Headline

Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.

Fokus

Sejumlah negara berhasil capai kesepakatan baru

Vania Santoso Gara-Gara Rumah Kebanjiran

(Bus/M-4)
22/2/2020 04:15
Vania Santoso Gara-Gara Rumah Kebanjiran
(MI/SUMARYANTO BRONTO)

VANIA Santoso atau yang akrab disapa Vania ini merupakan seorang gadis yang menjadi satu-satunya wakil Indonesia pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim di New York, Amerika Serikat, yang diselenggarakan PBB pada September tahun lalu. Ia terpilih bersama 100 pemuda lainnya bertemu dengan para pemimpin dunia memberikan rekomendasi untuk menghadapi perubahan iklim.

Dalam kesempatan itu, Vania berpesan untuk mengurangi penggunaan plastik dan memperbaiki sistem pengolahan sampah plastik melalui penerapan mekanisme daur ulang yang lebih kreatif dan inovatif. Menurut Vania, kegiatan sederhana seperti mendaur ulang limbah plastik menjadi produk lain justru lebih berdampak daripada pengolahan yang diorientasikan untuk menghancurkan sampah hingga tak bersisa.

"Saya menjadi satu-satunya delegasi muda Indonesia yang mengikuti Konferensi Tingkat Tinggi PBB Climate Action Summit dengan green ticket dari UN Foundation. Saya terpilih dari 7.000 pendaftar di dunia," ungkap Vania, menceritakan pengalamannya menjadi salah satu peserta termuda dalam helatan KTT Perubahan Iklim 2019.

Keresahan perempuan 28 tahun ini mengenai persoalan lingkungan yang terjadi di Indonesia tidak terlepas dari pengalaman masa kecilnya, ketika 2004 banjir besar merendam Kota Surabaya. Kala itu, Vania kecil harus menyaksikan rumahnya tenggelam akibat genangan air yang cukup tinggi.

"Sebenarnya kitalah yang menyebabkan banjir karena membuang sampah sembarangan," tukas Vania.

Setahun setelah peristiwa tersebut, Vania pun tergerak untuk menginisiasi sebuah proyek sosial bersama sang kakak, Agnes, yang mereka ikutkan dalam kompetisi lingkungan hidup internasional Volvo Adventure 2007 di Swedia. Proyek tersebut mereka beri nama Useful Water for A Better Future. Dari ajang tersebut mereka meraih pendanaan untuk pengembangan proyek lingkungan senilai US$10.000, yang mereka pergunakan untuk membangun komunitas pencinta lingkungan dan memulai bisnis sosial pengolahan sampah plastik.

"Sampah plastik yang menyebabkan banjir, kami olah menjadi produk fesyen bernilai tinggi, seperti tas, dompet, keranjang belanja, dan lain sebagainya," terang Vania.

Kini, lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga, Surabaya, ini sedang fokus menjalankan usaha socio-entrepreneur di bidang fesyen, yang pada 2015 ia beri nama Heystartic. Nama brand tersebut merupakan akronim dari start being exotic and ethical.

Saat ini, bisnis sosial yang dimulai Vania ini telah berkembang pesat. Label Heystartic yang ia rintis sejak 2015 tersebut bahkan kini telah banyak dikenal. Vania bahkan mampu mempekerjakan kelompok kreatif yang terdiri atas ibu-ibu kader lingkungan di Surabaya. Ia juga rutin mengadakan pelatihan soft skill tentang inovasi daur ulang, termasuk juga strategi pemasaran produk kepada warga masyarakat di tiga daerah, yaitu Surabaya, Sidoarjo, dan Gresik. Selain itu, Vania juga melibatkan anak-anak muda dalam tim manajemen Heystartic sebagai relawan untuk berbagai kegiatan sosial yang ia inisiasi.

"Jadi yang support workshop kita adalah anak-anak muda dari SMA hingga kuliahan. Mereka bisa jadi supervisor di daerah mereka, plus kalau ada workshop mereka juga bisa jadi pelatihnya," ungkap Vania.(M-4)

Melalui brand fesyen Heystartic yang ia rintis, Vania ingin mempromosikan gaya hidup ramah lingkungan lewat fesyen. Ia bahkan kerap mempresentasikan produk-produk fesyen daur ulangnya ke berbagai forum internasional. Akhir tahun lalu bahkan Vania terpilih sebagai Duta Pemuda Kreatif dari Kemenpora dan berkesempatan untuk melakukan kunjungan ke Jepang, mempromosikan produk Heystartic bersama produk-produk kreatif karya pemuda Indonesia lainnya.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Triwinarno
Berita Lainnya