Headline
Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.
Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.
Kawasan Pegunungan Kendeng kritis akibat penebangan dan penambangan ilegal.
ASPEK penting di antara program Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) di bawah kepemimpinan Menteri Nadiem Makarim ialah karakter. Karakter diposisikan sebagai salah satu faktor kualitas dan keunggulan sumber daya manusia (SDM). Tanpa karakter, suatu bangsa tidak akan memiliki daya saing dalam persaingan global sehingga akan selalu tertinggal dan tergilas.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), karakter adalah tabiat; sifat-sifat kejiwaan; akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain; watak. Jadi, kalau merujuk pada definisi ini, 'roh' karakter itu ialah pada akhlak atau budi pekerti.
Dalam konteks kebangsaan, persoalan karakter itulah yang menjadi keprihatinan kita. Bangsa ini, termasuk para pemimpin dan elitenya, banyak yang tidak berkarakter sehingga tidak sedikit yang berperilaku menyimpang dan bahkan merongrong negara.
Kunti Talibrata
Pentingnya karakter itulah yang sepenuhnya disadari Kunti Talibrata dalam cerita wayang. Ibu single parent ini menjadikan karakter sebagai menu utama dalam mendidik anak-anaknya. Dengan langgam kasih sayang, Kunti berhasil membangun karakter putra-putranya menjadi para insan kamil yang menjadi mercusuar penghuni marcapada.
Sejak dini, Kunti menggulawentah putra-putranya dengan nilai-nilai dasar keutamaan. Budi pekerti ditanamkan dalam-dalam. Ia pun meneladani serta menunjukkan mana baik dan yang tidak baik.
Kunti ialah permaisuri Raja Astina Prabu Pandu Dewanata. Dari pernikahan mereka lahir tiga putra, yaitu Puntadewa, Bratasena, dan Permadi. Selain ketiga anak itu, Pandu masih memiliki anak kembar dari istri kedua, Madrim. Kedua anak itu bernama Tangsen dan Pinten.
Kodratnya, Pandu tidak berusia panjang. Ia bersama Madrim mendahului ke alam baka ketika kelima putranya masih kecil-kecil. Kunti lalu menjadi orangtua tunggal. Selain ketiga anak kandungnya, Kunti juga momong kedua anak tiri yang ia sayangi seperti darah dagingnya sendiri.
Berdasarkan paugeran<> (aturan) negara, kelima anak Pandu, yang kemudian dikenal dengan sebutan Pandawa, ialah pemilik hak waris takhta Astina. Namun, kekuasaan atas negara tersebut dirampas Kurawa, putra-putri uaknya Pandawa, Drestarastra-Gendari.
Bukan hanya hak konstitusionalnya yang dirampok, Pandawa juga terusir dari istana, tempat kelahiran atau rumahnya sendiri. Tidak berhenti di situ, Pandawa terus-menerus menjadi target pembunuhan Kurawa yang dimentori pamannya, Sengkuni. Namun, garis hidupnya Pandawa selamat.
Eloknya, Kunti justru menjadikan lelakon pahit yang tiada henti mendera Pandawa itu sebagai wahana mendidik kelima anaknya. Menurut dia, kekuasaan atau kenikmatan dunia ialah palsu dan fana. Ada nilai kehidupan sejati dan hakiki yang mesti mesti digayuh.
Maka itu, tidak aneh bila Pandawa tidak memiliki keinginan untuk melawan atau memerangi Kurawa demi kembalinya kekuasaan Astina. Bagi mereka, itu saru (tidak pantas) berselisih hanya karena urusan duniawi. Mereka mengalah dengan sesanti wong ngalah dhuwur wekasane, orang mengalah akan mendapatkan kebaikan di kemudian hari. Ini benar-benar terbukti pada akhir riwayatnya.
Kualitas pribadi
Oleh karena itu, meski hidupnya kedharang-dharang (terlunta-lunta) dari hutan ke hutan lain, Pandawa tidak sedikit pun merasa susah atau sengsara. Mereka menjalaninya dengan ikhlas. Hidup terasing dan kurang sandang-pangan yang bagi kebanyakan orang sangat menyusahkan, mereka jalani sebagai gelanggang menggeladi diri.
Laku seperti itulah yang kemudian memunculkan kisah-kisah melegenda yang menghiasi sejarah perjalanan hidup mereka. Misalnya, ketika Pandawa menolong warga Dusun Manahilan lepas dari cengkeraman ketakutan karena bakal menjadi mangsa Raja Giripura Prabu Baka.
Pada saat itu, Kunti dan Pandawa sedang menebeng hidup di rumah Demang Ijrapa. Setelah mendengar penjelasan tuan rumah bahwa Baka suka makan daging rakyatnya sendiri, Kunti memerintahkan Bratasena menghentikan nafsu kanibal Baka. Dikisahkan, Baka akhirnya tewas dan Irjapa beserta seluruh warga di Manahilan dan Giripura kembali hidup tenteram.
Peristiwa lain yang luar biasa terjadi ketika Permadi menjadi petapa bernama Ciptaning atau Mintaraga di Gunung Indrakila. Saking genturnya bersemedi, daya spriritualisnya sampai menembus kayangan. Malah, pemimpin dewa Bathara Guru kemudian mengangkat Ciptaning sebagai jagonya dewa menenteramkan kayangan dari jarahan raksasa Niwatakawaca.
Ciptaning dari kata cipta dan ning. Cipta berarti harapan menjadi, ning dari kata hening yang artinya suci. Jadi, makna Ciptaning ialah membebaskan diri dari kotornya nafsu duniawi, sedangkan Mintaraga aslinya dari kata witaraga. Wita artinya memisah, raga berarti badan kasar (kotor). Maknanya kurang lebih membersihkan diri dari segala dosa.
Kisah hebat lain ketika Bratasena menjadi Begawan Bimasuci di kaki Gunung Indrakila. Sebelum menjadi 'orang suci', Bratasena mengalami proses spiritual panjang dan mendalam ketika teguh tekun mencari ilmu sangkan paraning dumadi, tentang asal muasal hidup.
Bratasena dikisahkan bertemu dengan dirinya sejati yang digambarkan dengan sosok Dewa Ruci. Dari 'utusan' itulah, Bratasena mendapatkan ilmu yang dicari guna meniti hidup menuju ke kehidupan yang sempurna.
Pada sisi lain, di masa-masa hidup prihatin itu, Pandawa juga dikisahkan mendapatkan berbagai wahyu. Ini simbolisasi atas tataran keunggulan kualitas pribadi mereka yang diakui para dewa.
Lingkungan keluarga
Kisah-kisah (prestasi) monumental yang diraih Pandawa itu semua berkat fondasi pribadi atau karakter mereka yang kuat. Mereka bukan para insan yang mudah menyerah atau terjerumus akibat himpitan hidup. Kepahitan yang mendera tidak menghancurkan, tetapi justru menguatkan.
Bagaimanapun, hidup mesti berperilaku utama. Inilah keunggulan komparatif mereka sebagai kesatria pilih tanding (hebat). Semua penduduk marcapada mengakui dan menaruh hormat kepada Pandawa.
Dalam terminologi pohon, Pandawa ini seperti pohon yang berbuah lebat yang tidak bisa tumbang oleh terjangan topan atau angin ribut. Mereka kukuh tegak berdiri karena batang serta akarnya sangat kuat.
Hikmah cerita di atas, bila dikaitkan dengan pendidikan generasi bangsa, Kunti telah memberikan contoh bahwa membangun karakter mesti dimulai dari lingkungan inti keluarga. Orangtua berkewajiban mendidik anak-anaknya menjadi para insan-insan yang berkarakter mulia. (M-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved