Headline
Hakim mestinya menjatuhkan vonis maksimal.
Talenta penerjemah dan agen sastra sebagai promotor ke penerbit global masih sangat sedikit.
PADA awal bulan, rumah produksi Visinema yang digawangi sineas Angga Sasongko melayangkan somasi ke platform streaming Iflix.
Itu sebagai buntut belum digenapinya hak lisensi empat film yang tayang di platform tersebut. Iflix berhutang hampir Rp10 miliar atas empat film Visinema. Permasalahan dengan platform streaming film semacam itu ternyata bukan saja dialami Visinema.
Dalam kasus berbeda produser serial Brata, Fauzan Zidni, masih harus berhadapan dengan Hooq yang sudah menyatakan bangkrut. Saat ini, masih beperkara di jalur hukum.
“Saya mengerjakan commissioned project dari Hooq untuk membuat serial Brata season 2. Kami mendapat berita dari media, kalau Hooq mengajukan pendaftaran likuidasi sukarela di pengadilan Singapura pada 27 Maret dan kemudian menutup layanan pada 30 April. Itu bertepatan dengan episode final Brata yang akhirnya ditayangkan mereka di Youtube,” beber Fauzan kepada Media Indonesia, Rabu (5/8).
“Kewajiban mereka melakukan pelunasan sebesar 30% dari nilai kontrak belum dibayar dan sekarang kami sedang berurusan dengan likuidator di Mauritius, Anjeev Hurry, yang baru kami dapatkan informasinya pada Juni,” tambah Fauzan.
Ia menyebut, pihaknya menghormati kesepakatan yang dibuat secara hukum. Karena itu, Fauzan berfokus dalam langkah-langkah hukum yang tersedia, termasuk menjalani proses dengan likuidator di Mauritius, negara kepulauan di Afrika yang menjadi salah satu basis Hooq.
Pada kasus ini, terdapat dua direksi perusahaan yang berbeda. Hak lisensi dan aset kekayaan intelektual konten yang tayang di platform Hooq dikelola Hooq yang berbasis di Mauritius, yang 77%-nya dimiliki Singapore Telecommunications (Singtel), menurut laporan Variety pada akhir Mei.
Sementara itu, Hooq yang berbasis di Singapura lebih mengurusi infrastruktur dan operasional. Bukan hanya Fauzan dengan Bratanya, film Abracadabra yang diproduseri Ifa Isfansyah juga menjalin kerja sama dengan Hooq dalam produksinya. Seusai tutupnya Hooq, Ifa pun kini tengah menjalani proses legal untuk mendapatkan haknya. Senada dengan Fauzan, Ifa menyebut pihaknya tidak bisa menuntut di luar proses hukum.
“Dalam konteks perusahaan yang sudah menyatakan bangkrut, memang ada proses legal yang harus dijalani. Saya tidak bisa menuntut. Apakah nantinya mereka berhasil membayar 100% piutang yang saya punya? Ini juga belum ada jaminan. Saya berfokus untuk mengupayakan konten itu kembali ke saya,” papar Ifa saat dihubungi melalui sambungan telepon, Selasa (4/8).
Baik Fauzan maupun Ifa, meski telah sama-sama mengikuti prosedur legal, hingga saat ini belum menemukan titik terang terkait dengan aset konten yang diproduksi dan tayang di platform tersebut.
“Semua tampak sulit dan membuat frustrasi. Hubungan dengan likuidator di Mauritius juga tidak lancar meski kami telah mengikuti prosedur,” keluh Fauzan.
“Pandemi covid-19 juga membuat situasi semakin terbatas. Hingga saat ini, pertemuan kreditur dengan likuidator juga belum dilakukan,” tambahnya.
Ia berharap Singtel yang menjadi salah satu stakeholder dan penyokong utama Hooq, mau ikut turun tangan. Sementara itu, pada kasus Angga dengan Iflix, setelah beberapa komunikasi mentok dan tidak ada langkah konkret dari platform streaming yang berbasis di Malaysia itu, somasi ialah salah satu antisipasi Visinema sebelum perusahaan tersebut dinyatakan kolaps. Di sisi lain, juga karena belum terpenuhinya hak lisensi yang nilainya besar. Dalam beberapa pemberitaan media, termasuk South China Morning Post, melaporkan raksasa teknologi asal Tiongkok Tencentc menyepakati akuisisi sejumlah aset Iflix.
Monetisasi konten
Ifa mengatakan, dalam bisnis apa pun risikonya pasti selalu ada. Tidak terkecuali dengan hadirnya platform streaming fi lm yang kini bisa dikatakan sebagai jendela kedua distribusi film setelah bioskop, menggeser televisi.
“Namun, menurut saya, memang duaduanya harus punya proyeksi. Baik itu platform streaming-nya, ketika belanja konten harus memikirkan proyeksi monetisasi mereka. Begitu juga produser harus memiliki perhitungan,” ungkap Ifa.
Angga menambahkan, apa yang terjadi saat ini bukanlah preseden industri. Hal yang menimpa Hooq atau Iflix, ia anggap kesalahan dalam pengelolaan manajemen.
“Ini unprecedented. Persoalan Hooq, Iflix, ya, mereka tidak bertanggung jawab terhadap operasional perusahaan, bagaimana involvement perusahaan. Terlebih, Hooq yang punya basis di Mauritius, pengurusan tentu jadi lebih sulit,” papar Angga ketika dimintai keterangan, Rabu (5/8).
Apabila Ifa melihat adanya proyeksi yang tidak berjalan baik dan Angga menilai adanya kesalahan manajemen, platform streaming juga menghadapi tantangan dalam memonetisasi konten yang mereka dapatkan. Ini dilihat Fauzan sebagai risiko yang akan mengikut di belakangnya ketika produser atau rumah produksi mendistribusikan konten mereka ke platform streaming.
“Industri film menghadapi tantangan besar dengan maraknya situs pembajakan streaming yang menayangkan film dan serial secara ilegal. Khusus VOD, aktivitas pembajakan ini berimbas pada kemampuan monetasi atas investasi yang dilakukan untuk membeli lisensi konten,” katanya.
Dari riset LPEM FEB Universitas Indonesia pada 2017, menyebut ada potensi hilangnya pendapatan langsung sebesar Rp109 miliar hingga Rp940 miliar per tahun dari adanya media ilegal. Angka itu berlaku di empat kota yang menjadi subjek survei, yaitu Jakarta, Bogor, Medan, dan Deli Serdang.
Namun, publikasi terbaru Asosiasi Industri Video Asia (Avia) menyebutkan secara keseluruhan jangkauan ke situs ilegal turun 62,5% dalam kurun Agustus 2019 hingga April 2020. Di saat sama, jangkauan ke situs video legal meningkat 33%.
Sementara itu, penelitian yang dilakukan Yougov menyebut adanya penurunan hingga 55% pengakses situs ilegal di Indonesia selama 10 bulan terakhir. Publikasi ini dikeluarkan pada pertengahan Juli lalu. Sementara itu, mengutip dari laporan Bloomberg, dalam kuartal pertama tahun ini, Viu masih menjadi yang terbanyak diakses di Indonesia, disusul Vidio, dan Netflix.
Masih berharap
Meski muncul preseden, baik Angga, Fauzan, maupun Ifa, samasama masih menaruh harap pada platform streaming sebagai salah satu jendela distribusi konten mereka.
“Namun, pelaku usaha tetap harus cermat dan teliti dalam setiap produksi yang akan dilakukan,” kata Fauzan.
Sementara itu, Chief of Conten Vidio Tina Arwin menyebut dalam setiap pembelian atau akuisisi konten, platformnya selalu melakukan proses review bisnis ketat. “Setiap pembelian konten harus mencapai target penonton yang diproyeksikan,” paparnya saat dimintai tanggapan mengenai seperti apa proyeksi yang diberlakukan platform OTT, Jumat (7/8).
Vidio, yang merupakan platform streaming lokal ini mempunyai dua model bisnis. Model SVOD (subscription video on demand), mekanismenya berlangganan untuk menyaksikan kontenkonten premium. Model bisnis kedua, AVOD (advertising-supported video on demand), memungkinkan penonton mengakses konten tidak berbayar, tetapi disertai iklan selama tayangan.
Menjawab mengenai penuntasan pembayaran lisensi konten yang tayang di platform OTT, Tina menyebut perusahaannya memiliki kredibilitas finansial dari perusahaan induk mereka, Emtek. Meski muncul preseden yang terjadi ke beberapa produser dan pemilik konten,
ia menganggap para pelaku industri masih tetap akan memercayakan platform streaming sebagai salah satu jendela distribusi. Ia mencontohkan ketika Reza Rahadian melempar serialnya, Sementara, Selamanya, secara eksklusif di platform Vidio.
“Kami selalu menjalankan kewajiban terhadap partner. Di sisi lain, kami selalu melakukan review konten, baik dari segi efektivitas, kualitas, maupun cost yang dikeluarkan sebagai evaluasi untuk pembelian konten ke depannya. Demikian pula kami selalu berhitung dalam membeli konten yang tepat buat penonton kita dengan strategi yang jelas.”
“Karena yang sangat tidak diinginkan adalah efektivitas konten tersebut tidak tercapai karena faktor harga, jumlah proyeksi penonton, dan promosi yang tidak seimbang yang akhirnya tidak memberikan return yang diharapkan,” tutupnya. (M-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved