Headline
Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.
Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.
“LIPOL... lipol... seseneng kalo poha jala uupa dai ngol, pukul... kalauemg (pukul... pukul... kalau kalah buang ke laut),” pekik orangorang Gamkonora di Desa Talaga, Halmaher Barat, Provinsi Maluku Utara.
Teriakan itu seperti memompa semangat para pemain dodengo. Dua ‘petarung’ yang tengah berhadapan makin menunjukkan gerakan dinamis, bersiap mengalahkan lawan. Tentu saja pihak yang kalah tidak dibuang ke laut betulan.
Mereka, orang-orang Gamkonora itu, mendiami empat desa, yaitu Gamsungi, Talaga, Gamkonora (sebagai desa induk), dan Tahafo. Desa orang Gamkonora terletak di bibir pantai, berhadapan dengan desa orang Waioli, Tiana, dan Tobelos yang kristiani.
Siang itu, pada hari pertama Idul Fitri, lapangan sepak bola Desa Talaga sangat riuh. Tidak saja oleh pelaku dodengo yang menunggu giliran berlaga, tetapi juga para penonton yang datang dari berbagai kalangan; tua, muda, laki-laki dan perempuan, nelayan dan petani, pegawai, pelajar, dan mahasiswa yang datang dari Ternate untuk merayakanIdul Fitri bersama keluarga di kampung .
Tentunya orang Gamkonora dari tiga desa lain juga hadir, dan masih ada beberapa orang yang bukan Gamkonora. Apalagi pertunjukan dodengo tidak habis hanya dalam satu hari. Tradisi bertarung itu akan digelar lagi keesokan hari pada Idul Fitri hari kedua. Kegiatan berkumpul di lapangan di Desa Talaga itu berlangsung sejak 2003 hingga sekarang.
Seseorang yang dipercaya sebagai wasit pertandingan memberikan aba-aba. Laiknya wasit tinju, ia cermat memperhatikan setiap gerakan dua pemain, jangan sampai ada yang benar-benar terluka meski permainan ini tidak bisa juga dikatakan sekadar mainmain.
Wasit juga memastikan agar tidak ada peserta yang curang. Kesuksesan pemain rata-rata bertumpu pada kuda-kuda kaki, kekuatan pukulan batang sagu, dan kegesitan dalam menghindari pukulan.
Alat yang dipakai dalam dodengo ialah salawako, yakni perisai untuk menghindari pukulan. Biasanya diletakkan di tangan kiri. Lalu go’ola, terbuat dari gabagaba atau pelepah pohon bakau, yang digunakan sebagai alat pukul.
Go’ola dipegang di tangan kanan. Seni bela diri ini diiringi oleh gendang (istilah Gamkonora untuk menyebut seperangkat musik) dengan peralatan tifa dan gong yang dimainkan tiga sampai empat orang.
Saat ini gendang hanya berperan memberi semangat. Padahal dahulu, kata Zulba (ketua panitia), mereka yang berlaga dapat menghubungkan permainannya dengan pukulan irama gendang. Pada masa penjajahan Belanda sampai awal kemerdekaan, dodengo dapat dimainkan oleh laki-laki tua dengan teknik permainan yang tinggi, gerakannya sangat indah.
Teknik menyerang, memukul, dan cara menjatuhkan lawan dilakukan sebagaimana layaknya seni pertunjukan, seperti gerak gotolala. Bagi Kades Gamkonora, Pak Talha, 50, seniman Gamkonora yang menurut pengakuannya berusia 70 tahun menganggap pelaku dodengo sekarang hanya mengandalkan kekuatan fisik.
Sampai awal kemerdekaaan, dodengo dapat disaksikan di empat desa Gamkonora. Katakanlah hari pertama Idul Fitri, dodengo diselenggarakan di Desa Gamkonora, pesertanya pemuda-pemuda Gamkonora. Pemenangnya boleh melawan pemuda desa lain, dan bisa diselenggarakan di luar desa itu. Dengan cara itu dodengo dapat dilakukan selama tujuh hari setelah Idul Fitri.
Ingatan akan dodengo
Kata orang-orang tua Gamkonora, kemahiran laga sudah dikenal sejak sebelum Islam masuk ke Maluku Utara. Kemudian, pada masa Islam, salawako dan go’ala digunakan untuk berperang.
Karena Gamkonora termasuk dalam vasal Kesultanan Ternate, maka Sangaji Gamkonora diwajibkan mengerahkan prajurit guna menaklukkan daerah jajahan Ternate, atau berperang melawan Belanda.
Dalam perkembangannya, kemahiran berkelahi menjadi alat hiburan semata. Mae Tua dari Desa Togola-Waioli yang lahir pada 1928 ialah penggemar dodengo. Ia tidak akan melewatkan dodengo yang digelar pada siang hari saat Idul Fitri meskipun ia sendiri seorang kristiani. Bersama beberapa ibu lain mereka menyambangi dodengo.
Jarak yang harus ditempuh bisa 1,5 jam berjalan kaki. Mereka melakukannya sambil menggendong bayi. Elizabeth Keno bersama rombongan ibu-ibu besoknya akan berjalan lagi menyambangi dodengo di desa lain. Bisa sampai satu minggu setelah Idul Fitri. Saat ini dodengo hanya dapat disaksikan di Desa Talaga, dan paling lama hanya dua hari.
Pengalaman batin
Sejak masa reformasi dodengo berhenti dimainkan sebelum kemudian digelar kembali pada 2003. Orang Gamkonora, seperti halnya masyarakat Maluku yang lain, terlibat dalam kerusuhan.
Peristiwa Desember 1999 merupakan pengalaman hidup yang tak terlupakan. Apabila ada dua bentuk pengalaman, teknis dan batin, keduanya meninggalkan jejak memori bagi orang Gamkonora.
Pengalaman teknis yang tergores dalam memori orang Gamkonora ialah konflik terbuka; laki-laki yang berusaha menyelamatkan keluarga dan daerahnya baku pukul untuk menjatuhkan lawan (suatu hal yang tidak asing lagi), atau saling tembak untuk dapat membunuh lawan.
Selain itu, masih ada pengalaman batin yang melibatkan emosi saat menghadapi kerusuhan--ada rasa takut, benci, dan mungkin juga dendam. Pada saat itu warga Desa Gamsungi, seperti yang diceritakan oleh Pak Raban, berebut menaiki kapal yang berlabuh jauh di tengah laut dan akan membawa mereka ke tempat pengungsian di Ternate.
Banyak perempuan yang ditemui bercerita tentang perasaan takut menghadapi serangan sambil berebut menaiki sekoci seraya berusaha menyelamatkan anak-anak. Tidak sedikit anggota keluarga yang terbunuh, atau hanyut di laut karena panik. Belum terhitung pula mereka yang terluka.
Setelah masa kerusuhan itu berlalu, pada Hari Raya Idul Fitri 2003, Sulba dari Desa Talaga, mahasiswa Universitas Khaerun di Ternate yang tumbuh di tempat pengungsian, bersama teman-temannya menggagas dipertunjukan kembali dodengo. Sejak 2003 hingga saat ini, dodengo hanya bisa dijumpai di desa itu saja.
Dodengo mempunyai peran yang tidak kasatmata. Ia adalah ekspresi dari suatu memori yang tidak dapat dilepaskan dari sejarah lisan orang Gamkonora. Penga laman batin yang terungkap dalam sejarah lisan menyimpan ingatan tentang kerusuhan, konflik, dan peperangan yang melibatkan perasaan dukacita, trauma, dan mungkin juga dendam.
Akan tetapi, kemampuan bela diri laki-laki Gamkonora yang sudah mentradisi dan menyimpan berbagai bentuk memori itu diekspresikan dalam ketangkasan dodengo, yang tak sekadar merupakan kekerasan fisik, tetapi justru menjadi simbol perdamaian yang diabadikan melalui perayaan Idul Fitri. (M-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved