Headline
Tingkat kemiskinan versi Bank Dunia semakin menjauh dari penghitungan pemerintah.
Tingkat kemiskinan versi Bank Dunia semakin menjauh dari penghitungan pemerintah.
Perluasan areal preservasi diikuti dengan keharusan bagi setiap pemegang hak untuk melepaskan hak atas tanah mereka.
MEMBACA Sirkus Demit karya Tatang Ramadhan Bouqie seperti melihat pelukisnya saat menyapukan kuas ke sebidang kanvas. Ia bergerak ke sana-kemari, bebas, hingga menyerupai bentuk yang diinginkannya. Tatang, demikian ia akrab disapa, memang seorang perupa yang mencintai kata, seperti yang dituturkannya di pengantar buku ini. Namun, lulusan Fakultas Seni Rupa dan Desain Insititut Teknologi Bandung (ITB) ini akhirnya lebih memilih kanvas sebagai medium ekspresinya ketimbang jadi penulis atau wartawan. “Tidak telaten dengan kaidah tanda baca,” begitu alasannya pada lembar sekapur sirih (hlm 1).
Buku kumpulan puisi yang desain sampulnya cukup nyentrik ini seolah menegaskan pernyataan itu. Melalui puisi, ia bisa lebih bebas meletupkan apa yang ada di kepala, dan mungkin juga jiwanya, tanpa perlu terikat oleh kaidah tata bahasa. Pengalamannya selama 40 tahun bergelut dengan dunia media massa (ia pernah bekerja sebagai desainer visual di beberapa majalah dan surat kabar) secara tidak langsung memperkaya diksinya, tanpa perlu repot-repot membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) untuk sekadar mematut-matut agar kalimat terkesan indah. Itulah jiwa seniman sejati (bukan kaleng-kaleng), spontan, bebas, mengalir apa adanya. Ia membiarkan dirinya bereksperimen untuk melahirkan kemungkinan makna dan bentuk baru, di antara bentuk konvensional puisi pada umumnya.
Puisi-puisi Tatang dalam buku berkelir oranye setebal lebih dari 300 halaman ini mewujud dalam segala rupa bentuk, kadang seperti orang bercerita, marah, atau sekadar menggumam, bahkan terkesan sedang bercanda. Itu bisa disimak dari karyanya seperti Schizophrenia Extravaganza, Perempuan-perempuan yang Berjalan dengan Kupingnya, atau Lelaki yang tak Henti Menjilat Sepatu. Namun, Tatang juga bisa melankolis. Dalam Paris Van Java Km.00, ia menulis '... Di sengkarut butut, Priangan Renta. Disengat terik matahari dan sesak nafas udara kotor. Aku mencari kedai buku, dan Eti'.
Siapa Eti? Tentu hanya Tatang yang tahu. Kita sebatas menafsirkannya. Kalau Paris van Java, tentu saja merujuk pada Bandung, kota yang dicintainya tempat ia bertumbuh. Kegelisahan dan keresahannya pada wajah kota yang berubah itu juga ia tuangkan dalam beberapa puisi lain, seperti Semburat Kembang Api di Langit Kota Kembang, Bang Latip dan Kisah Sebatang Coklat, dan beberapa lainnya.
Kegelisahan, ya, kegelisahan. Kata itu yang memang sudah semestinya terus bersemayam dalam jiwa seorang seniman (dan juga intelektual). Pada titik ini, Tatang yang juga mantan aktivis mahasiswa di Bandung pada era 1980-an telah berhasil meletupkannya dengan ciamik dalam Sirkus Demit. Kehadiran buku kumpulan puisi yang dilengkapi ilustrasi visual ini kian bermakna di tengah mubazirnya aksara yang bertebaran di media sosial, yang kadang lebih menakutkan dari setan di jagat mana pun. (Adi/M-2)
Info buku
Judul
Sirkus Demit
Panorama Kata, Panorama Rupa
Tulisan dan ilustrasi
Tatang Ramadhan Bouqie
Perancang kulit muka
Tatang Ramadhan Bouqie
Perancang grafis
Kemaireza Gibran dan Gugun Permana
Penerbit
Jean Kharis
Percetakan
Gramedia
Cetakan pertama April 2021
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved