi
sebelum datang pagi
seperti musuh ayahku
seperti kekasih ibuku
menulis puisi yang baris terakhirnya hilang
mencari chorus pada lagu yang belum tuntas
(Lara Djonggrang, Chae In Sook, halaman 79).
Kedekatan Chae In Sook terhadap dunia sastra di Indonesia juga terwakilkan lewat puisi Teringat Pramoedya yang terdapat pada halaman 94.
Sementara itu, Kim Gil Nyu membagikan pengalaman dan kekagumannya akan Jakarta yang menjadi persinggahannya selama tiga tahun lewat puisi Pelabuhan Sunda Kelapa, Kafe Batavia, maupun Tamasya tak Terduga.
Di lantai 29 Sultan, Jakarta, hanya awan dan angin yang datang dan pergi
Tubuh dan pikiranku yang longgar
Terkubur di tumpukkan buku yang tiba terlambat
(Tamasya tak Terduga, Kim Gil Yu, halaman 43)
Ia juga menyertakan beberapa puisi bertema alam dan budaya Nusantara, seperti Batu Kopi yang terinspirasi dari Pulau Morotai, atau Perubahan yang menuturkan mitos Ratu Laut Selatan atau Nyi Roro Kidul. Di sisi lain, Kim Gil Yu pun menyoroti isu kemanusiaan dalam puisi Buku Harian Pengungsi.
Begitu berat sampai tak terasakan lagi bosan
Begitu dalam derita sampai tak terasakan lagi sakit
Seseorang dinanti namun tak kunjung datang
Hari-hari menanti hujan yang kering
Masa itu
Indah karena kelabu
(Buku Harian Pengungsi, Kim Gil Yu)
Sementara itu, ketiga perempuan penyair asal Indonesia, Nenden Lilis, Ratna M Rochiman, dan Katherina Achmad, turut menampilkan karya pilihan masing-masing dalam buku kumpulan puisi tersebut. Senada dengan Kim Gil Yu dan Chae In Sook, ketiganya bicara tentang alam, budaya, dan kemanusiaan.
Salah satu puisi yang dihadirkan Nenden Lilis ialah karyanya yang berjudul Que Sera-Sera. Dalam puisi tersebut, Nenden bertutur tentang warga keturunan Indonesia yang menetap di Belanda sejak masa penjajahan. "Mereka mengalami kegalauan identitas. Di Belanda, mereka seperti tidak diterima karena fisiknya berbeda. Di Indonesia, mereka juga asing karena sudah tercerabut dari budaya Indonesia. Mereka jadi tidak tahu siapa dirinya," tutur Nenden yang mendapatkan ilhamnya seusai berjumpa dengan warga ‘indo’ di Belanda.
(Di wajah kami seperti kau lihat kembali bukit jelita kebun lada dan kerinduan itu
‘aku pulang! aku pulang!’
tapi suaramu terpendam dataran diam)
Akhirnya kami yang mesti pulang
Di stasiun Utrecht kita saling melambai
Ketika kau berlalu kulihat kulit cokelat
Serta rambut hitammu disepuh bulan biru (Que Sera-Sera, Nenden Lilis, halaman 13)
Ratna M Rochiman dan Katherina Achmad juga menyertakan karya puisi yang kaya akan narasi. Dalam Surat Santang kepada Rengganis, Ratna menuliskan sajak yang terinspirasi dari legenda Situ Patenggang yang terletak di Bandung, Jawa Barat, legenda yang melibatkan kasih tak sampai antara Raden Santang dan Dewi Rengganis.
Kau terlalu cepat mengiyakan nasib
Sedang aku patuh tekuri kesopanan
“lepaskan aku dengan tangan terbuka,
rengganis”
karena santang adalah kujang bagi
siliwangi
yang bertempur demi mencintaimu
(Surat Santang kepada Rengganis, Ratna M Rochiman)
Adapun hati Katherina tergerak untuk menuliskan puisi Anak Kucing yang Kehilangan Jejak, setelah seekor anak kucing liar tersesat masuk ke rumahnya ketika ia sedang melukis. Si anak kucing mengusik peralatan lukisnya dan meninggalkan jejak. "Hidup hanya sekali, mari terus berkarya agar hidup kita meninggalkan jejak," ucap Katherina tentang pikiran yang tercetus di benaknya saat melihat sang kucing.
Tapi, jejaknya di lantai keramik
belum dihapus
Dia belum menuliskan namanya
seperti para superstar
menempelkan telapak tangan dan bibir mereka
pada semen basah
di Hollywood Walk of Fame
(Anak Kucing yang Kehilangan Jejak, Katherina Achmad)
Satu bahasa
Berbeda dengan Kim Gil Nyu dan Chae In Sook yang banyak menulis puisi tentang
Indonesia, tak ada puisi yang berkisah atau terinspirasi dari kehidupan atau budaya Korea Selatan yang dituliskan oleh ketiga penyair Indonesia tersebut. Hal itu membuat konten Lara Djonggrang sepenuhnya bernuansa lokal dan khas Indonesia, yang sepertinya memang jadi intensi Chae In Sook sebagai empunya 'misi' menyebarkan budaya dan seni Indonesia.
Dalam konteks alih bahasa, kata-kata yang dipilih penerjemah dalam buku kumpulan puisi Lara Djonggrang relatif kaya dan tak monoton. Faktor tersebut menjadi daya tarik tersendiri karena seperti diketahui, proses alih bahasa pada karya sastra tidak mudah dan lebih kompleks.
Pilihan diksi yang menarik salah satunya dapat terlihat dari puisi Perubahan, karya Kim Gil Nyu. Sang penerjemah, memilih kata ‘lelembut’ untuk menyebut sosok Nyi Roro Kidul yang diceritakan dalam puisi tersebut. Diksi serupa juga muncul dalam puisi Lara Djonggrang.
Roh Jung Ju, yang berperan sebagai penerjemah mengatakan dirinya melalui proses diskusi panjang dalam proses alih bahasa 50 puisi tersebut. Diskusi dengan kelima penyair juga dilakukan guna memperkaya diksi yang dapat dipakai dalam bahasa Indonesia maupun Korea. “Proses menerjemahkan puisi mirip dengan proses memahami budaya. Saya menjadi mengetahui sisi lain Indonesia,” ungkap mahasiswi program S-3 jurusan Sastra Indonesia di Universitas Indonesia tersebut.
Tak hanya berisi puisi, antologi puisi Lara Djonggrang juga hadir dengan tampilan 50 foto karya Cho Hyun Young. Setiap puisi hadir bersanding dengan sebuah foto yang dipilih sendiri oleh penyair bersangkutan. Dengan begitu imajinasi pembaca dapat lebih tergali dan terbangun dengan tambahan konten visual.
Seluruh foto diambil Cho Hyun Young selama periode tujuh tahun hingga 2020 dengan kamera biasa maupun kamera ponsel. Foto diambil di berbagai wilayah Indonesia. Mulai peristiwa di kota besar, seperti demostrasi mahasiswa dan aktivitas kota, pergelaran seni, hingga keindahan alam di wilayah pelosok Indonesia.
Dengan semua yang hadir di buku Lara Djonggrang tersebut, dapat terlihat bahwa kedekatan dan kolaborasi kedua negara sangat tak terbatas, khususnya dalam hal sastra budaya. Antologi ini juga kembali menegaskan bahwa puisi dapat menjadi bahasa universal ketika kita membicarakan kemanusiaan. (M-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved