Headline

Pemilu 1977 dan 1999 digelar di luar aturan 5 tahunan.

Fokus

Bank Dunia dan IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini di angka 4,7%.

Berkenalan dengan Puisi Sufi

Bagus Pradana
12/5/2020 12:27
Berkenalan dengan Puisi Sufi
Ilustrasi(123RF)

Ada yang menarik dalam obrolan daring yang sempat digelar oleh Yayasan Hari Puisi Sabtu (9/5) pekan lalu yang mengetengahkan tema 'Budak Cinta (Bucin) di Puisi-Puisi Persia'. Para penikmat sastra diajak untuk menengok sejarah perkembangan sastra di dunia, khususnya mengenai sebuah format puisi yang berkembang di kawasan Timur Tengah, yang disebut sebagai Puisi Sufi, dipandu oleh Bastian Zulyeno, pakar kajian Persia dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia.

Puisi Sufi diperkirakan telah ada sejak 820 tahun yang lalu dan memiliki ketersebaran di jazirah Arab dan Persia. Perkembangan format puisi ini banyak dikaitkan oleh para pengkajian sastra Timur Tengah dengan perkembangan spiritualitas dalam dunia Islam. Dimana kala itu, Puisi menjadi salah satu wujud ekspresi dari koten-konten spiritualitas yang coba digambarkan oleh para arif.

Terdapat dua konten utama yang biasanya termaktub dalam Puisi Sufi, pertama adalah konten nasihat yang sering kali dilayangkan oleh para arif tentang imbauan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, peribadatan, hingga kisah perjalanan dari tokoh-tokoh besar yang telah mendapatkan pencerahan.

Kemudian konten kedua adalah konten universalitas cinta, konten ini yang sering kali didaku menjadi cirikhas milik Puisi Sufi, cinta yang diterjemahkan secara luas dan indah, yang tak terbatas pada hubungan antar manusia saja. Bahkan banyak penyair sufi yang sering mengelaborasi sajak-sajaknya dengan interpretasi gambaran kerinduan untuk menegaskan konten universalitas cinta-nya ini.

"Dalam Puisi Sufi itu 'Cinta' yang dimaksud itu adalah bukan cinta yang kita pahami. Cinta yang ada dalam pemahaman para sufi ini adalah cinta yang tidak punya lawan kata. Jadi kalau cinta lawan katanya benci, nah bisa dipastikan itu bukan cinta yang coba diterjemahkan oleh para Sufi dalam format puisinya ini," papar Bastian yang juga merupakan pengajar di prodi Sastra Arab, Universitas Indonesia.

"Rumi itu pernah bilang jika kekuatan syairnya ini hanya dapat dirasakan oleh orang-orang yang mati rasa, jadi kalau sudah rasanya mati semuanya tentang semua keduniawian itu maka dia akan memahami kuatnya syair sufi tadi," imbuhnya.

Perkembangan format Puisi Sufi ini kemudian mulai menyebar keberbagai penjuru dunia seiring dengan penyebaran agama Islam. Menurut Bastian, untuk di kawasan Asia Tenggara (Nusantara) sendiri, wujud sebaran dari sastra sufi ini dapat dibuktikan dengan cukup banyaknya literatur yang berisi syair-syair Sufi yang ditemukan di sini.

"Di Nusantara sendiri, kita itu menjadi muslim kalau menurut sumber-sumber yang selama ini kita baca itu adalah dari orang-orang yang berdagang kemudian menyebarkan Islam, di antara tulisan-tulisan tadi memang ada yang bilang terdapat juga kaum Sufi yang ikut meramaikan penyebaran Islam di Nusantara. Tapi, kalau menurut saya justru kaum Sufi lah yang mendominasi Islamisasi di Nusantara waktu itu, karena hanya mereka dengan eksoterik kebatinannya itu yang lebih pas ketika berhadapan dengan penduduk Nusantara ini yang kuat juga dengan sisi mistikusnya. Dan, ini bisa kita buktikan dari syair-syair Sufi yang banyak sekali tersebar di sini," jelasnya menggambarkan persebaran sastra sufi di Nusantara.

"Untuk di Indonesia (Nusantara) yang memulainya itu tokoh bernama Hamzah Fansuri, itu tidak bisa diragukan lagi, dia adalah penyair Sufi yang karya-karyanya banyak sekali yang diterjemahkan ke bahasa lokal kita dan itu semua bercerita tentang risalah tasawuf yang ia pelajari. Risalah tasawuf ini yang kemudian menyebar dan menjadi landasan spiritualitas Islam di kita," imbuh Bastian.

Tak lupa ia juga mengingatkan bahwa 26 Juli esok merupakan Hari Puisi Indonesia yang harus diperingati oleh seluruh penikmat sastra di negeri ini, merujuk pada Deklarasi Hari Puisi Nasional yang digelar pada 2012 lalu di Riau. Para penyair yang dipimpin oleh sastrawan, Sutardji Calzoum Bachri kala itu telah bersepakat untuk menetapkan hari lahir dari sastrawan legendaris Indonesia, Chairil Anwar sebagai Hari Puisi Indonesia, meski belum mendapatkan pengakuan dari pemerintah.   

"Kita harus sadar bahwa syair itu adalah jati diri kita sebenarnya, bahwa kita bangsa yang sudah high literated, sudah lama mengenal sastra, dan puisi atau syair-syair dalam masyarakat kita itu sudah sangat kental sebagai ekspresi budaya. Itu yang perlu kita jadikan sebagai tradisi untuk berbudaya atau berkebudayaan seharusnya," pungkasnya.(M-2) 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Irana Shalindra
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik