Minggu 28 Februari 2016, 01:45 WIB

Tjutju dan Dunia Anak-Anak yang Mengkhawatirkan

Administrator | Weekend
Tjutju dan Dunia Anak-Anak yang Mengkhawatirkan

MI/ABDILLAH MARZUQI
.

 

SELINTAS, lukisan-lukisan karya Tjutju Widjaja tampaknya seperti karya seorang perupa muda yang bersemangat. Padahal, kenyataannya, ia adalah perempuan yang lebih dari setengah baya, bahkan sudah menjadi nenek dari beberapa cucu’. Begitu tulisan kuratorial Rifky Effendy yang terbaca di satu sisi dinding Cemara 6 Galeri, Jakarta. Setidaknya, tulisan yang dilapis plastik itu bertahan selama pameran tunggal Tjutju yang bertema Hear no evil, see no evil digelar pada 13-26 Februari 2016.

Tjutju memang tidak muda lagi. Usianya sekarang menginjak 74 tahun. Namun, karya alumnus Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) Universitas Maranatha, Bandung, itu seolah mencitra sebaliknya. Tjutju banyak mengambil subjek lukisan dari lingkungan sekitarnya, terlebih fenomena penggunaan gawai pada anak-anak.

Selain itu, masih menurut Rifky, karya Tjutju menunjukkan suatu perkembangan artistik. Di usia senjanya, garapan karyanya semakin menunjuk semangat muda. Lukisannya semakin punya kecenderungan ke arah pop.

Gayanya menyiratkan teknik representasional realistis yang membebaskan pelukis menggunakan berbagai media. Contohnya corak seperti foto realis dipadu teks komik serta menggunakan warna yang kuat dan cerah.

Ada petuah kuno berbunyi see no evil, hear no evil, speak no evil. Kata bijak itu difi gurkan dengan tiga kera dikenal dengan the three wise monkey. Ketiga kera itu ialah Mizaru yang menutup mata (see no evil), Kikazaru yang menutup telinga (hear no evil), dan Iwazaru monyet yang menutup mulut (speak no evil). Abad ke-17, fi gur sekaligus peribahasa itu ditemukan di pintu Kuil Tosho-go di Nikko, Jepang.

Jamak dipahami, peribahasa itu bermaksud menyatakan untuk tidak melihatkan yang bertentangan, tidak mendengarkan yang bertentangan, dan tidak mengatakan yang bertentangan. Dalam bahasa yang lebih populer maksudnya ‘cuekin aja’.

Judul tersebut ternyata juga hadir dalam pameran Tjutju. Karya instalasi Tjutju berjudul sama, See No Evil, Hear No Evil, Speak No Evil. Karya itu juga yang diangkat menjadi judul pameran, Hear No Evil See No Evil.

Karya instalasi itu menampilkan delapan puluh satu figur Buddha yang mengelilingi sebuah tablet. Figur tersebut terbagi dalam tiga macam posisi. Figur Buddha berwarna merah menutup mata. Figur Buddha berwarna kuning menutup telinga.

Baca juga: Karya Film Mahasiswa Uhamka Raih Juara PPSF 2019

Figur Buddha berwarna biru menutup mulut. Instalasi itu diletakkan di atas meja. Tepat di tengah meja, ada tablet berukuran 7,9 inci dalam kondisi menyala dan sedang memainkan game.

Karya itu dimaksudkan Tjutju sebagai sebuah pesan filosofis yang dapat menjadi salah satu alternatif solusi. Menurutnya, saat ini arus teknologi media dan informasi telah menimbulkan problem tersendiri dalam dunia anakanak.

Ia tidak memaksudkan figur Buddha sebagai ajaran. Ia hanya bermaksud untuk menceritakan asal usul filosofi tersebut. See No Evil, Hear No Evil, Speak No Evil merupakan sebuah sikap yang dapat diimplementasikan untuk menangkal setiap efek negatif yang dihadapi anak sebagai konsekuensi dari kemajuan teknologi.

Karya instalasi itu begitu mencolok sebab mengambil tempat tepat di tengah ruang pamer. Di sekelilingnya, terdapat 10 karya lukisan yang dibentang di dinding. Penempatan itu bukan tanpa alasan. Semua karya Tjutju berdimensi cukup besar, lebih dari 100 cm2. Bahkan, salah satu karya berjudul Competition berukuran 224 x 150 cm.

Lukisan ‘raksasa’ itu menggambarkan tujuh anak yang sedang berlari. Anak-anak itu sedang menghadapi tantangan dan kompetisi. Anak berlari ialah simbol dari setiap usaha yang dilakukan untuk mencapai tujuan dan cita-cita hidup.

Di depan anak-anak, ada mata satu yang berada dalam segitiga. Di sisi mata tersebut, ada dua tangan menjulur terbuka seolah bermaksud untuk menyambut para bocah tersebut. Kedua tangan itu memegang benda berbeda, air dan api. Tjutju memaksudkan mata itu sebagai tipuan-tipuan di dunia.

Baca juga: Metrotvnews.com Bagikan Beasiswa

Kedua benda di tangan itu dimaksudkan sebagai pertanda dari keburukan dan kebaikan. Ketika yang diulurkan ialah tangan berisi air menyejukkan, itu sebenarnya ialah keburukan yang bakal menjerumuskan. Api malah sebaliknya, ialah hal yang menyejukkan dalam hakikatnya.

Ia merepresentasikan belajar, bekerja keras, dan disiplin dengan simbol api. Kesepuluh karya Tjutju memang bernuansa anakanak. Itulah yang menjadi fokus Tjutju. Ia berangkat berkarya dari kekhawatiran terhadap perilaku cucunya yang terkena dampak dari kemajuan teknologi. Gawai telah membuat mereka larut dalam permainan virtual (game). Kondisi itu ditambah lagi dengan beratnya beban sistem pendidikan. (Zuq/M-4)

Baca Juga

Keegan BARBER / NASA / AFP

NASA Sukses Bawa Sampel Asteroid besar Pertama Kali ke Bumi

👤Adiyanto 🕔Senin 25 September 2023, 08:11 WIB
Para ilmuwan mengatakan sampel tersebut akan memberikan pemahaman yang lebih baik tentang pembentukan tata surya kita dan bagaimana bumi...
HO

Angelina Jusuf Surprise Booth UMKM Dikunjungi Kapolri

👤Widhoroso 🕔Minggu 24 September 2023, 17:15 WIB
MENJADI salah satu peserta pameran Kreasi Bhayangkari Nusantara 2023 dan UMKM di Jakarta Convention Center (JCC) 20-24 September 2023,...
AFP/MENAHEM KAHANA

Karang di Laut Merah Terancam oleh Kematian Bulu Babi yang Misterius

👤Adiyanto 🕔Minggu 24 September 2023, 16:25 WIB
Kematian massal serupa juga pernah menimpa spesies bulu babi di...

E-Paper Media Indonesia

Baca E-Paper

MI TV

  • Presiden PKS Buka-Bukaan Soal Pasangan Amin

    Berikut petikan wawancara khusus wartawan Media Indonesia Ahmad Punto, Henri Salomo, Akhmad Mustain, dan Rifaldi Putra Irianto di kantor DPP PKS, Jakarta, Kamis (21/9/2023).

Selengkapnya

Berita Terkini

Selengkapnya

BenihBaik.com

Selengkapnya

MG News

Selengkapnya

Berita Populer

Selengkapnya

Berita Weekend

Selengkapnya