Headline

AS ikut campur, Iran menyatakan siap tutup Selat Hormuz.

Fokus

Tren kebakaran di Jakarta menunjukkan dinamika yang cukup signifikan.

Berproses dengan Pantomim

Galih Agus Saputra
27/12/2020 00:55
Berproses dengan Pantomim
Pantomim(MI/Duta)

SOBAT Muda, kalian masih ingat enggak pertama kali melakukan atau mengenal kegiatan yang kalian tekuni saat ini? Sebagian dari kalian mungkin awalnya juga tidak tahu dengan apa yang kalian lakukan. Atau, sebaliknya, kalian sudah tahu dan semakin tertarik untuk mendalami hingga di kemudian hari hal itu menjadi sesuatu yang bisa dibanggakan atau bahkan menjadi jati diri.

Proses semacam itu sepertinya juga dialami teman-teman kita, yakni Dandles William Paulus Christoffel, Rivan Hardiansyah, dan Made Adryan Natha. Tiga pemuda yang beberapa waktu lalu jadi penampil di Indonesia Mime Festival (IMF) 2020 ini awalnya juga tidak mengerti apa itu pantomim. Namun, kini mereka justru punya harapan besar dan cita-cita yang ingin diraih dari seni pantomim.

Made, misalnya, kelak ia ingin punya pementasan tunggal di tempat kelahiran Bapak Pantomim Modern, Marcel Marceau, di Starabourg, Prancis. Sementara itu, Rivan yang saat ini masih duduk di bangku kelas 8, suatu saat juga ingin lebih lucu dari idolanya, Septian Dwicahyo.

Adapun pertemuan Dandles, yang kini berusia 20 tahun, dengan pantomim dimulai saat ia baru kelas 5 SD. Ibarat ‘tersesat ke jalan yang benar’, Dandles yang mulanya celangakcelinguk ketika pertama kali diminta gurunya untuk ikut kompetisi pantomim, selanjutnya justru menjadi juara dalam Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N). Dalam kompetisi IMF yang diselenggarakan secara daring oleh Yayasan Standarmime, kemarin, Dandles menjadi ‘juara kategori dewasa’.

“Dulu aku yang tidak tahu otomatis lalu tanya ke teman sebangku. Teman itu mungkin sudah pernah nonton pantomim atau bagaimana ya, terus dia bilang ‘itu lo yang nempel di kaca-kaca itu’. Oh, seperti itu, ya sudah akhirnya saya memutuskan ikut. Habis itu dilatih sama guru dari Wonosobo juga, namanya Pak Irawan, terus seleksi. Habis itu kaget lagi, padahal saya tidak tahu pantomim itu seperti apa, tapi ternyata saya terpilih,” tutur Dandles saat dihubungi melalui aplikasi konferensi, Kamis (17/12).

Sementara itu, Rivan, kemarin juga berhasil menjadi ‘juara kategori remaja’ kompetisi pantomim IMF 2020. Siswa MTS Syekh Ibrahim, Payakumbuh, yang lebih banyak diam dan malu-malu saat bergabung dalam konferensi daring malam itu, kata sang mentor, Rhamanda Yudha Pratmomo, ialah salah satu anak muda di Sumatra Barat yang sangat berambisi dengan pantomim.

Rivan berlatih pantomim bersama Yudha tiga kali dalam seminggu, yakni pada Jumat, Sabtu, dan Minggu, di studio Zam Mime. Menurut  Yudha, anak didiknya ini memiliki perkembangan motorik yang sangat bagus. Tak jarang ia punya inisiatif untuk membuat repertoarnya sendiri dan terlihat proaktif dengan belajar atau mencari inspirasi sendiri lewat Youtube.

Yudha mengatakan, dalam proses latihan, Rivan juga sering diajak terjun ke jalan. Di sana, ia dibebaskan untuk berimprovisasi dan memimesisasikan suara atau lagu apa pun yang ia dengar di jalanan. Yudha mengaku terkejut ketika Rivan dapat melahirkan gerakan sendiri saat mendengar lagu yang dibawakan musisi jalanan. Ketika IMF daring, Minggu (13/12), Rivan bahkan memilih lagunya, yakni Before You Go karya Lewis Capaldi, untuk disinkronisasi (mime sync).

Lain lagi cerita Made. Ia berkenalan dengan pantomim ketika merantau ke Denpasar untuk menempuh pendidikan SMA. Made, yang kala itu suka keluyuran malammalam, lebih banyak menghabiskan waktu dengan menonton teater di sebuah taman kota. Suatu ketika ia dibuat penasaran dengan teater tanpa dialog atau suara.

“Di akhir pertunjukan, saya ngobrol sama pemainnya. Itu katanya pantomim. Karena di kesenian tradisional Bali, saya belajar tari Tupeng Monyer, di dalamnya juga ada gerakan memvisualkan benda yang tidak ada, sama seperti pantomim, nah saya jadi tertarik belajar pantomim,” tutur pemuda yang kini menempuh studi teater di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) tersebut.


Estetika

Menurut Dandles, dewasa ini seorang pelaku pantomim memang tidak mengenal aturan baku dalam mewujudkan estetika suatu pertunjukan. Hanya, jika mengingat apa yang telah diajarkan gurunya, dalam menampilkan suatu judul, pelaku pantomim diusahakan tidak berlaku berlebihan.

Pantomim, di matanya, ialah cara untuk menggambarkan kehidupan seharihari tanpa bicara. Yang diperlihatkan hanyalah gerak atau gestur tubuh. 

“Guru saya pernah bilang, coba kamu praktik mandi dengan pantomim, kan biasanya kita kalau mandi juga biasa saja tidak harus perat-perot atau bagaimana. Jadi, yang diperlihatkan di pantomim itu memang gerak tubuh atau gestur yang senatural mungkin, dari mimik wajah pun harus senatural mungkin,” katanya.

Made menambahkan, kondisi sosial, budaya, dan ekonomi juga sangat memengaruhi pelaku pantomim dalam melahirkan karya. Aspek tersebut bahkan menjadi sumber inspirasi. 

“Contohnya banyak. Biasanya dalam lomba pantomim di ajang FLS2N, tiap-tiap pesertanya juga memakai busana khas daerah. Karena
jurinya Mas Septian Dwicahyo, beliau menyosialisasikan pantomim yang Indonesia banget begitu. Tahun lalu, saya ikut lomba pantomim dari Persatuan Seniman Komedi Indonesia (Paski) yang syaratnya juga harus memakai kostum daerah dan cerita yang Indonesia banget. Waktu itu pakai kain tradisional Bali, namanya Kamen Endek Saput sama Udeng,” cerita Made


Era digital

Berpantomim di era digital menuntut seorang pelaku pantomim untuk mahir menggunakan perangkat audio-visual. Tampilan audio-visual yang baik, kata Made, akan lebih menarik perhatian dan antusiasme penonton, selain membutuhkan pemilihan lagu yang pas. “Karya Benyah saya kemarin juga mencoba mengemas pantomime dengan gaya sinematik film, menggunakan beberapa angel shots dan camera movement,” imbuh mahasiswa semester 7 itu.

Ketua Yayasan Standarmime, Damar Rizal Marzuki, mengatakan zaman barangkali boleh berubah dari konvensional ke digital. Panggung pertunjukan juga boleh beralih ke berbagai media sosial. Akan tetapi, dasar yang harus dimiliki seorang seniman tidak boleh hilang, yang tak lain dan tak bukan, ialah kreativitas.

Damar yang juga tenaga pengajar di Fakultas Seni Pertunjukan IKJ itu mengatakan, adaptasi ke media baru mungkin telah menghilangkan sensasi menonton seni pertunjukan secara langsung. Maka, pelaku seni mau tidak mau harus beradaptasi dengan semua itu agar ide dan gagasannya tetap dapat ditampilkan.

“Malah harus mencari kemungkinan teknologi apalagi yang bisa mendukung. Jadi, ada unsur baru yang dapat dimasukkan ke karya kita yang mungkin tidak dapat ditampilkan di panggung. Ya maksudnya, jangan mati hanya karena kehilangan panggung,” kata anak pemeran Kang Mus dalam sinetron Preman Pensiun itu.

Damar menambahkan, IMF 2020 pun mendapat dampak positif dari pandemi. Lantaran festival digelar secara daring, perhelatan  memungkinkan kolaborasi yang lebih luas dan menunjukkan penampil dari berbagai negara, seperti Ekuador, Argentina, Jerman, dan Spanyol.

Menyoal perkembangan seni pantomim sendiri dewasa ini dikenal istilah era klasik hingga multikultur. Direktur Festival IMF 2020, Richard Dilian Kalipung, menjelaskan pada mulanya di Prancis diken al sebuah kelompok komedi, yakni Dell’arte. Mereka berlakon tanpa dialog dan segala ekspresinya diutarakan lewat tubuh maupun mimik, dengan kata dasar mimesis atau kemudian dikenal dengan seni menirukan.

Hingga era modern, lanjutnya, pantomim jauh lebih berkembang bahkan ada pantomim yang disajikan bersama lukisan. Masuknya pantomim di Indonesia, khususnya di Jakarta, dapat dirunut dari dua mahasiswa IKJ era akhir 1970-an, Sena A Utoyo dan Didi Petet. Lantaran kerap menyaksikan pertunjukan pantomim di luar negeri, mereka lantas mencoba mengembangkan pantomim di sekitar Jakarta. Pada 1987, keduanya melahirkan teater pantomim Sena Didi Mime.

“Mas Septian kalau tidak salah juga banyak berguru pada Mas Sena, ketika sambil belajar menari. Mas Septian kebetulan elemennya dua ini, yakni seni tari dan pantomim,” tutur Richard.

Sebagai bagian dari generasi ketiga dalam sejarah seni pantomim Tanah Air, baik Damar maupun Richard, lewat Standarmime selanjutnya ingin mengembangkan seni ini di luar terminologi klasik dan modern. Mereka menghendaki pantomim kelak kembali pada istilah mime itu sendiri, yang kemudian dikolaborasikan dengan berbagai macam unsur maupun jenis seni pertunjukan, mulai tari, teater, hingga musik. (M-2)


 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah
Berita Lainnya