Horor Indonesia Melepas Stigma

Fathurrozak fathurrozak
09/11/2019 22:30
Horor Indonesia Melepas Stigma
Film Danur 1 (2017)(DOK. MD PICTURES)

Beberapa tahun terakhir, horor menjadi salah satu genre yang mencatatkan jumlah penonton terbanyak.

DI berbagai belahan dunia, film horor selalu punya tempat di hati publik penikmat film. Fenomena serupa pun berlaku di Tanah Air. Film horor dapat dikatakan sebagai salah satu genre yang cukup laris di pasaran. Hal itu bisa jadi turut dipengaruhi faktor kultural masyarakat Indonesia yang tak menafikan hal-hal seputar metafisika.

Data Film Indonesia memperlihatkan, dari 10 film dengan penonton terbanyak selama kurun 2007-2019, dua di antaranya ialah film horor. Uniknya, kedua film tersebut didasarkan pada film-film horor lawas besutan sutradara yang sama, Sisworo Gautama Putra. Pengabdi Setan (2017) dikreasi ulang dari film berjudul serupa pada 1980 dan Suzanna: Bernapas dalam Kubur (2018), yang sedikit banyak terinspirasi dari film Sundel Bolong (1981). Keduanya menghimpun lebih dari 7,5 juta penonton.

Dari sisi produksi, paling tidak sejak tiga tahun ke belakang (2018-2016), genre horor merupakan tiga teratas dari total keragaman genre film yang diproduksi di Tanah Air. Pada tahun lalu, dari 132 total film rilis, persentase genre horor mencapai 31% atau nomor dua terbesar setelah genre drama (46%). Data tersebut muncul dalam paparan hasil rangkaian diskusi terarah di Jakarta pada Mei silam oleh Badan Ekonomi Kreatif dan Film Indonesia serta dimasukkan ke buku Pemandangan Umum Industri Film Indonesia.

Untuk tahun ini, paling tidak ada 37 film bergenre horor yang sudah dirilis, termasuk film rebooth Ratu Ilmu Hitam yang tayang di bioskop per 7 November silam. Setelahnya, masih ada Rumah Kentang (21/11), Jeritan Malam (12/12), dan Si Manis Jembatan Ancol (26/12).

Kehadiran film horor Indonesia era modern ini sedikit banyak mulai memupus stigma yang melekat pada genre tersebut sejak lama. Di masa silam, bahkan hingga belum lama ini, film horor Indonesia sempat memasuki periode kelam, ketika kualitas tidak menjadi ukuran.

Dengan kedok 'film horor dewasa', bukan sekadar cerita seram--yang acap ala kadarnya--yang ditawarkan, melainkan juga sensualitas para pemainnya. Tecermin dari judul-judul yang menjurus, seperti Tali Pocong Perawan (2008) dan sekuelnya pada 2012 atau Suster Keramas (2009). Penonton yang berasal dari generasi X pun barangkali masih ingat film Pembalasan Ratu Laut Selatan (1988), yang dibintangi Yurike Prastika.

Meski kualitasnya sering mendapat kritikan dan kecaman, film-film horor di masa itu tetap memiliki penontonnya sendiri. Bahkan, Suster Keramas sanggup mengumpulkan penonton hingga 800 ribu lebih.

Sineas Joko Anwar dalam obrolannya di salah satu episode podcast Magdalene.co mengemukakan, hal tersebut bisa jadi karena kebanyakan penonton tidak mencari hiburan yang menantang secara intelektual. "Mereka hanya mencari cinematic experience saja," ujarnya.

Game changer

Meski demikian, seiring dengan menguatnya paparan film-film horor berkualitas dari luar negeri, penonton pun semakin cerdas dan selektif. Tercipta ruang bagi para sineas film yang ingin melahirkan film-film horor berkualitas.

Kini, wajah perfilman horor Indonesia sudah mulai berganti dengan kehadiran film yang lebih baik, dari sisi plot, teknik, juga akting para pemerannya. Dosen jurusan film Universitas Bina Nusantara (Binus) Ekky Imanjaya menyebutkan, salah satu yang menjadi game changer ialah kemunculan trilogi Danur, juga Pengabdi Setan.

"Ada tren film dari novel laris seperti Danur Universe. Lalu, tren reborn, yaitu bintang filmnya yang dirayakan. Seperti saat itu ada Warkop DKI. Di genre horor, ada Suzanna. Kemudian, yang ketiga ialah tren remake," papar Ekky saat dihubungi melalui sambungan telepon pada Rabu (6/11).

Menurutnya, perspektif hak kekayaan intelektual (HAKI-intellectual property/IP) yang diadopsi suatu film juga menunjukkan tren yang turut mampu mendongkrak pamor film tersebut. Film-film yang memanfaatkan kekayaan intelektual yang telah terbangun terbukti diminati penonton.

Danur yang bermula dari novel karya Risa Saraswati telah memiliki tiga film, merupakan salah satu bukti. Begitu pula Pengabdi Setan dan Suzanna: Bernapas dalam Kubur. Itu juga menjadi pertanda bahwa ada strategi lain yang bisa dimanfaatkan produser untuk membuat film horor laris ketimbang mengeksploitasi sensualitas.

Sutradara Ratu Ilmu Hitam, Kimo Stamboel, yang juga memproduksi film horor lain dengan mengadopsi IP dari gim DreadOut, mengungkapkan ada keuntungan lain ketika filmmaker memanfaatkan IP yang sudah terbangun.

"Memang bagusnya ialah sudah ada audiens tersendiri. Namun, menggarap film dengan IP yang sudah ada, bisa juga gagal. Enggak selalu yang punya sejarah atau yang di-remake itu berhasil," ungkapnya saat berkunjung ke Media Group, akhir Oktober lalu.

Di samping itu, para pembuat film dan publisis juga sekarang lebih aktif melibatkan publik demi menggaet penonton, dari interaksi di media sosial, temu pemain, sampai kuis. Beberapa strategi gimik pemasaran yang kreatif juga cukup mampu mempertahankan film tetap diputar di layar bioskop seperti Perempuan Tanah Jahanam yang mengadakan nonton bareng di bioskop tua Grand Theatre Senen, Jakarta.

Perlu variasi

Ekky, yang juga doktor kajian film University of East Anglia, menambahkan kebanyakan genre horor Indonesia saat ini masih bermain pada topik demonic horror.

Secara garis besar, terangnya, ada tiga tema besar film horor. Demonic horror yang berkutat dengan kekuatan supernatural, seperti setan atau kesurupan. Lalu, psychological horror yang lebih berkarakter slasher. Berikutnya, post apocalyptic horror seperti serangan dari binatang. "Dari segi storytelling, masih banyak yang menggunakan visual atau audiovisual horor. Namun, sekarang juga sudah mulai banyak yang berdasar narrative horror seperti Perempuan Tanah Jahanam," tuturnya.

Ia menganggap, meski kini kualitas film horor yang diproduksi semakin baik, masih banyak tema yang belum dieksplorasi. Ia menyebutkan perlu ada kebaruan tema yang ditawarkan.

"Di daerah kan banyak ceritanya, tapi belum banyak dieksplorasi. Topiknya juga. Cerita-cerita legenda atau misalkan serangan hama seperti kodok. Di berita kan banyak juga berita-berita horor. Horor itu kan suatu metafora, alegori, kenapa tidak dieksplorasi?" (M-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Triwinarno
Berita Lainnya