Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
BOROS bukan saja tentang uang, penggunaan bahasa pun acap kali ditemukan banyak kemubaziran. Hal itu dapat kita dijumpai saat berkomunikasi, baik lisan maupun tulisan. Penutur atau penulis sering kali tak luput dari pemakaian kata-kata yang berlebihan. Tak mengherankan jika pemborosan kata dapat menyebabkan pembaca atau pendengar kebingungan.
Hal itu pun pernah saya alami ketika beberapa hari yang lalu pergi ke minimarket dan melihat sebuah spanduk dari gugus tugas penanganan covid-19 kelurahan tempat saya tinggal terpampang di pinggir jalan. Spanduk itu bertuliskan ‘Di kawasan ini wajib mutlak memakai masker, akan dikenai sanksi atau denda bagi yang melanggar aturan tersebut’.
Sepintas isi spanduk tersebut tidak ada yang salah karena tulisan itu merupakan ajakan yang mengharuskan si tuan rumah dan tamu memakai masker demi menjaga diri dari virus korona. Akan tetapi, bila diperhatikan terdapat kata yang lewah, yaitu pemakaian kata wajib dan mutlak. Disebut lewah karena kata wajib dan mutlak di spanduk itu mempunyai makna dan fungsi yang serupa. Padahal, untuk lebih efektif, isi spanduk itu dapat dihemat dengan menggunakan kata wajib atau mutlak saja. Jika dihilangkan salah satunya pun tak akan mengganggu informasi yang disampaikan.
Senada halnya dengan kasus di atas, kemubaziran lainnya juga terdapat pada judul lagu Pergilah Kasih milik almarhum Chrisye melalui lirik ‘Aku rela berpisah demi untuk dirimu’. Kata demi dan untuk pada lirik tersebut memiliki arti yang serupa sehingga sebenarnya dapat diirit dengan memilih salah satunya.
Pun demikian halnya dengan isi berita dari Detik News, kemarin, ‘Los Blancos justru memilih memulangkan sejumlah pemain dari masa peminjaman, seperti misalnya Martin Odegaard dan Borja Mayoral’. Kata seperti dan misalnya yang dipakai dalam kalimat tersebut terbilang mubazir karena maknanya sama dan bisa dihemat dengan memilih salah satunya, bukan dipakai keduanya.
Apabila dilihat dari kacamata bahasa, gejala-gejala itu disebut dengan pleonasme. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pleonasme adalah pemakaian kata-kata yang lebih daripada yang diperlukan.
Masih banyak fenomena pleonasme lainnya yang tanpa disadari sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, seperti penggunaan secara bersamaan kata agar supaya, mulai dari, pada zaman dahulu kala, dan sejak dari. Kemudian, maju ke depan, mundur ke belakang, menepi ke pinggir, naik ke atas, turun ke bawah, dan masuk ke dalam.
Fenomena-fenomena itu pun merupakan contoh kecil pemborosan kata yang membuat kalimat menjadi kurang efektif.
Dalam penggunaan bahasa, keefektifan kalimat selain dapat dicapai dari pemilihan diksi yang tepat dan kelogisan kalimat, juga bisa dilakukan dengan menghindari penggunaan kata yang mubazir.
Memang, pleonasme lazimnya digunakan hanya untuk sebuah penegasan ataupun memperkuat sifat ekspresif kalimat.
Namun begitu, unsur-unsur yang mubazir sebaiknya dihindari agar tercipta kalimat yang mudah dipahami dan efektif. Untuk itu, berhematlah menggunakan kata. Tak tertumpuk!
Yuk main teka-teki lucu dan menghibur ini dengan teman.
Kamu yang ingin mengetahui apa itu ice breaking, berikut penjelasan tentang hal tersebut!
Istilah air putih ini hadir sebagai pembeda antara air bening dan air yang layak diminum.
Akan tetapi, sayangnya, banyaknya istilah terkait kasus korona itu tidak cukup mampu menggerakkan masyarakat untuk sadar akan bahaya covid-19.
Kata yang berkelonan tanpa aturan merupakan kretivitas yang digunakan sekali jalan. Akhirnya hilang dan terlupakan.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved