Kisah Cinta akan Kebebasan ala Richard Oh

Galih Agus Saputra
24/11/2019 01:05
Kisah Cinta akan Kebebasan ala Richard Oh
Salah satu adegan dalam film Love is a Bird (2019) yang disutradarai Richard Oh.(Dok. Timeless Pictures)

Darma (Bront Palarae) ialah seorang juru foto asal Ibu Kota. Di tengah-tengah pelik hubungan asmaranya dengan Kirana (Gemilang Sinatrya), ia memutuskan hengkang ke Yogyakarta. Darma kemudian bertemu dengan Naira (Ibel Tenny), seorang perempuan yang memiliki banyak mimpi.

Sama halnya dengan Darma, Naira yang sehari-hari berprofesi sebagai pengamen atau penari jalanan juga memiliki masalah dengan kekasihnya, Jafran (Ibnu Widodo). Ia yang bekerja sebagai pemandu wisata sering merayu tamunya, bahkan sering pula memaksakan kehendak terhadap Naira. Seluruh persoalan tersebut kemudian terangkum dalam rangkaian cerita film terbaru sutradara Richard Oh berjudul Love is a Bird (2019).

Love is a Bird merupakan film kedua Richard Oh di tahun ini setelah Perburuan yang rilis Agustus silam. Film ini menceritakan bagaimana seni menyayangi, yang dalam pandangan Richard, tampaknya harus memberikan kebebasan.

Film yang diproduseri Marsio Juwono ini berlatar tempat di Yogyakarta, dan berlangsung di beberapa lokasi (landmark) seperti Pantai Parangtritis, Makam Imogiri, dan Istana Air Taman Sari. Sedari awal, Richard Oh, mengatakan bahwa film ini memang dibuat sebagai seni (art movie). Maka dari itu, ia lebih banyak memunculkan keindahan dari lokasi syuting.

Dari segi alur, film ini boleh dibilang cukup sederhana karena hanya berkutat dengan masa lalu sang tokoh utama. Akhir cerita ditutup dengan 'kebebasan' sang tokoh'. Dengan kata lain, boleh dibilang Love is a Bird menceritakan bahwa cinta sejati itu ialah bagaimana seseorang mendambakan kebebasan untuk menyayangi diri sendiri.

"Aku juga kangen. Kangen dengan diriku," tutur Darma dalam salah satu adegan film tersebut.

Bagi sebagian orang, menonton Love is a Bird (2019) mungkin bisa cukup membosankan. Sebab, narasi yang dibangun sangat detail dan runut, kendati tidak memberi petunjuk barang sedikit pun akan ujung dari narasi tersebut. Penonton lebih banyak diajak mengikuti perjalanan tokoh utama bersama kameranya, yang sepanjang adegan juga kerap menempatkan Naira sebagai objek bidikan lensanya.

BACA JUGA: The Good Liar, Film Penipu yang Minim Teka-Teki

Namun begitu, film ini, sekali lagi boleh dibilang memiliki tingkat eksplorasi seni yang cukup tinggi. Richard Oh, yang selama ini dikenal memiliki cukup pengetahuan di bidang kesusastraan, membangun cerita berdasarkan novel karangan Sophie Calle berjudul Suite Vénitienne (Please Follow Me) yang diluncurkan penerbit independen, Siglio, pada 2015.

Sophie Calle dikenal sebagai seniman beraliran konseptual asal Prancis, yang kerap mengeksplorasi interaksi dan pertemuan, sembari mencatat berbagai macam pertanyaan atau dugaan melalui teks dan foto. Metode yang ia gunakan dalam Please Follow Me hampir mirip dengan kerja-kerja detektif di tengah kerumunan orang, yang juga ia gunakan untuk membuntuti seorang pria bernama Henri B.

Seluruh kenyataan itu pada dasarnya juga hampir sama dengan Love is a Bird. Hanya saja, pada kesempatan ini Richard Oh menempatkan Darma sebagai seorang lelaki yang menjadi pusat atau ordinat, dan berbeda dengan Please Follow Me yang menempatkan seorang perempuan sebagai pusat kendali.

Lantas, bagaimana sesungguhnya keseluruhan dari film yang mengandalkan teknik bercerita dan tampilan visual ini? Penikmat film dapat menyaksikannya di bioskop seluruh Tanah Air sejak 14 November 2019. (M-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Irana Shalindra
Berita Lainnya