Hal yang Perlu Diketahui Sebelum Ko-Produksi Film Dokumenter

Fathurrozak
03/12/2020 13:03
Hal yang Perlu Diketahui Sebelum Ko-Produksi Film Dokumenter
Diskusi virtual Festival Film Dokumenter (FFD) 2020 Co-Producing Documentary Project.(Screenshot )

BUKAN hanya film fiksi, ko-produksi antarnegara juga dilakukan oleh para pembuat film dokumenter. Hal ini dilakukan selain untuk mencari sumber pendanaan, juga sebagai cara agar film mereka bisa berjalan lebih jauh.

Hal itu dilakukan Produser Armi Rae yang membawa film dokumenternya, Aswang (2019) ke berbagai forum pitching. Ia justru tidak mencari sumber pendanaan lokal di negaranya Filipina, sebab filmnya yang mengkritisi kebijakan perang narkoba Presiden Rodrigo Duterte, tidak mungkin mendapat pendanaan. Film ini akhirnya diproduksi bersama para produser dan pekerja film dari Prancis, Jerman, Norwegia, serta Qatar.

“Ko-produksi tentunya suatu upaya untuk menarik pendanaan. Namun selain itu nantinya juga bisa memperluas jangkauan saat film diputar. Saya butuh ko-produksi, khususnya dengan negara lain, karena topik film kami tidak mungkin ada yang mau memberi funding di sini (Filipina). Saya pikir, berproduksi bersama dengan negara lain juga akhirnya bisa memberi kami referensi dengan para expertise negara tersebut,” kata Armi, dalam diskusi virtual Festival Film Dokumenter (FFD) 2020 Co-Producing Documentary Project, Rabu (2/12).

Aswang pun kemudian tayang perdana untuk publik (world premiere) di festival dokumenter terbesar dunia IDFA (International Documentary Festival Amsterdam) pada tahun lalu. Tahun ini, film tersebut juga tayang di FFD 2020 dan masuk dalam program kompetisi internasional.

Manajer program In-Docs Varadila Daood, menyatakan suatu negara mau memberikan pendanaan pada proyek dokumenter bisa disebabkan adalah semata faktor untuk mendukung seni bercerita. Dia menyebut, di Indonesia juga belum banyak forum yang menyediakan proyek-proyek dokumenter terhubung dengan sumber pendanaan secara nasional. Salah satu cara yang bisa ditempuh adalah dengan ko-produksi dengan negara lain, untuk mengakses sumber pendanaan yang ada di negara tersebut.

“Yang pasti karena kebutuhan cerita kuat dan perlu ditunjukan ke penonton. Kalau bicara festival film besar di Eropa yang memberi funding film misalnya, pada medio 90-an di Rotterdam ada Hubert Bals Fund. Itu karena kebutuhan film dari negara di luar Eropa, ingin support the art of storytelling,” kata Vara dalam forum sama.

In-docs, yang memotori forum Docs by The Sea tiap tahunnya memilih 30 proyek dokumenter untuk ditemukan dengan 36 pembuat keputusan yang diundang.

“Kalau melihat di forum market luar, fokusnya sudah pada industri, sementara proyek Asia Tenggara kadang arahnya belum industri tapi eksposur. Misal dipertontonkan di festival film, atau penyelenggara forum lain yang ikut Docs by The Sea. Bisa kenalan di forum lain, kesempatan di forum kami belum punya real grant,” jelas Vara.

Karena dalam ko-produksi akan bertemu dengan orang dari latar belakang kultur berbeda, Armi menggaris bawahi akan ada banyak tantangan. Oleh sebab itu, sebelum berjalan lebih jauh dalam ko-produksi, dirinya menyebut produser harus terlebih dulu menyiapkan dokumen legalnya. Atau, lebih baik jika memiliki kuasa hukum.

“Penting juga untuk memiliki kontrak. Saya tidak bisa memastikan itu jadi kunci. Tapi kontrak adalah kesepakatan dasar. Penting untuk memiliki kesepakatan yang tertulis. Setelah itu, baru bisa bicara pembagian hasil,” kata Armi.

Armi menambahkan, keuntungan finansial yang akan didapat dari film tersebut juga harus dibicarakan dan dinegosiasikan sejak awal. Termasuk sistem pembayaran, apakah berdasar persentase, pro rata, dan mendiskusikan besaran gap  dari mata uang negara masing-masing pekerja film dan ko-produser berasal. (M-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Adiyanto
Berita Lainnya