Headline
AS ikut campur, Iran menyatakan siap tutup Selat Hormuz.
Tren kebakaran di Jakarta menunjukkan dinamika yang cukup signifikan.
SEPERTI yang terjadi pada industri hiburan, pandemi juga memukul industri pariwisata. Diberlakukannya lagi pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di DKI Jakarta diyakini akan berdampak pada pariwisata lokal yang sebelumnya sempat bangkit.
Di sisi lain, Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Pariwisata Indonesia Prof Azril Azahari menyatakan jika lonjakan kasus covid-19 memang terlebih dulu harus diatasi jika ingin dapat memulihkan pariwsata seutuhnya, termasuk citranya di dunia internasional.
Lebih jauh lagi, ia mengingatkan para pengusaha pariwisata untuk melakukan perubahan karena pandemi memang membuat tren
pariwisata baru. Berikut penuturan lebih lengkapnya dari wawancara Media Indonesia dengan Azril, Selasa (15/9).
Bagaimana secara umum kondisi industri pariwisata di Indonesia di tengah pandemi?
Tentu sangat terdampak. Rata-rata semua jenis wisata terdampak karena pandemi ini. Namun, yang paling terdampak ialah mass tourism atau yang berorientasi pada kuantitas wisatawan atau menghadirkan banyak orang.
Wisata yang berskala kecil dan menengah juga cukup terdampak. Yang mungkin masih bisa bertahan ialah yang sejak awal tidak berorientasi pada kuantitas, tapi lama tinggal, seperti tempat menginap yang privat di tengah alam dan sejenisnya atau istilahnya green tourism.
Apakah penerapan PSBB kembali di DKI Jakarta akan berdampak pada pariwisata atau tidak lagi signifikan karena memang sudah terpuruk?
Dengan PSBB tentu akan kembali sepi, tapi memang tetap sejak awal seharusnya yang harus ditangani angka positifnya dulu. Kenormalan baru belum bisa dilakukan karena angka positif justru masih terus meningkat. Jadi, sulit kalau mau memperbaiki industri wisata di kondisi seperti ini.
Saat ini, sudah lebih dari 50 negara menutup akses bagi WNI untuk pergi ke negaranya dan sebaliknya juga melarang warga negaranya berkunjung ke Indonesia. Itu sama saja menyatakan Indonesia sudah gagal menangani covid-19. Tentu itu memperparah kondisi terpuruknya wisata di Indonesia yang mayoritas sudah sulit sejak awal pandemi masuk ke Indonesia.
Seperti apa sebenarnya penerapan protokol kesehatan di industri wisata selama pandemi ini?
Sebenarnya hampir seluruh pengelola destinasi wisata hingga penunjang wisata sejauh ini sudah siap menerapkan protokol kesehatan.
Hanya, memang masih belum ada pengawasan ketat dari pihak asosiasi atau pemerintah, jadi belum ada jaminan bahwa penerapannya dilakukan dengan sangat ketat dan maksimal. Setidaknya harus ada institusi atau pihak yang ditunjuk untuk mengawasi secara ketat penerapan protokol kesehatan di lokasi wisata, apakah itu aparat atau asosiasi.
Itu harus dilakukan bila memang bisnis wisata ingin dibuka di tengah pandemi. Siapa yang mengawasi, siap yang mengontrol, siapa yang mengaudit, itu masih dipertanyakan. Di sisi lain, pemerintah harusnya memikirkan juga mengenai anggaran yang dikeluarkan para pengusaha pariwisata untuk terapkan protokol kesehatan dan disinfeksi secara berkala, itu butuh dana besar, begitu juga biaya listrik.
Itu pemerintah harus pikirkan. Dukungan dan bantuan dari pemerintah untuk bisnis bisnis wisata harus ditingkatkan karena untuk bertahan saja saat ini seperti hotel, misalnya, sudah kesulitan. Apalagi pandemi ini bisa berkepanjangan.
Adakah panduan khusus yang dibuat organisasi Anda sendiri?
Tidak secara khusus, kita hanya mengimbau untuk mengikuti saja apa yang sudah dibuat pemerintah. Asosiasi-asosiasi wisata juga sudah terus memberikan imbauan untuk ikuti protokol yang dibuat pemerintah.
Beberapa destinasi mencoba menghadirkan wisata secara virtual, apa itu bisa jadi alternatif?
Itu tidak bisa menjadi jawaban, apalagi untuk jangka panjang. Pariwisata itu hal yang harus dialami sendiri secara langsung, ini ialah people industry. Setiap orang ingin mengalami sendiri experiences-nya.
Secara langsung, bukan secara virtual atau hanya melihat. Jadi, itu tidak bisa jadi alternatif. Orang berwisata pasti ingin mencari suasana yang berbeda.
Lalu apa sebenarnya dampak yang bisa diharapkan dari wisata virtual?
Digital dalam wisata hanya bisa dimanfaatkan untuk promosi. Itu penting untuk menjaring minat calon wisatawan. Atau kalau saat ini bisa untuk melakukan pendaftaran ke lokasi wisata dan mempermudah akses perjalanan.
Namun, selebihnya tidak bisa efektif pemanfaatan teknologi seperti itu untuk wisata. Yang mungkin bisa mendapatkan manfaat dari go digital hanyalah supporting wisatanya, misalnya, UMKM sentra suvenir yang biasanya menjual berbagai produk di sekitar destinasi wisata. Justru mereka harus bisa go digital. Namun, wisata utamanya tidak akan bisa.
Bagaimana menurut Anda tren pariwisata pascapandemi?
Iya, pasti akan ada perubahan paradigma dalam berwisata. Sekarang wisata semakin cepat pergeserannya ke serenity atau ketenangan diri, spirituality atau ketenangan batin, dan sustainability atau keberlanjutan lingkungan.
Itulah poin pariwisata yang harus digarap sekarang karena trennya akan ke sana. Tidak lagi seperti dulu mass tourism yang serbamewah, modern, dan mengutamakan keramaian. Jadi, justru ketenangan, keseimbangan dengan alam, dan dengan sesama manusia itu yang harus ditawarkan.
Itu harus mulai jadi perhatian oleh pemerintah. Para calon wisatawan saat ini sangat memperhatikan kondisi sekitar tempat wisata. Tempat wisata yang merusak lingkungan akan semakin ditinggalkan.
Apalagi setelah pandemi ini kehidupan banyak orang mulai bergeser menjadi lebih sehat dan kesadaran terhadap keselamatan lingkungan juga semakin tinggi. Jadi, paradigma pariwisata ini sudah dan akan semakin berubah.
Melakukan pembangunan besarbesaran untuk pariwisata seperti yang di lakukan di Mandalika hingga melakukan penggusuran itu seharusnya tidak perlu dilakukan. Jangan lagi berorientasi pada keuntungan pengusaha, tapi fokuskan pada pengembangan warga lokal. Bangun daerah dan manfaatkan daya tarik dari kearifan lokal yang ada.
Di bidang pendidikan wisata apakah juga sudah ada muatan soal menghadapi krisis?
Yang secara formal dibuat sesuai arahan pemerintah belum ada. Karena sampai saat ini belum ada perencanaan tenaga kerja pariwisata di Indonesia. Itu sangat penting untuk dimiliki, begitu juga rencana induk pemangunan SDM pariwisata. Padahal, itu sangat dibutuhkan. Bagaimana mau membangun pendidikan wisata kalau pedomannya itu belum ada. (M-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved