Headline
AS ikut campur, Iran menyatakan siap tutup Selat Hormuz.
Tren kebakaran di Jakarta menunjukkan dinamika yang cukup signifikan.
MICHELLE LaVaughn Robinson Obama barangkali ialah salah satu perempuan paling fenomenal di Amerika Serikat (AS) dewasa ini.
Bukan sekadar karena gaya busananya yang modis, atau ia sebagai ibu negara berkulit hitam pertama di negara tersebut. Mantan pengacara itu juga dikenal akan kecerdasan dan perannya yang signifikan semasa kampanye dan kepresidenan sang suami, Barack Obama.
Dua tahun silam, Michelle merilis buku memoarnya, Becoming, yang konon menjadi buku terlaris di AS pada 2018. Tidak mengherankan jika kemudian film dokumenternya, yang berjudul serupa, menjadi salah satu yang dinanti.
Digarap sutradara film dokumenter Nadia Hallgren, pengambilan gambar dan narasi film dilakukan sepanjang tur buku memoar Michelle di 34 kota di AS. Dalam fi lm berdurasi sekitar 89 menit tersebut, kita akan disuguhi banyak kompilasi gambar saat Michelle berbicara di depan audiens yang gegap gempita layaknya menyimak rock star.
Ada momen-momen personal, tapi jangan terlalu berharap mantan first lady ini tampil bak buku yang terbuka. Dengan mengikuti tur buku Michelle, pendekatan dokumenter serupa vlog harian yang menunjukkan rutinitas si karakter utama. Sebagai film dokumenter yang mengandalkan character driven, tentu sosok Michelle sudah kuat di benak publik dengan rekam jejaknya semasa di Gedung Putih. Becoming menampilkan sisi Michelle yang inspiratif, khususnya sebagai perempuan dan sebagai kulit berwarna di AS.
Rasialisme bukan hal asing bagi perempuan berusia 56 tahun tersebut. Kakeknya, yang disebut Michelle memiliki pemikiran yang brilian, hidup tertindas rasialisme. Tidak bisa mengoptimalkan dirinya bukan karena tidak mampu, tapi karena dianggap tidak layak berdasarkan ras dan kelas sosialnya oleh publik.
Kemudian, semasa usia sekolah, Michelle dan keluarganya termasuk golongan kelas pekerja di Chicago. Di masa itu, banyak keluarga kulit putih tidak ingin tinggal berdekatan di dekat keluarga kulit hitam. Jika ada keluarga kulit hitam yang pindah ke lingkungan baru, tutur Michelle, warga kulit putih di sekitarnya akan lekas menjual rumah sehingga makin lama mereka menepi ke tepian kota.
Perlakuan rasialis juga dialami Michelle saat ia menjadi mahasiswi di Princeton. Ibu dari teman kuliahnya meminta sang putri pindah agar tidak satu kamar dengan Michelle. Meski begitu, ujarnya, “Kita tidak bisa menunggu dunia menerapkan kesetaraan lebih dulu agar kita merasa dianggap.”
Ucapan tersebut ia lontarkan kepada seorang remaja putri berkulit hitam yang mengatakan dirinya merasa harus berjuang sendiri dan seolah tidak terlihat oleh masyarakat. Michelle lantas menambahkan bahwa sepanjang hidupnya ia tidak pernah merasa tidak terlihat. Itu antara lain karena rasa percaya diri yang ditanamkan orangtuanya. “Kau harus mencari cara sendiri untuk dilihat, didengar, dan menyampaikan suaramu,” ujarnya.
Potongan-potongan sesi perbincangan Michelle dengan anak-anak muda yang ia jumpai dalam tur bukunya cukup dominan dalam film dokumenter ini. Meneguhkan penokohan dirinya sebagai sosok yang aspiratif.
Fabrikasi
Kehidupannya dengan Barack Obama ialah salah satu hal yang ingin diketahui penggemar Michelle. Sebagai seorang istri, ujarnya, sedari awal ia tidak ingin menjadi sekadar pelengkap cita-cita suaminya. Oleh karena itu, ia berusaha menempa dirinya agar bisa sejajar dengan sang suami.
Layaknya pasangan suami-istri lain, mereka pun bukan tanpa masalah. Michelle mengaku keduanya sempat mendatangi konsultan pernikahan. Namun, meski mungkin membuat penonton penasaran, fi lm dokumenter ini tidak mengumbar lebih jauh perihal isi dapur rumah tangga keluarga Obama.
Barack pun hanya dimunculkan beberapa menit, menegaskan bahwa Becoming ialah mengenai Michelle. Barangkali perspektif ‘dunia Michelle’ itu juga yang membuat Becoming terasa difabrikasi. Halaman-halaman kehidupan yang kita simak ialah hal-hal yang dipilih Michelle.
Linimasa dalam film dokumenter ini, yang hanya membatasi pada tur memoar Becoming, juga membatasi sekat ruang pada kehidupan Michelle yang lebih utuh, meski secara rentetan peristiwanya membentang dari masa ia lulus SMA, kuliah, dan bertemu Barack, hingga pemilu. Sekuens ini dihadirkan setelah pemaparannya dalam kompilasi tur, yang berfungsi sebagai narasi untuk mengantarkan susunan gambar.
Namun, misalnya, kita tidak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi saat ia SMA. Umpama, saat guru pembimbing akademisnya mengganggap ia tidak cukup mampu untuk masuk Princeton. Kita juga tidak cukup disuguhi dinamika kehidupannya saat di Gedung Putih, kecuali bagian ketika ia menceritakan tekanan pada keluarganya untuk tampil sempurna sekaligus dapat merangkul semua.
Sejak itu, ia pun mulai ‘menata’ dalam mempresentasikan diri di depan publik sehingga lebih banyak protokol terstruktur yang harus diikuti sesuai naskah. Ini pula yang terasa pada Becoming, fi lm dokumenter dengan naskah terstruktur. Alhasil, muncul sekat dan ketidakutuhan karakter yang ditampilkan.
Kendati demikian, Becoming yang bisa disaksikan di platform Netflix ini cukup menghibur, dan mungkin Anda akan menemukan inspirasi dari perjalanan hidup Ibu Negara ke-44 AS itu. Toh seperti kata Michelle kepada Barack yang meledeknya soal koreksi materi Becoming, “Ini adalah realitas versiku.” (M-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved