Headline
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.
Bagi Raja Batu Parlindungan Sinambela, Sisingamangaraja XII ialah sosok yang sangat berwibawa, dan mengayomi seluruh warganya dengan sungguh bijaksana. Tak hanya itu, ia juga selalu memperjuangkan kepentingan bersama, dan tidak pernah rela jika warganya dinistakan oleh pemerintah pada zaman Hindia-Belanda.
Raja Batu ialah cucu Sisingamangaraja XII, atau anak dari bungsu Sisingamangaraja XII yang bernama Raja Barita Sinambela. Pada Jumat (28/2) lalu, Media Indonesia sempat menemuinya di Museum Nasional Indonesia, Jakarta, di sela-sela 'Sarasehan Membangun Identitas Jati Diri Bangsa Melalui Sejarah: Delaatste Sisingamangaraja (Sisingamangaraja Terakhir)'.
Dalam sarasehan itu pula, diskusi juga mengarah pada rencana pembuatan film biopic Sisingamangaraja XII. Kisahnya perlu diangkat, karena menurut Raja Batu, banyak nilai heroik sang raja yang dapat menjadi inspirasi kehidupan bangsa.
"Dia berapa kali ditawari Belanda untuk menjadi sultan? Didukung dengan berbagai fasilitas, tetapi tidak mau. Dia bilang lebih baik 'saya gugur daripada harus bernegosiasi dan mengorbankan rakyat'. Perjuangannya lama, 30 tahun, dua putranya ikut gugur, putrinya juga," tutur Raja Batu.
Selain Raja Batu, diskusi pembuatan film biopic Sisingamangaraja XII turut dihadiri Perwakilan Adventure Documentary Festival (APFA), Astryd Diana Savitri, Perancang Produksi, Adrianto Sinaga, serta Sutradara, Edmond Waworuntu.
Menurut Diana, sarasehan kali ini menjadi kesempatan yang berharga karena dapat menjadi media pembelajaran umum, sekaligus upaya memperjuangkan amanah para leluhur. Perjuangan amanah itu pada kesempatan selanjutnya, selain dapat dikemas melalui literasi juga dapat melalui perangkat audio visual sehingga semakin menarik, menghibur, dan tak meninggalkan esensinya yaitu penyampaian informasi.
Menanggapi rencana tersebut, Adrianto yang beberapa waktu lalu sukses membawa 'Wiro Sableng' meraih 'Tata Artistik Terpilih' dalam 'Piala Maya 2019' menjelaskan bahwa apa yang tak kalah menarik dari sosok Sisingamangaraja XII ialah kisahnya sebagai manusia biasa bersama cara hidupnya. Hal itu juga berkaitan dengan upaya menggali identitas bangsa, di tengah terpaan budaya atau segala sesuatu yang berhubungan dengan 'dunia luar'.
"Apa yang paling esensi dari film Sisingamangaraja menurutku adalah menggali lagi, bagaimana orang Batak hidup di zaman dahulu, bahkan sejak era sebelum Belanda masuk. Dan dari sejarah, ada banyak sekali versi cerita yang kita dengar, nah ini menjadi tantangan untuk kita bagimana membentuk cerita sehingga dapat menjadi acuan dan masuk dalam pemahaman orang-orang yang selama ini mengenal Sisingamangaraja," tuturnya.
Menyoal tata visual, lanjut Adrianto, inisiator barang tentu sudah tidak perlu pusing memikirkannya. Sebab ia yakin bahwa Indonesia sudah memiliki begitu banyak pembuat film dengan jam terbang dan kualitas yang mumpuni. Terlebih, lanksap di Indonesia juga sangat indah sehingga dapat menjadi nilai lebih dalam film.
"Kalau mau, Danau Toba diambil dari atas menggunakan drone saja sudah indah," tutur pria yang juga berperan sebagai Pengarah Artistik dalam 'A Man Called Ahok' itu.
Sementara itu, Edmond dalam paparannya menjelaskan bahwa tantangan membuat film biopic pada dasarnya terletak pada ekspektasi. Terlebih sosok Sisingamangaraja XII dewasa ini dikenal dalam dua sudut pandang yaitu sebagai leluhur Batak dan Tokoh Nasional. Maka dari itu pula, dewasa ini banyak sekali orang yang telah mempelajari kepribadiaannya, bahkan tak jarang menjadikannya sebagai panutan.
Dalam kondisi demikian, lanjutnya, tidak bisa disangkal jika kemudian banyak orang yang bertanya-tanya tentang kehadiran sosok Sisingamangaraja XII dalam sebuah film. Oleh karena itu, apa yang menjadi 'PR' pembuat film ialah, apakah ia akan membela ekspektasi orang-orang yang sudah 'dekat' dengan Sisingamangaraja XII atau memberikan sesuatu yang belum dikenal.
"Lalu yang tidak kalah penting, ketika kita mengangkat tokoh lokal, asumsi yang muncul biasanya ini hanya untuk konsumsi lokal. Distribusinya kemudian hanya di Jawa dan beberapa daerah sekitarnya, tetapi sebenarnya tidak ada salahnya jika kita mencoba distribusi yang lebih luas. Tokoh bisa jauh lebih banyak dikenal, bahkan mendunia," tutur pria berkacamata, peraih nominasi 'Film Dokumenter Terpilih' untuk film 'Rock in Solo' di ajang 'Piala Maya 2013' itu. (M-2)
BACA JUGA: Warisan dari Kopi Jawa
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved