Headline
Pemilu 1977 dan 1999 digelar di luar aturan 5 tahunan.
Bank Dunia dan IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini di angka 4,7%.
Erotika dalam sastra telah berkembang menjadi sebuah genre tersendiri yang cukup dinikmati pembaca di Indonesia. Meskipun sering dicap tabu dan melanggar norma, dalam perkembangannya, wacana erotika dari masa ke masa turut berkontribusi dalam pendefinisian kesusastraan Indonesia modern.
Sebagai bentuk refleksi atas perkembangan wacana erotika dalam sastra Indonesia, Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) Rabu (23/12) lalu menginisiasi sebuah diskusi daring bertajuk 'Erotika Sastra Indonesia: Antara Estetika Teks dan Perayaan Seks' untuk menelaah kembali genre sastra yang seringkali dipandang pemali ini.
Kritikus sastra, Zen Hae, memberikan telaah cukup kritis berkaitan dengan wacana erotika ini. Ia mengungkapkan bahwa meskipun wacana erotika sering berbenturan dengan berbagai macam aturan pakem dalam kesusastraan Indonesia, ia tetap fleksibel menjawab tantangan zaman.
"Erotika ini kan masalah mendasar dalam kehidupan manusia. Ekspresi seksual itu adalah soal yang dalam kehidupan kita itu tidak bisa dinafikan, tetapi kemudian kalau itu diekspresikan ke dalam tulisan (karya sastra), dia akan berhadapan dengan banyak hal, terutama dengan aturan yang mengatur kehidupan kita sehari-hari seperti hukum, moral, dan agama," ujar Zen dalam diskusi daring, Rabu (23/12).
Zen memaparkan kronologi genre sastra erotik yang terjadi di Indonesia. Mulai dari masa kejayaan Balai Pustaka (1960an), yang ia sebut sangat hati-hati ketika berhadapan dengan narasi erotik. Berkembang menjadi lebih fleksibel melalui gebrakan yang dilakukan oleh Chairil Anwar, Utuy Tatang Sontani, dan Mochtar Lubis.
Kemudian mendapatkan momentumnya dengan kebangkitan penulis perempuan, yang menurut Zen merupakan awal mula kebangkitan genre erotisme dalam sastra Indonesia, diawali dengan novel Saman dari Ayu Utami pada 1998, diikuti Oka Rusmini, Fira Basuki, pun Djenar Maesa Ayu. Hingga menjadi semakin terbuka dengan diangkatnya tema-tema homoseksual oleh penulis-penulis muda seperti Norman Erikson Pasaribu, Nuril Basri, dan Rio Johan.
"Dalam penulisan erotika dalam sastra Indonesia modern yang penting memang bukan melulu muatannya, tapi bagaimana 'how to'-nya. Bagaimana penulis memunculkan bentuk-bentuk baru dari wacana ini yang berkelindan dengan isi," imbuhnya.
Telaah Zen mengenai genre erotika yang sering kali masih dianggap tabu ini pun dikonfirmasi oleh perempuan penulis, Oka Rusmini yang juga turut menjadi pembicara dalam diskusi tersebut. Sebagai seorang penulis untuk genre sastra erotik, Oka mengungkapkan pengalamannya yang sering berhadapan dengan tabu, rambu, dan teror saat menyuarakan aspirasinya.
"Selama 21 tahun saya bekerja sebagai penulis perempuan, setiap kali saya berbicara tentang erotika di dalam sastra Indonesia, saya selalu berhadapan dengan tabu, rambu dan teror. Sialnya lagi penulis perempuan sering tidak mendapatkan tempat dalam sastra Indonesia. Ini yang selalu saya sering suarakan terutama bagi perempuan," tegas Oka.
Enny terabaikan
Berkaitan dengan pembahasan erotika dalam sastra Indonesia, novelis kondang Eka Kurniawan pun urun bicara dalam forum yang diselenggarakan DKJ tersebut. Eka membagikan pandangannya mengenai seorang tokoh yang ia sebut pelopor dalam penulisan sastra erotis di Indonesia, Enny Arrow yang seharusnya juga diberikan tempat dalam kesusastraan Indonesia.
"Saya hanya ingin cerita sedikit tentang satu novel yang bahkan dalam diskusi erotika pun sering dijatuhkan karena dianggap hanya berisi konten pornografi semata, judulnya adalah 'Yang Tua Bercinta, Yang Muda Merana', karya Enny Arrow. Saya rasa novel ini dan penulisnya juga kurang diperlakukan dengan layak dalam kesusastraan Indonesia," ungkap Eka.
"Kalau kita ngomongin tentang erotika teks, bagaimana pun si Enny Arrow ini juga mempergunakan teks. Dia berjibaku dengan teks saat menyampaikan idenya, sebanal apapun ide itu, di situ saya menemukan sisi craftsmanshipnya," imbuhnya.
Eka menduga ada semacam upaya penghapusan untuk konten 'Pornografi' (hal yang terlalu erotis) dalam kesusastraan Indonesia, ketika sosok seperti Enny Arrow mendapatkan diskriminasi.
"Nah, tapi ketika saya menyinggung sosok Enny Arrow dalam diskusi sastra, banyak penulis memandang sebelah mata karyanya padahal apa yang ia tawarkan itu bukan seks tapi teks (sastra). Saya menduga ada semacam upaya untuk menghapus pornografi dalam sejarah kesustraan di Indonesia karena mungkin dianggap kotor," pungkas Eka. (M-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved