Headline

AS ikut campur, Iran menyatakan siap tutup Selat Hormuz.

Fokus

Tren kebakaran di Jakarta menunjukkan dinamika yang cukup signifikan.

Urgensi Perbaikan Fasilitas Yankes

Fetry Wuryasti
09/8/2020 02:50
Urgensi Perbaikan Fasilitas Yankes
(Sumber: lakmi/Pandemic Talks/Tim Riset MI-NRC)

HINGGA awal minggu ini, setidaknya sudah 74 dokter dan 55 perawat berpulang akibat pandemi covid-19. Selain itu, terdapat sekitar 25 tenaga kesehatan lainnya yang juga ikut menjadi korban keganasan virus korona baru itu.

Jumlah yang berdasarkan data Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) itu tidak hanya menyedihkan, tetapi juga sangat mengkhawatirkan. 

Terlebih, per 13 Juli, Indonesia menempati negara
ketiga dengan persentase kematian nakes tertinggi daripada kematian total akibat covid-19 di negara tersebut.

Berdasarkan data yang dihimpun Pandemic Talks, yakni sebuah platform info data covid-19 yang menghimpun data dari Amnesty  Intrenational, World Bank, dan Worldometer, persentase kematian nakes Indonesia mencapai 2,4%.

Angka itu dari perbandingan jumlah kematian nakes yang saat itu mencapai 89 orang dan kematian seluruh kasus covid-19 yang sudah mencapai 3.656 orang. Angka itu menjadikan Indonesia berada di bawah Rusia dan Mesir. Lalu, faktor apakah yang sebenarnya menjadi penyebab tingginya kematian nakes di Indonesia dan perbaikan mendesak apakah yang perlu dilakukan? 

Berikut wawancara Media Indonesia mengenai hal tersebut dan hal terkait lainnya bersama dengan Wakil Ketua Umum 1 (menjabat) dan ketua terpilih periode 2021 2024 Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dr Mohammed Adib Khumaidi SpOT di Jakarta, Kamis (6/8).

Sebenarnya apa yang menjadi penyebab utama dari tingginya persentase kematian nakes di Indonesia?
Kami coba identifikasi, pertama dari sumber daya manusia (SDM), baik di dalam menjalankan profesi, dokter, perawat, maupun petugas lain yang bertugas di fasilitas kesehatan. 

Kalau kita identifikasi di dalam SDM, budaya cuci tangan, pakai masker, menjaga kebersihan. Ini kan sekarang dipaksa. Walaupun di dalam pelaksanaan di pelayanan kita terbiasa dengan namanya akreditasi rumah sakit yang salah satu faktornya terkait dengan penanggulangan penyakit infeksi (PPI). 

Namun, sekali lagi masih perlu ada upaya untuk menekankan itu untuk masalah safety culture di internal kita, di SDM. Kedua, masalah mapping kebutuhan tenaga medis dan kesehatan.

Apabila di satu rumah sakit SDM medis dan kesehatannya kurang, yang akan terjadi ialah jam kerjanya akan lebih banyak. Akibatnya, potensi SDM kelelahan tinggi.

Soal fasilitas kesehatan dan APD bagaimana?
Kalau melihat dari fasilitas kesehatan tingkat primer, klinik, puskesmas, sampai ke rumah sakit, hampir sebagian besar fasilitas kesehatan tidak didesain untuk menghadapi wabah virus. 

Ini berbeda dengan Singapura. Sejak kasus SARS pada 2003, dia mendesain rumah sakitnya, mudah dimobilisasi, dan siap dengan virus. Akibatnya di Indonesia, potensi lintas penularan itu tinggi di fasilitas kesehatan.  Salah satu contoh, di poli pelayanan, baik itu di praktik mandiri, puskesmas, maupun rumah sakit, kita berada di dalam ruang-ruang yang kecil, ada AC, tidak ada ventilasi ataupun exhaust fan.

Artinya, tekanan negatif tidak ada. Itu menjadi ruang yang berpotensi load virusnya tinggi di dalamnya. Kasus yang sekarang banyak terjadi itu di ruang praktik pribadi. Dipikirnya pasien yang datang tanpa potensi terpapar virus sehingga awareness-nya kurang.

Ruangannya pun biasanya tidak disiapkan untuk kondisi yang harus mengurangi paparan virus. Di puskesmas dan praktik swasta, juga potensi penularannya besar. Kalau di rumah sakit rujukan, SOP protokolnya lebih ketat dan awareness-nya lebih tinggi.

Untuk ketersediaan alat pelindung diri (APD) sekarang sudah ada. Banyak dukungan dari pemerintah, masyarakat, dan pihak swasta. Hanya, distribusinya yang tidak merata.

Ruangan tekanan negatif itu apa?
Prinsip ruangan negatif itu adanya ventilasi. Bila tidak ada ventilasi atau ventilasinya tidak baik, load virusnya itu akan terakumulasi di dalam suatu ruangan.

Pasien-pasien terkena covid itu pun buka semata-mata terpapar begitu saja. Pada kasus teman sejawat yang menjadi sakit, dia tidak sekali terpapar, tetapi berkali-kali. Mungkin masalahnya ada ketika dia berada di dalam ruangan dengan orang yang berkumpul dan terpapar terus.

Solusinya bagaimana agar ada standar fasilitas, bahkan hingga ke penanganan?
Kita harus dorong agar muncul regulasi untuk membuat sebuah standardisasi protokol-protokol tadi. Kita berharap dibuat aturan oleh pemerintah supaya tempat kerja tenaga kesehatan menjadi berstandar untuk mengurangi paparan virus.

Saat ini, sudah ada sebagian rumah sakit yang sudah memfasilitasi terkait dengan tata kelola ruang, tapi belum semua karena belum ada regulasi yang mendorong untuk itu. Termasuk kami harapkan akan ada komite keselamatan untuk tenaga medis dan kesehatan. 

Mereka bisa memfasilitasi para tenaga medis dan kesehatan untuk bekerja di tempat yang bisa dijamin perlindungan keselamatannya. Terkait dengan regulasi juga, pemerintah harus membuat klaster/pemisahan mana fasilitas kesehatan yang dikhususkan untuk covid-19. 

Salah satunya juga bisa dengan membuat zonasi di fasilitas kesehatan. Contoh di rumah sakit ada zona merah, kuning, dan hijau sehingga tidak terjadi pertemuan antara pasien-pasien dengan potensi tertular. 

Ini penting, sayangnya belum ada. Kalaupun tetap berobat, ada alurnya, proses pendaftaran via online, jadwal telah ditentukan, ada batas kuota harian, obat lalu dikirim ke rumah.

Bagaimana dengan tracing kasus covid-19 di tenaga kesehatan? Sebab dikatakan banyak pula penularan yang terjadi di luar aktivitas kerja?
Saya tidak bisa menyalahkan karena tenaga kesehatan juga menjadi bagian dari suatu masyarakat. Para dokter mungkin mereka juga ada yang bergabung pada suatu komunitas. 

Salah satu contohnya kasus yang terjadi di Blitar. Mereka ada komunitas gowes (bersepeda). Ini yang akhirnya sekarang kita membuat semacam SOP. Kita dokter seharusnya peka juga di luar. Protokol kesehatan harus tetap dijalankan.

Soal jam kerja nakes apakah juga sudah ada standardisasi?
Bicara pasukan tempur untuk covid-19 ini pertama ialah dokter unit gawat darurat (UGD), dokter spesialis paru-paru, spesialis penyakit dalam, spesialis anestesi. 

Dokter spesialis paru kebanyakan di Pulau Jawa. Jadi, maladistribusi ini mengakibatkan beban kerja yang berbeda yang akhir nya menimbulkan kelelahan. Kami di tim mitigasi IDI akan mengatur jumlah jam kerja mereka karena perlu ada strategi dalam melakukan pelayanan dan pola tugas kerja tenaga medis dan kesehatan. 

Contoh, dengan klastering rumah sakit untuk khusus covid, ketenagaan bisa dimaksimalkan dengan memberdayakan seluruh SDM. Artinya, para spesialis yang lain bisa diberdayakan untuk membantu, misal, untuk visit dan memantau pasien. 

Yang penting ada SOP. Namun, itu lebih mudah dilakukan apabila rumah sakit itu dibentuk khusus covid saja dan tidak menerima non-covid. Jadi, manajemen rumah sakit harus peka dengan kondisi SDMnya. Apabila ada terpantau sudah kelelahan, bisa langsung disuruh istirahat tiga hari, baru bekerja kembali.

Bagaimana dengan pencairan insentif dari pemerintah?
Hampir sebagian organisasi sudah mendapatkannya, baik itu dokter maupun perawat. Kendalanya kemarin sudah kami sampaikan karena ada regulasi yang dibuat Kementerian Kesehatan. 

Di dalam regulasi itu awalnya disebut yang mendapat insentif antara lain dokter yang merawat pasien covid19. Kemudian sudah dokter dan tenaga kesehatan. Sebab kita tahu, pada saat kita bicara pelayanan, ini menjadi satu bagian keseluruhan.

Makanya ini menjadi kesulitan juga oleh manajemen rumah sakit untuk menentukan siapa yang mendapat insentif. Takutnya nanti dianggap tidak adil. Padahal, yang kerja juga semua, apalagi penanganan ini berbicara tim.

Namun, dalam satu bulan terakhir ini saya lihat sudah sangat proaktif tentang kesehatan untuk melakukan upaya itu. Beberapa laporan yang kami terima sebagian sudah mendapatkan insentif walaupun ada beberapa juga yang belum. Masalahnya memang ada pada administrasi pelaporan sepertinya.

Apakah benar banyak pula nakes yang depresi akibat pandemi ini?
Kami seperti juga manusia lain yang dihadapkan dengan sebuah kondisi yang hopeless, seperti pandemi ini kok tidak selesaiselesai, seperti tidak ada ujungnya.

Apalagi, kami melihat masyarakat di luar seperti kondisi normal saja, sementara kami mati-matian bekerja. Kalau belum lama ada ramai kata-kata ‘Indonesia terserah’, itu merupakan sebuah bentuk keputusasaan dari kami yang melihat masyarakat tidak mematuhi protokol. 

Padahal, protokol-protokol dibuat untuk mereka. Kami ini kan sebenarnya profesional defense, kami posisinya ialah benteng terakhir. Garda terdepannya, ya, masyarakat sendiri. 

Dengan memakai masker, menghindari berkerumun, itu sudah sangat membantu. Kalau pasukan gugur satu saja, itu sudah mengurangi jumlah pasukan dan beban ke pasukan lainnya lebih besar sehingga upaya-upaya untuk melindungi dan menyelamatkan tenaga medis dan tenaga kesehatan menjadi hal yang sekarang kita dorong. 

Untuk pendampingan, kami ada upayaupaya untuk meningkatkan mental secara organisasi, seperti rutin tausiah bagi yang beragama Islam, acara doa bersama bagi yang non-Islam. Selain itu, kami juga minta di setiap fasilitas kesehatan disiapkan semacam psikolog yang membantu untuk mengembalikan mental. (M-1)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah
Berita Lainnya