Headline
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.
GEMINI Man menghadapkan dua orang sama. Will Smith dan Will Smith. Satunya tua, satu lagi kloningannya yang lebih muda. Dua-duanya, sama-sama agen dari suatu organisasi pemerintah yang korup dan tidak transparan.
Film terbaru dari sutradara Life of Pi, Ang Lee, menawarkan pengalaman visual lewat Gemini Man. Film ini disuguhkan dengan teknologi 3D yang menghasilkan kejelasan dan ketajaman visualnya. Meski juga di sisi lain ini terlihat aneh karena terasa seperti menonton jenis video dan tampak kehilangan sisi artistik film konvensional.
Teknologi lain yang juga digunakan dalam film ini ialah de-ageing, efek visual yang digunakan untuk membuat Will tampak lebih muda. Teknologi yang juga tampaknya krusial bagi film terbaru Martin Scorserse, The Irishman, yang membuat Robert De Niro, Al Pacino, dan Joe Pesci tampak lebih muda. Samuel L Jackson dalam Captain Marvel, juga serupa, mengalami pemudaan seperti De Niro dalam Irishman atau Will Smith di Gemini Man.
Kisah dimulai ketika Will Smith yang berperan sebagai agen pembunuh Defense Intelligence Agency (DIA) serupa CIA Henry Brogen mengambil masa pensiun. Namun, alih-alih melaluinya dengan tenang, ia justru diburu sosok assassin, yang semakin lama, terasa menyerupainya.
Ia tak mengetahui bahwa pada suatu waktu, sang bos, Clay Verris (Clive Owen), menjadikannya objek suatu program, Gemini Man. Verris menciptakan kloningan Henry, membentuknya untuk menjadi tidak tertandingi dan ‘tidak manusiawi’. Tidak lelah, sakit, atau memiliki perasaan.
Pada beberapa bagian, Gemini Man tampak menyegarkan dengan suguhan laga ala permainan gim konsol GTA. Seperti ketika Henry dan kloningannya yang dipanggil Junior berkejaran di Kolombia dengan motor, dalam gerakan yang terlihat supercepat atau pada menjelang babak akhir film saat Verris juga turun tangan dan mengutus kloning Henry yang lain.
Namun, pada akhirnya, setelah meninggalkan ruang bioskop, ‘aftertaste’ yang didapat ialah rasa akan cerita yang lemah di balik pengalaman visual yang bersandar pada gimik berteknologi tinggi--termasuk dengan penggunaan frame tinggi 120 frame/detik dari lazimnya 24 frame/detik. Hal itu menjadikan Gemini Man sebagai pertanda bahwa terkadang teknologi canggih tidak cukup mampu menyita simpati kita tanpa dibarengi naskah yang kuat. (Jek/M-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved