Headline

AS ikut campur, Iran menyatakan siap tutup Selat Hormuz.

Fokus

Tren kebakaran di Jakarta menunjukkan dinamika yang cukup signifikan.

Revisi UU untuk Keamanan Nuklir

Galih Agus Saputra
01/3/2020 03:30
Revisi UU untuk Keamanan Nuklir
Jazi Eko Istiyanto(MI/Adam Dwi)

TEMUAN kontaminasi radioaktif di Perumahan Batan Indah, Serpong, tidak hanya menuntut pengungkapan dan penindakan pelaku. Masyarakat juga mempertanyakan mengenai pengawasan terhadap pemanfataan radioaktif.
Lalu bagaimana Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) menjawab itu dan juga terkait hal-hal lain seputar keamanan pemanfatan nuklir, berikut wawancara Media Indonesia dengan Kepala Bapeten Jazi Eko Istiyanto di kantornya, Jakarta, Jumat (21/2).

Sudah banyak diungkapkan jika temuan radiasi di Perumah­an Batan Indah berawal dari pemantauan lingkungan di target uji fungsi.
Bagaimana sebenarnya penentuan wilayah-wilayah target uji fungsi ini?
Iya, uji fungsi itu karena memang alat itu (survey meter) pengadaan sudah lama tahun 2013, jadi di-maintenance. Setelah diperbaiki, kemudian sebelum bisa dipakai dia harus diuji fungsinya.
Jadi, mekaniknya mencoba dulu sebelum menyerahkan ke kita karena dia di sekitar reaktor nuklir di Serpong, jadi dicoba di sana. Namun, saat lewat Batan Indah, terdeteksi (radiasi), jadi mereka masuk (ke perumahan).

Ada berapa banyak wilayah di Indonesia yang ditetapkan sebagai target uji fungsi?
Karena kita masih bertumpu pada keselamatan, bukan keamanan, jadi kita melihatnya kelemahan-kelemahan desain (reaktor). Kalau keamanan nuklir itu (faktor), ada aktor jahat yang dia mencoba mengganggu. Karena kita masih keselamatan nuklir, yang kita lihat itu, ya, di sekitar reaktor nuklir, ada tiga tempat, Serpong, Bandung, dan Yogyakarta. Pemantauan di tempat itu digilir.

Bagaimana sebenarnya per­izin­an impor dan transportasi bahan radioaktif?
Karena dia (bahan radioaktif) tidak ada di alam dan kalau dibuat dalam negeri, yang membuat harus dari reaktor nuklir, dan kita mengawasi impor. Jadi, impor zat radioaktif atau bahan nuklir ke dalam negeri Indonesia itu harus berizin dari Bapeten.

Kemudian, perjalanannya dari pelabuhan ke kantor dia atau ke industri dia, itu juga harus dengan izin Bapeten. Kemudian pemanfaatannya itu juga harus ada izin dari Bapeten. Kemudian setelah lama dipakai, dianggap sudah menjadi sampah atau waste, itu pelimbahannya juga harus dengan izin Bapeten.

Jadi, semua itu tercatat oleh Bapeten. Kalau dia dilimbahkan di Batan, Batan juga akan mencatat dan melaporkan ke kita bahwa limbah itu apa saja. Kita menyebutnya pengawasan from cradle to grave. Jadi, sejak dia muncul, dari dia impor sampai kemudian dia tidak digunakan lagi, itu harus tetap diawasi.

Berarti semua limbah radioaktif harusnya ke Batan?
Ada dua opsi: satu, bisa menyimpan di Batan; yang kedua mengembalikan ke negara asal. Dia mungkin impornya dari negara X begitu, ya, kita reekspor lagi ke negara X. Jadi, nanti yang mengelola adalah perusahaannya yang dulu atau badan nuklirnya negara itu.

Jadi, secara internasional itu sampah nuklir dikelola. Ada aturan-aturan internasional tentang ini, termasuk penggunaannya, transportasinya, importasi­nya, dan sebagainya.

Sejauh ini seberapa banyak impor radioaktif dan untuk industri apa saja?
Kalau yang kita catat adalah sesium (Cs 137). Sesium itu ada 2663 izin, itu yang ada di industri. Dan itu adalah 40% dari sumber radioaktif yang ada izinnya di kita. Jadi, kira-kira totalnya adalah 6559 atau berapa, itu 40%-nya jadi 2663.

Pengguna nuklir itu industri kesehatan, misalnya, di bagian radiologi, pesawat sinar-x, kemudian industri kertas, itu mengukur tebalnya kertas menggunakan sesium.

Selain di Batan Indah, kemudian pada 2017 rencana ancaman ledakan nuklir oleh kelompok teroris di Bandung, adakah kasus serupa lainnya?
Kita sebenarnya punya catatan-catatan yang mungkin dari pelabuhan dan sebagainya kalau ada orang yang membawa sesuatu yang terdeteksi sebagai radioaktif.

Misalnya, pada 2019, itu di Batam ada yang namanya plastik itu mengandung Cs 137, tetapi tidak tinggi. Kita menurunkan orang ke sana, tetapi itu tidak tinggi, jadi tidak kita anggap sebagai suatu masalah. Namun, kalau diukur, ya, itu sebagai perhiasan kan menempel terus, tapi itu juga sudah kita katakan untuk jangan digunakan.

Belajar dari kasus-kasus itu, apakah ada langkah perbaikan pengawasan dari Bapeten?
Oh iya, di antaranya sudah menyiapkan revisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran. Undang-undang Nomor 10 itu masih berpusat pada keselamatan nuklir, belum menyinggung kemananan nuklir. Sementara itu, kasus yang ada di Batan Indah itu di luar pemegang izin. Kita menyebutnya Out of Regulatory Control dan itu masuk dalam keamanan nuklir. Maka, untuk memberi landasan hukum bagi tindakan-tindakan kita, untuk masuk ke kawasan keamanan nuklir, itu harus ada revisi UU.

Yang kedua adalah perbaikan perizinan. Jadi, kita sudah menerapkan perizinan berbasis daring dan perkantoran kita itu sudah sedikit sekali menggunakan kertas sehingga alhamdulillah pada 2018, Bapeten itu juara 1 untuk sistem pemerintahan berbasis elektronik. Jadi, dengan perbaikan sistem IT, proses izin itu jadi cepat.

Lalu, kalau orang tidak patuh dengan peraturan nuklir, lalu ditangkap, dibawa ke pengadilan, mungkin dendanya maksimum Rp100 juta dalam bentuk nominal. Namun, dari kasus-kasus yang inkrah di Bapeten, dan ini info yang ada di Bapeten dari mereka yang pemegang izin atau pemanfaatan yang tidak berizin itu pernah ada yang dendanya hanya Rp5 juta.

Namun, harap diingat bahwa dengan denda yang kecil itu dalam proses peradilan semua alatnya disita. Kalau alatnya disita, dia tidak bisa berbisnis. Out of bussines, ruginya berkali-kali lipat dan mungkin juga itu dia akan mendapat reputasi yang buruk di masyarakat. Misalnya, itu rumah sakit yang kena kasus, lalu orang kan takut.

Kemudian kita juga akan meningkatkan infrastruktur. Kita akan menambah banyaknya detektor, meningkatkan kompetensi inspektur. Jadi, setiap Minggu itu ada orang-orang Bapeten pergi ke Wina, ke Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) untuk mengikuti training.
Training ini ialah bagian-bagian dari pengawasan.
IAEA selalu melihat berbagai aspek. Ada regulatory review, emergency privatnes, ada banyak sekali, termasuk training kita, pengelolaan waste, itu semua di-review oleh sana karena kita ingin bahwa Indonesia ini benar-benar aman dari bahaya radiasi nuklir.

Bisa jadi kasus di Batan Indah ini semakin membuat masyarakat ragu akan kinerja badan-ba­dan terkait pemanfaatan nuk­lir, terlebih soal wacana pem­­bangunan Pembangkit Listrik Te­naga Nuklir. Bagaimana Anda men­jawab hal ini?
Ketika tanggal 30 atau 31 Desember itu radiasi ditemukan tinggi, itu di meterannya 200 mikrosievert per jam. Kemudian tanggal 17, yang saya ingat datanya itu 29 mikrosievert per jam, tanggal 30 itu sudah jadi 13 mikrosievert per jam.

Kemarin, sudah jadi 7 mikrosievert per jam. Itu yang di hotspot-nya. Yang dilingkarannya itu sudah normal semua, 0,02, lalu 0,05 mikrosievert per jam. Itu sudah normal.

Kita juga sudah mendapat data sembilan orang di sekitar situ, itu ditemukan 2 orang yang terdeteksi radiasinya itu relatif tinggi. Namun, relatif tinggi itu hanya 5% dan 12% dari batas dosis setahun. Ini akan cepat berkurangnya. Air juga tidak terkontaminasi. Sudah dibuktikan juga tidak ada kontaminasi di situ. Yang terkontaminasi mungkin pohon, mungkin buah yang ada di situ. Jadi, ini saya bisa katakan aman, tidak ada persoalan di situ.

Jadi, apa yang kita lakukan ini tidak lebih rumit dari sekadar mengeruk tanah dan kemudian tanahnya kita pindahkan ke Batan. Kalau tanahnya sudah bersih, di situ bersih, tidak ada persoalan lagi.

Kejadian di Batan Indah ini juga bukan kecelakaan nuklir. Orang mengatakan ini seperti di Fukushima, seperti di Chernobyl, ya, wajar karena reaktor nuklir mengandung Cs 137. Namun, derajatnya tidak seperti di Chernobyl. Jadi, sudah saya katakan bahwa ini orang-orangnya ada yang terpapar, tapi hanya 5% dan 12%, dan ini sebentar lagi akan meluruh, jadi ini tidak sama dengan Chernobyl atau Fukushima.

Nah, kalau PLTN itu, mudah-mudahan jadi pembelajaran untuk masyarakat juga bahwa kita bisa menangani itu. PLTN nanti akan duduk di satu tempat. Jadi, inspektur Bapeten akan rutin melihat itu.

Pemantauan reaktor sendiri selama ini seperti apa?
Reaktor nuklir yang ada di Serpong itu, kita sensor, kita pasang detektor, jadi nanti kalau ada peningkatan radiasi, kita langsung tahu dan langsung kita tangani apa penyebabnya sebelum dia menyebar.

Selama ini kita tidak melihat lonjakan-lonjakan yang berarti. Selama saya menjadi kepala pada 2014 sampai hari ini, reaktor di Serpong itu tidak menunjukkan operating condition yang mengkhawatirkan. Kemudian masyarakat silakan diputuskan sendiri apakah PLTN itu berbahaya atau tidak.

Namun, saya juga menyebutkan bahwa Integrated Regulatory Review Services IAEA 2015, kita dikunjungi 22 orang ahli dari IAEA, yang me-review sistem pengawasan kita dan sudah ada follow up 2019 lalu sejak mereka melihat temuan-temuan di 2015 sudah kita tindak lanjuti, bahkan ada yang mereka nilai sebagai best practice. (M-1)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah
Berita Lainnya