Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Liburan Virtual, Jalan-Jalan ke Bandung Tempo Dulu

Galih Agus Saputra
14/6/2020 01:15
Liburan Virtual, Jalan-Jalan ke Bandung Tempo Dulu
(MI/Seno)

SOBAT Medi pasti sudah pernah mendengar, ya, soal aturan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Aturan yang sudah beberapa bulan diterapkan di banyak kota ini berfungsi agar warga tidak banyak berkegiatan di luar rumah sehingga penularan virus korona baru (covid- 19) bisa ditekan. 

Nah, saat ini beberapa kota, termasuk Jakarta, sudah melonggarkan aturan PSBB itu sehingga orang sudah agak lebih leluasa ke luar rumah. Meski begitu, sebenarnya kita bukannya bebas bepergian untuk hal yang kurang penting. Itu karena selama belum ada vaksin dan obatnya, covid-19 tentu masih banyak menjangkiti orang.

Sebab itu juga, sobat Medi masih harus bersabar, ya, untuk tetap tinggal di rumah. Jika tidak mendesak, tidak perlu bepergian jauh, apalagi meminta liburan. Jika sobat Medi bosan, bisa juga mengikuti tur virtual yang saat ini sudah dibuat beberapa orang.

Salah satunya yang dibuat Kak Malik Ar Rahiem dari Kelompok Riset Cekungan Bandung (KRCB). Pada Sabtu (30/5), Kak Malik membuat acara Tur Virtual Geowisata Bandung Abad 19. Sesuai judulnya, kami para penonton diajak jalan-jalan ke Bandung sekitar pada 1884. 

Suasana Bandung di era kolonial itu dihadirkan Kak Malik lewat gambargambar ilustrasi tempo dulu. Tur virtual Kak Malik dimulai dari Situ Lembang hingga kembali ke Kota Bandung. Situ Lembang sekarang masih ada, tetapi tidak terbuka untuk umum karena menjadi tempat latihan Komando Pasukan Khusus (Kopassus).

Salah satu gambar yang ditampilkan ialah jalur kereta Jakarta-Bandung yang baru dibangun pada 1884. Selama kereta api belum ada, orang harus menggunakan kereta kuda jika ingin pergi dari Jakarta ke Bandung. Lamanya bisa sampai tiga hari lo!

Perjalanan dari Jakarta ke Bandung dengan kereta kuda itu juga harus dilakukan dengan menyeberang dua sungai, yakni Cisokan dan Citarum, yang dilakukan dengan menggunakan perahu.

“Jalur menyeberangi Citarum ialah jalur paling mengerikan di jalur Batavia-Bandung. Kenapa? Karena ketika turun lembah, si kereta kuda itu harus ditahan 40 orang. Sebanyak 40 orang ini harus menahan kereta menggunakan tali supaya kereta tidak meluncur ke lembah,” tutur Kak Malik.


Binatang liar

Setelah melewati jalur yang curam, tibalah kita di Curug Cimahi dan Curug Penganten. Keduanya memiliki panorama yang indah dan terbentuk dari lava Gunung Tangkuban Perahu. Tak jauh dari situ, kita kemudian tiba di Cilokotot atau yang sekarang dikenal sebagai Cimahi.

“Hutan lebat di Cilokotot banyak dilewati oleh binatang liar dan badak. Karena badannya yang besar, setapak bekas jalur badak seolah membuka hutan sehingga tanpa keberadaan hewan ini, tentu hutan Cilokotot tak bisa ditembus. Banyak rusa dan babi hutan tinggal di dataran ini.

Harimau yang besar pun tak jarang kita temui di sepanjang dataran hingga ke Citarum,” tutur Kak Malik, mengutip catatan Salomon Mueller pada 1833.

Setelah singgah di Cilokotot, Kak Malik lantas mengajak kita menyusuri jalur di sepanjang Kabupaten Batulayang. Sepanjang jalur ini terdapat salah suatu segmen Citarum menuju Curug Jompong. Segmen pinggir sungai ini dulunya disebut sebagai salah satu jalur terindah di Pulau Jawa, terutama di musim hujan. Selain Curug Jompong, ada juga Curug Lanang dan Curug Kapek yang kini sudah hilang.


Lukisan Raden Saleh

Tidak jauh dari situ atau lebih tepatnya di selatan Cianjur, ada sebuah dataran luas yang dulunya ialah tempat yang digunakan Bupati Bandung untuk berburu. Kegiatan berburu itu juga pernah diilustrasikan dalam salah satu lukisan Raden Saleh berjudul Berburu Rusa
pada 1846.

“Menariknya, sampai 1997, lukisan itu hilang. Tapi kemudian ditemukan orang Prancis di gudang rumahnya. Terus ketika dilelang, laku lagi  1 juta euro atau sekitar Rp15-16 miliar,” tutur Kak Malik.

Perjalanan dari Situ Lembang hingga Cianjur ini mungkin hanyalah setengah dari rute yang dikenalkan Kak Malik. Masih banyak tempat lainnya bersama kebudayaan dan kearifan lokal menarik yang dikenal masyarakat di dalamnya.

Di dekat Gunung Buleud, misalnya, ada warga Cililin yang dikenal sangat ramah oleh para pelancong pada zaman dahulu. Ada juga kisah Dipati Ukur. Selain itu, ada juga bebatuan indah di Gunung Padang Ciwidey.

Tak hanya indah, batubatu itu juga kerap dianggap memiliki aura tertentu. Misalnya, yang berbentuk gerbang dan panggung. Kearifan lokal yang melekat pada batu panggung itu, konon dapat dimanfaatkan sebagai tempat doa para artis agar semakin terkenal.

Sebelum kembali ke Kota Bandung, tur yang dituntun Kak Malik juga singgah di Kampung Gambung. Tak hanya indah, wilayah itu rupanya juga pernah menjadi inspirasi pengarang untuk menulis novel.

Namanya ialah Hella S Haasse dengan judul karangan Sang Juragan Teh. Beberapa tempat lain yang sempat dikunjungi ialah Kawah Patuha, Situ Patengan, Gunung Malabar, Arca di tepi Citarum, hingga Tugu Junghuhn. Menurut Kak Malik, tempat-tempat itu ialah catatan penting terkait dengan Bandung tempo dulu. (M-1)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah
Berita Lainnya