Headline
Pemilu 1977 dan 1999 digelar di luar aturan 5 tahunan.
Bank Dunia dan IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini di angka 4,7%.
PADA Mei 2017, La Ode Ajiju, salah seorang pegiat kabanti di Kepulauan Wakatobi, Sulawesi Tenggara, meninggal dunia karena sakit. Semasa hidup, ia dikenal sebagai sosok pelantun kabanti yang cukup populer. Lirik-liriknya yang pasaran dan dibumbui kisah percintaan, menjadikannya sebagai salah satu pelantun kabanti yang sangat digemari. Tiap kali menggelar kabanti, warga selalu ramai menghadiri lokasi pertunjukan.
Kabanti adalah nyanyian tradisional, berisi ungkapan hati, nasihat, adat-istiadat (budaya), dan sebagainya. Sebagai sebuah tradisi lisan, siapa saja dapat menyanyikannya, laki-laki atau perempuan. Tidak ada pengkhususan usia, kasta atau marga, siang atau malam. Tradisi lisan ini dapat dilantunkan siapa saja, di mana saja, dan kapan saja.
Sebagai sebuah tradisi lisan, kabanti dinyanyikan secara spontan, baik perseorangan maupun berbalasan. Nyanyian tradisi ini akan menjadi lebih menarik jika diiringi musik khas, yakni musik gambus, biola, gendang atau rebana, dan alat bunyi-bunyian lainnya.
La Ode Ajiju dan pegiat kabanti lainnya hidup dalam keterbatasan ekonomi. Hidup mereka semata bergantung pada ada-tidaknya masyarakat yang membutuhkan jasanya untuk melantunkan kabanti. Jika dalam satu bulan tidak ada yang mengundangnya untuk menghibur masyarakat, ia dan keluarganya harus bersusah payah mencari pinjaman uang agar dapat mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.
Sekali pertunjukan, pegiat kabanti biasanya menerima upah sebesar Rp700.000—Rp1.000.000. Jumlah itu akan dibagi kepada pemain gendang atau rebana. Biaya itu digunakan untuk membiayai kebutuhan hidup rumah tangga, merawat alat musik, dan biaya operasional lainnya.
Menjadi pegiat kabanti bukanlah pilihan hidup yang dapat membantu meningkatkan taraf ekonomi. Bagi mereka, melestarikan kabanti disebabkan oleh kecintaan dan ikatan kultural yang kuat terhadap tradisi bertutur itu. Biasanya, orangtua mereka ialah pegiat kabanti juga.
Warisan budaya
Pemerintah pusat melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) bersama Asosiasi Tradisi Lisan telah menaruh perhatian serius terhadap tradisi lisan kabanti. Pada 2010, salah seorang pegiat kabanti yang bermukim di Pulau Wangi-Wangi, Kabupaten Wakatobi, bernama La Ode Kamaluddin, telah ditetapkan sebagai maestro kabanti. Penetapan tersebut didasari dedikasi atas segala upayanya melestarikan tradisi lisan tersebut. Pemerintah pusat mengapresiasi komitmen dan dedikasi itu memalui penghargaan dan sejumlah dukungan lainnya.
Penetapan maestro tersebut bertujuan memacu masyarakat dan pemerintah daerah untuk aktif melestarikan kabanti sebagai salah satu khazanah kebudayaan Nusantara. Kabanti diharapkan menjadi kebudayaan lisan yang tetap hidup dan memberi guna bagi masyarakat pendukungnya.
Namun begitu, kebijakan Kemendikbud itu belumlah berdampak signifikan bagi pelestarian kabanti. Pasalnya, pemerintah daerah belum menempatkan kebijakan melestarikan dan mengembangkan kesenian itu sebagai program utama pengembangan tradisi lisan.
La Ode Kamaluddin pun terus bergerilya mengajak masyarakat untuk melestarikan kabanti. Faktanya, hajatan-hajatan masyarakat yang memberi ruang pada pertunjukan itu semakin terbatas.
Beberapa pandangan mengenai perlunya pelestarian kabanti. Pertama, kabanti menjadi medium penyampai pesan, ruang ekspresi sopan dan santun masyarakat. Pada fungsi pertama itu, kabanti menjadi medium untuk mengungkapkan perasaan kepada pihak lain, baik kepada sesama warga maupun kepada pemerintah. Pesan disampaikan dengan menggunakan diksi-diksi yang sopan dan halus.
Kedua, pertunjukan kabanti menjadi penyambung hiburan, terutama bagi masyarakat berusia 50 tahun ke atas. Pertunjukan kabanti populer terutama pada 1970-an dan masa-masa sebelumnya. Kala itu, penikmatnya dari berbagai kalangan, tua dan muda. Belakangan, penikmat kabanti hanyalah mereka yang telah berusia di atas 50 tahun.
Sebabnya, panggung hiburan masyarakat tergantikan kehadiran grup band. Sejak itu kabanti menyepi, penikmatnya kehilangan ruang. Ketika kabanti kembali digairahkan, penikmatnya yang rata-rata berusia tua berpesta menyambutnya. Pernah pada suatu daerah di Wakatobi, selama 33 malam, masyarakat menggelar pertunjukan kabanti, berpindah dari satu kampung ke kampung lainnya.
Ketiga, pertunjukan kabanti menjadi ruang interaksi dan silaturahim sesama warga. Kabanti hadir sebagai ruang interaksi bersahaja. Kalangan tetua yang jarang bersua, kembali membangun interaksi di ruang-ruang pertunjukan kabanti.
Keempat, pertunjukan kabanti memiliki fungsi ekonomi. Kabanti selain menjadi ruang budaya, juga memiliki fungsi ekonomi bagi pegiatnya. Pegiat kabanti menggantungkan hidup dari hasil menggelar kabanti. Setiap saat pegiat kabanti berharap ada masyarakat yang memerlukan jasa mereka. Semakin banyak masyarakat yang membutuhkan pertunjukan kabanti, dapur pegiat kesenian ini akan terus ngebul.
Wakatobi yang kini menjadi salah satu tempat pariwisata dunia, kini semakin riuh dengan aneka hiburan. Sejumlah tari tradisi dan tari kreasi dihadirkan ke panggung-panggung pariwisata. Acara masyarakat yang biasanya mempertunjukkan kabanti, mulai berganti ke pertunjukan tari dan musik.
Pemerintah daerah menyelenggarakan pelatihan-pelatihan bagi pegiat tari. Tari kreasi baru bermunculan. Mereka mewarnai panggung-panggung hiburan. Di sisi lain, suara kabanti semakin senyap. Panggung hiburan rakyat itu, benar-benar menyepi. Salah seorang pegiat kabanti yang cukup populer, La Ode Ajiju, pun telah berpulang, sedangkan yang lainnya, ada yang memilih menjadi tukang ojek agar dapur tetap ngebul. (M-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved