Headline

Tingkat kemiskinan versi Bank Dunia semakin menjauh dari penghitungan pemerintah.

Fokus

Perluasan areal preservasi diikuti dengan keharusan bagi setiap pemegang hak untuk melepaskan hak atas tanah mereka.

Jadikan Diri Sendiri Suporter Terpenting

Galih Agus Saputra
04/10/2020 02:10
 Jadikan Diri Sendiri Suporter Terpenting
Rabita Madina(Dok. Pribadi)

RABITA Madina, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, beberapa waktu lalu turut berpartisipasi dalam Pemilihan Mahasiswa Berprestasi (Pilmapres) Nasional 2020. 

Dalam kompetisi tahunan yang dihelat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI tersebut, Rabita sukses menggondol titel mapres untuk kategori sarjana. Selama jalannya pemilihan mulai dari 10-13 September lalu, remaja yang akrab disapa Bita ini menyisihkan lebih dari 400 mahasiswa terbaik dari berbagai universitas di Tanah Air.

Kepada Muda, calon sarjana hukum yang juga penggemar olahraga itu menceritakan bagaimana proses belajar hingga berhasil meraih prestasi seperti saat ini. Berikut adalah kutipan wawancara Muda bersama Bita melalui sambungan telepon, Rabu, (30/9):

Halo, Bita. Selamat atas predikat Mahasiswa Berprestasi 2020 yang kamu raih. Bagaimana sih prosesnya?
Pertama, kita lomba dulu di ranah fakultas. Setelah itu, naik ke ranah universitas, lalu nasional. Kita harus submit portofolio yang isinya 10 prestasi terbaik selama kuliah. Tidak harus dari lomba, bisa juga dari kepanitiaan, keorganisasian, atau kegiatan sosial yang diikuti.

Kita juga harus masukkan gagasan kreatif yang konsepnya seperti karya tulis ilmiah. Temanya bebas. Setelah itu, ada pidato bahasa Inggris yang sifatnya impromptu dengan waktu tujuh menit, kemudian diakhiri dengan diskusi psikologi, semacam psikotes, seperti itu.

Wah, banyak juga ya. Apa contoh prestasi yang kamu sertakan? Yang paling berkesan?
Yang paling berkesan itu, di 2019, tim FH UGM yang isinya enam orang termasuk saya, ikut lomba ‘Peradilan Semu’ di Den Haag, Belanda. Kami diberi kasus dari penyelenggara, dan waktu delapan bulan untuk menyusun seperti dokumen pembelaan, termasuk persiapan simulasi sidangnya. Kami sebagai pengacara ditemukan dengan tim pengacara dari universitas lain.

Yang paling seru, meski ini kompetisi, penghargaannya dibagi menjadi dua. Satu untuk individu, satu lagi untuk tim. Waktu itu, UGM menjadi tim pengacara terbaik, dan saya, alhamdulillah, mendapat penghargaan sebagai pengacara terbaik.

Lalu, saat pilmapres, gagasan kreatif apa yang kamu tawarkan?
Saya mengangkat topik perlindungan kontraktor independen melalui RUU Cipta Kerja. Kontraktor independen ini seperti perusahaan yang punya pegawai, tapi statusnya mitra kerja. Umpama, pengemudi ojek daring, bahkan dokter pun sekarang juga melayani praktik melalui aplikasi. Guru-guru di platform tertentu juga ada yang disebut mitra. Nah, itulah yang disebut kontraktor independen.

Apa isu spesifiknya yang kamu angkat?
Intinya saya mem-purpose supaya mitra-mitra kerja ini statusnya diakui di bawah hukum Indonesia. Hingga hari ini, hukum di Indonesia belum mengakui secara langsung kalau mitra kerja itu ialah pegawai yang bisa dilindungi di bawah hukum ketenagakerjaan.

Maka, risiko mereka banyak juga. Misalnya, kalau lembur, tidak dapat uang tambahan; kalau kece lakaan mungkin tidak dapat kompensasi. Jadi, kalau bisa dilindungi dengan hukum, akan lebih banyak benefitnya supaya pekerja yang menjadi mitra ini juga lebih sejahtera.

Sangat relevan dengan kondisi saat ini. Nah, bagaimana saat sesi pidato impromptu?
Kemarin saya pilih tema kesetaraan gender (gender equality). Waktu itu saya dapat satu kalimat yang isinya, ‘laki-laki dan perempuan tidak akan pernah setara secara biologis’.

Secara biologis, sepertinya sudah jadi pengetahuan umum kalau laki-laki dan perempuan itu memang lahir dengan aspekaspek yang berbeda. Tetapi, hal itu biasanya kan juga dikaitkan dengan aspek lain, seperti sosial, karier, dan lain-lain.

Yang namanya diskriminasi pasti ada, bukan hanya ke perempuan, tapi ke laki-laki juga. Yang ingin saya katakan adalah konsep kesetaraan itu sebenarnya seperti apa? Contohnya, dalam suatu klub sepak bola, dibukalah kesempatan untuk menerima 10 pemain, baik laki-laki maupun perempuan.

Nanti, jika secara kualitas bermain hanya ada dua perempuan yang diterima, apakah ini diskriminasi? Menurut saya tidak. Ini fair karena kita sudah memberi kesempatan yang sama. Orang-orang kadang salah persepsi ,hasil akhirnya itu harus 50:50.

Hal semacam ini juga berlaku pada profesi yang sering diasosiasikan sebagai pekerjaan perempuan, memasak. Apa selama ini kita sudah memberi kesempatan yang sama untuk laki-laki agar dapat menjadi juru masak profesional?

Kalau iya, nanti jika akhirnya ternyata lebih banyak chef perempuan, ini bukanlah diskriminasi pada laki-laki. Kurang lebih seperti itulah yang kemarin saya highlight dalam pidato.

Sosok Bita sehari-hari seperti apa?
Sama saja seperti mahasiswa pada umumnya. Sehari-hari kuliah, masuk kelas. Pulang kelas ya bikin tugas, tidur siang, habis itu bikin tugas lagi. Kalau ada kegiatan organisasi, ya kegiatan dulu, kurang lebih seperti itu.

Tidak ada bedanya dengan mahasiswa pada umumnya. Jadi, seharihari biasanya rutenya mungkin hanya tiga: kos, kampus, dan tempat ngopi untuk buat tugas.

Kamu punya sosok idola yang memotivasimu terus berprestasi?
Sebenarnya tidak ada satu orang yang benar-benar saya pegang dan saya ikuti. Tapi, anehnya, karena saya penggemar olahraga, justru idola-idola saya itu berangkat dari latar belakang olahraga atau atlet.

Baik itu atlet basket, American Football, dan lain sebagainya. Alasannya mungkin karena kata-kata atau motivasi yang keluar dari mereka itu kuat sekali. Soal kata-kata, kebetulan tahun ini saya sedang membaca buku Michelle Obama, yang judulnya ‘Becoming’.

Ada satu kalimat yang saya suka, yang sepertinya juga bakal saya ingat terus. Beliau bilang, kita kalau jadi anak kecil itu sepertinya selalu ditanya, nanti kalau sudah besar mau jadi apa?

Seakan-akan yang namanya hidup itu punya batasan. Kalau target yang ditentukan tercapai, berarti sudah berhenti. Intinya, beliau bilang, tumbuh dewasa itu, yang namanya kedewasaan tidak pernah ada akhirnya. Jadi walaupun punya target, bukan berarti kita lalu setop ketika sampai. Harus selalu berkembang walaupun kita sudah jadi dewasa.

Seperti apa dukungan luar yang kamu dapat hingga saat ini?
Kalau soal support system, saya bersyukur semuanya selalu suportif. Dari teman, lingkungan, dosen, sampai orangtua, semuanya tidak pernah mendikte agar saya menjadi seperti A atau seperti B, harus juara, harus ini atau itu, tidak pernah. 

Semuanya selalu menghargai keputusan yang saya ambil. Tapi, sebenarnya support system yang paling penting buat saya itu adalah diri sendiri. Karena kalau dari diri saya sendiri tidak yakin, ya bagaimana orang lain akan yakin?

Bagaimana keseharian Rabita sebelum menjadi mahasiswa?
Saya dulu lulus dari sekolah di sebuah kota kecil, Winconsin, Amerika Serikat, namanya Darlington Community School. Kalau ditanya bagaimana suasana belajar di sana, mungkin yangdapat dibagikan ialah suasana belajarnya tidak terlalu textbook.

Beban akademiknya lebih ringan, dalam artian, pelajaran matematikanya lebih gampang, science lebih gampang, kurikulumnya lebih ringan, dan yang ditekankan sebenarnya adalah aspek-aspek yang dekat dengan attitude dan juga performance.

Penilaian tugas lebih kepada effort, lalu bagaimana alur berpikirnya, tidak pernah menilai benar atau salah itu mentah-mentah. 

Semasa sekolah di sana juga sudah aktif mengikuti lomba?
Iya, jadi waktu kelas 3 SMA di sana, saya kebetulan juga sudah mulai mengikuti lomba. Waktu itu saya mengikuti lomba pidato politik, jadi konsepnya adalah, bagaimana seandainya kita bekerja sebagai pegawai pemerintah yang tugasnya ialah sebagai spokesperson (juru bicara).

Waktu itu saya ikut tiga kali. Kebetulan waktu pertama ikut dapat juara 1. Setelah ikut dan menang lagi, akhirnya semangat itu terbawa hingga saat kuliah di Yogyakarta ini.

Kok tidak lanjut kuliah di sana?
Waktu itu, karena saya ingin kuliah di fakultas hukum, akan lebih baik jika saya juga kuliah di negara tempat akan dipraktikan ilmu hukumnya. Kalau saya kuliah di Amerika Serikat, berarti belajarnya juga harus hukum Amerika Serikat. Nanti kalau ujung-ujungnya mau jadi pengacara di Indonesia, berarti saya harus kuliah lagi di Indonesia untuk mendapatkan SH. Jadi ya sudah, S1-nya saya belajar di Indonesia, insya Allah praktiknya juga mau di sini, jadi harus tahu bagaimana hukum Indonesia.

Istilahnya harus tahu hukum di Indonesia dulu, baru nanti belajar hukum negara lain. Di mata orangorang mungkin kelihatannya keren punya gelar dari luar negeri, padahal sebenarnya lebih knowledgeable dari Indonesia kalau nanti ujung-ujungnya kita mau bermain di ranah hukum Indonesia. (M-2) 
 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah
Berita Lainnya