Musim Panas yang Terganjal

Fathurrozak
15/9/2019 00:00
Musim Panas yang Terganjal
Midsommar berkisah pada ­se­kelompok orang dewasa ­Amerika yang berlibur musim panas di sebuah desa di Swedia, Harga (Horga).(DOK. WWW.IMDB.COM)

SETELAH merilis film Hereditary yang mengguncang siapa pun yang menonton dan meninggalkan kesan ‘mengganggu’, sutradara Ari Aster kini semakin menahbiskan posisi­nya sebagai penulis-sutradara horor lewat Midsommar.

Midsommar berkisah pada ­se­kelompok orang dewasa ­Amerika yang berlibur musim panas di sebuah desa di Swedia, Harga (Horga). Kisah ini mulanya beririsan pada romansa hubungan Dani (Florence Pugh) dan Christian (Jack Reynor). Hubungan yang ‘gitu-gitu aja’ setelah hampir empat tahun. Dani punya permasalahan mental dan Christian yang cuek bebek mulai merasa terbebani menjadi kekasih Dani.

Kecenderungan Aster untuk memberikan latar karakternya yang bermasalah secara ‘mental’ dan punya hubungan tidak baik antarkarakter, atau singkatnya ‘kompleks’, ini juga muncul pada Hereditary.

Di film tersebut, Annie Graham (Toni Collette) yang punya beban ­terhadap ibunya, mengalami ­kerumitan serupa dalam relasi ­dengan anak sulungnya, Peter (Alex Wolff).

Juga, yang pasti horor rasa Aster ialah horor yang tanpa lelembut. Horor yang ia tampilkan ialah ­kengerian yang kadang berwujud ­seorang bocah perempuan memotong kepala burung atau lebih janggalnya lagi, horor dari sebuah desa yang menumbalkan dua warga lansianya sebagai bagian dari ­perayaan momentum Santo Yoseph saat membaptis Isa.

Alih-alih lewat jumpscare yang mengagetkan penonton dengan ­suara-suara memekakkan telinga atau sosok yang muncul tiba-tiba, Aster gemar memunculkan kejanggalan yang mengganggu. Masih ­ingat, bagaimana cara matinya Charlie dalam Hereditary? Bukan hanya kepalanya yang lepas, melainkan juga ia menimpanya sekaligus dengan tragedi kepala yang terlepas dari tubuh itu dirubung semut, di pinggir jalan.

Midsommar, demikian pula. Mempertontonkan kejanggalan yang membuat mata terpaku. Salah satunya ketika dua lansia yang jadi tumbal ritus desa Horga, melompat dari tebing dengan disaksikan seluruh warga desa.

Kevulgaran Aster bermain saat salah satu lansia masih hidup. Empat warga Horga harus membogem kepala si pak tua, sampai ia hilang nyawa. Aster menempatkan penonton pada jarak sedekat mungkin sehingga kita juga bisa merasakan kengerian di siang bolong itu seperti yang dirasakan Dani, Christian, dan teman-teman Pelle (Vilhelm Blomgren) lain.

Dalam plotnya, Aster meminjam kultur tua bangsa Skandinavia di Swedia dalam perayaan musim panas (midsummer) untuk memperingati momen Santo Yoseph membaptis Kristus. Ia meracik perayaan itu dengan tradisi-tradisi pagan kuno sebagai jalan membentuk horor dan teror.

Beberapa ritus dalam plot memang sebenarnya tidak ada di midsummer, seperti ‘pesta’ api unggun di ujung film. Namun, itu bisa ditemukan di kultur pagan kuno di daratan Eropa lain, di Jerman tepatnya. Adapun ramuan pelet dari rambut kemaluan, atau minuman-minuman yang memabukkan dikonfirmasi dibenarkan ada sebagai bagian dari kultur di sana. Ini diungkapkan Pil Tidholm, penulis cum jurnalis ­Swedia. Adanya unsur-unsur tradisi dan segala aksesori kebudayaan yang melengkapi juga menjadi alas­an Midsommar bisa digolongkan sebagai folk horror.

Ganjalan sensor

Konon, Midsommar nyaris tak dapat disaksikan penonton bioskop Indonesia lantaran terancam tak lolos gunting sensor. Walakin, film itu akhirnya dapat diedarkan setelah disunat 9 menit oleh Lembaga Sensor Film (LSF).

Hal itu bisa jadi menjelaskan adanya beberapa adegan yang terasa inkoheren. Misalnya saja, saat kelima tokoh tengah menikmati matahari tengah malam, yang membuat siang lebih panjang di Horga. Ada adegan Dani berimajinasi di kakinya tumbuh rerumputan, juga beberapa karakter yang gelisah. Ini terasa begitu melompat dari scene sebelumnya. Dipastikan, adegan itu sebenarnya didahului adegan para karakter mengonsumsi sesuatu yang membuat mereka teler dan berhalusinasi. Namun, tampaknya adegan tersebut dipangkas sehingga melompat cukup jauh. Atau, yang paling kentara, saat si pak tua yang jadi tumbal melompat dari tebing dan harus dibogem kepalanya, malah berubah jadi slow-motion yang mengurangi estetika mahakarya Aster.

Meski LSF melabeli Midsommar dengan klasifikasi usia penonton 21+, penyuntingan yang dilakukan menjadikan Midsommar bak korban kepandiran lembaga sensor. Film yang janggal nan vulgar tetapi artistik itu harus kena ganjal oleh lembaga yang bebal dan terlalu takut penontonnya tidak bisa mencerna nilai estetika suatu karya seni. (M-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya