Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Patung–Patung yang Hijrah ke Dunia Virtual

Abdillah Marzuqi
20/9/2020 02:15
Patung–Patung yang Hijrah ke Dunia Virtual
Karya Hardiman Radjab, Quantum Leap (2020)(Dok. API )

DARI belakang, tampaknya protokol kesehatan sudah terpatuhi. Karet masker mengikat dua telinga. Bisa diasumsikan orang tersebut patuh dan taat pada anjuran pemerintah.

Sayangnya, patung karya Jack S Riyadi itu justru dijuduli Tak Menghiraukan (2020). Namun, itu hanya tampak dari belakang. Dari depan justru sebaliknya. Ternyata orang itu sangat tidak mengindahkan protokol kesehatan, bahkan masker pun dipakai untuk menutupi mata.

Tidak butuh waktu lama untuk memahami pesan tersirat dari patung berdimensi 25x22x25 cm itu. Orang yang memakai masker untuk menutup mata, bukan untuk hidung dan mulut. Keduanya dibiarkan terbuka.

Begitulah salah satu karya yang disajikan dalam pameran virtual bertajuk Stay@Home oleh Asosiasi Pematung Indonesia (API) Jakarta. Segala pembatasan dan keterbatasan saat pendemi memotivasi para seniman untuk mencari jalan keluar, salah satunya lewat media virtual.

“Mereka punya rencana karena situasinya kan sekarang kayaknya semua pada stagnan gitu. Jadi karya seniman harus tetap bisa dihadirkan dan kesenimanannya tetap bisa terinformasikan. Jadi pilihannya ya media virtual,” terang kurator pameran, Benny R Tahalele.

Sebanyak 10 seniman memamerkan 19 patung. Penampilan perdana itu juga tidak melulu berbincang soal pandemi. Ada beberapa karya bersifat netral. Selain itu, pameran tersebut menjadi tonggak kemunculan API Jakarta dalam jagat maya.

“Pesan pertama ingin mengatakan API Jakarta masuk di media virtual, walaupun masih gagap, tapi harus masuk. Karena ke depannya, semua sudah begitu. Pesan keduanya, baru bicara soal covid-19,” tambah Benny.

Diakui, kebanyakan anggota API Jakarta adalah seniman patung yang sudah lewat usia muda. Untungnya ada beberapa seniman anggota yang masih akrab dengan dunia digital. Kolaborasi apik itulah yang kemudian melahirkan pameran tersebut.

“Pameran virtual Stay@Home ini adalah pameran yang baru untuk kami. Bermula dari bincang-bincang apa yang akan kita lakukan dalam situasi pandemi. Kemudian masing-masing mulai mencoba berkarya. Kami mencoba juga fokus, bertukar info, saling memberi semangat untuk acara pameran virtual ini,” terang peserta pameran, Yani Mariani.

Khusus untuk presentasi virtual ditangani oleh seniman visual dari Sinematografi IKJ (Institut Kesenian Jakarta). Benny mengungkap alasan di baliknya. Pameran virtual berbeda dengan yang diadakan di ruang pamer. Presentasi karya tunduk penuh pada hukum virtual.

Di situ ada banyak atribut, seperti aspek penyajian, resolusi gambar, sudut pandang, dan detail. Semua itu perlu diperhatikan untuk menjaga keautentikan karya.

“Jadi waktu mereka menyorot itu dengan detail dan dari berbagai sudut pandang, keautentikan karya itu tetap terjaga,” tegas Benny.

Ada dua aspek dalam penyajian secara virtual. Pertama, dari penyaji yakni seniman yang menyuguhkan keautentikan karya secara virtual. Kedua, dari penikmat yang harus bisa melatih keakuratan imajinasi. “Jadi dari sudut penyaji dan penikmat bisa ketemu,” tambah Benny.

Beberapa karya memang tampak sekali berbincang soal pandemi, di antaranya karya Hardiman Radjab, Yani Maryani, Darwin, dan Cyca Leonita.


Multitafsir

Hardiman Radjab menampilkan karya berjudul Quantum Leap (2020) dengan dimensi 20x15x20 cm dari media campur. Hardiman dikenal sebagai seniman patung yang akrab dengan eksplorasi koper. 

Kali ini, karyanya menggambarkan sesosok manusia yang tengah berusaha keluar dari koper. Quantum leap bisa diartikan sebagai lompatan besar dalam waktu. Bisa saja diartikan sebagai lompatan besar dalam karier, keuangan, dan sebagainya. 

Dalam konteks pandemi, sepertinya dunia maya sekarang bisa membuat lompatan besar. Artinya bisa menjadi bagian dari kepribadian manusia. Hal itu terkait dengan situasi dan kondisi yang tak menentu akibat pandemi.

“Jadi itu memang multitafsir. Tapi kalau kita lihat, kita bisa membayangkan ada kotak penyimpanan barang dari kayu. Lalu ada figur yang ingin keluar. Jadi itu membayangkan manusia sekarang ingin keluar dari keterbatasan eksistensi mereka,” tegas Benny.

Selain itu, masih ada karya Agoes Salim berjudul Waspada (2020) yang memvisualkan SARS CoV-2, Budi PM Tobing dengan Terkapar (2020), Darwin dengan Hijrah (2020), dan Yani Mariani dengan Positive (2020).

Yani dengan cerdas membuat figur tikus bermasker pembawa virus sekaligus sebagai penolong yang disimbolkan dengan lambang palang merah pada masker di mulut dan bendera di ekor.

“Semacam ini ada wabah dibawa tikus, tapi ada kontradiksinya. Jadi kita ada semacam dualisme penafsiran. Saya rasa itu menarik. Bisa buat kita merenung, artinya apa?” tandas Benny.

Masih ada pematung milenial Cyca Leonita dengan karya Mengheningkan Cipta (2020). Ia menggambarkan sesosok yang lemah dan terkulai di atas meja. Karya itu mengambil ide dari kondisi saat ini ketika semua orang diharuskan berada di rumah. 

Yang tadinya terbiasa mencari inspirasi di luar rumah, tiba-tiba tidak diperkenankan. Untungnya, dunia maya memberikan asupan informasi yang dibutuhkannya.

“Dalam bentuk badannya, tubuhnya memang lemas karena mungkin tidak bisa ke mana-mana, tapi di pikirannya bisa melayang ke manamana, bisa menjelajahi apa pun karena di dunia maya sudah terbuka lebar,” terang Cyca.

Benny mengibaratkan perangkat elektronik analog dan digital untuk menjelaskan perbedaan antara pematung mapan dan milenial. Seniman milenial lebih berpikiran merdeka karena pengaruh perkembangan teknologi komunikasi.

“Mereka, menurut saya, lebih bisa menangkap hal-hal yang absurd. Kalau kita yang tua-tua melihat sesuatu itu absurd, bagi mereka biasa saja. Jadi mereka lebih biasa melihat halhal yang absurd,” ujar Benny.

Selain nama tersebut, masih ada nama Agus Widodo dengan karya Sang Pengamen Agung (2020), Henry The Koi dengan Terbang Renang (2019), dan Tedy Murdianto dengan Bergerak dalam Keheningan (2020).

Memang karya terakhir itu tidak berkait langsung dengan covid-19. Justru itu, karya mereka menjadi tonggak pameran seni patung yang bermigrasi dalam dunia virtual.

“Itu saya rasa memang tidak terlalu bisa (berhubungan), netral saja. Makanya saya bilang pameran ini nggak semuanya berbicara tentang covid-19, cuma mau bicara Asosiasi Pematung Indonesia Jakarta sekarang masuk ke media virtual,” pungkas Benny. (M-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah
Berita Lainnya