Headline

Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.

Fokus

Presiden menargetkan Indonesia bebas dari kemiskinan pada 2045.

Wujud Hidup Lestari Masyarakat Adat Kajang

Galih Agus Saputra
07/9/2019 07:30
Wujud Hidup Lestari Masyarakat Adat Kajang
Pintu masuk kawasan Kajang Dalam(Mi/Galih Agus Saputra)

DI perbatasan antara Dusun Sobu, dengan Hutan Rambang Sepang (Kajang Dalam), Bulukumba, Sulawesi Selatan, terdapat sebuah kolam air yang jernih. Bukan saja cantik, airnya menjadi penyokong kehidupan warga sekitar, baik untuk mandi maupun kebutuhan harian lainnya.

Sumber mata airnya berasal dari Hutan Rambang yang juga merupakan wilayah Masyarakat Adat Kajang. Dalam kunjungan bersama Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Aman), Kamis (29/8), Media Indonesia berkesempatan menyelami prinsip hidup lestari yang mereka ayomi.   

Bagi Masyarakat Adat Kajang, hutan merupakan Topena Linua, yang berarti sumber oksigen sekaligus sumber kehidupan seluruh mahluk sekitarnya. Sebab itu, pengelolaan hutan tidak bisa secara personal, tetapi secara bersama-sama.

Untuk memastikan kehidupan ramah lingkungan itu, Masyarakat Adat Kajang memiliki hukum adat yang terdiri atas beberapa aturan. Salah satunya ialah ‘Jagai linoa lollong bonena, kammayya toppa langika siagang rupa taua siagang boronga’ yang pada intinya ialah mengenai pemeliharaan Bumi serta isinya, demikian juga halnya langit, manusia, dan hutan. Hukum adat ini ditegakkan Ketua Masyarakat Adat Kajang yang disebut Ammatoa.

Aturan atau prinsip lainnya ialah “Yamintu boronga akkio bosi  ang ngenne erea nipake a’lamung pare, baddo appa’nia’ timbusia”, yang artinya, itulah hutan yang menyebabkan turunnya hujan untuk digunakan menanam padi, jagung dan sebagainya.

“Sebagian besar Masyarakat Adat Kajang ialah petani. Menanam padi, jagung, dan lain-lain. Dalam persiapan selama 12 bulan, kami bisa menghasilkan persediaan yang mencukupi kebutuhan selama tiga tahun, seperti yang kami simpan di atas ini,” tutur Ammatoa, sambil menunjuk lumbung di atas Bola Tammua (rumah)-nya. Ammatoa yang tak berkenan mengungkapkan nama aslinya itu menyebut luasan hutan mereka mencapai sekitar 314 hektare.

Ada empat sumber daya yang menjadi fokus utama dalam aturan tersebut, antara lain kayu, rotan, lebah, dan udang. Mereka yang kedapatan menebang atau merusak sumber daya alam itu didenda 12 real atau sekitar Rp12 juta. Sementara itu, mereka yang mengambil untuk kepentingan pribadi semata dikenai sanksi sedang dengan denda 8 real atau setara Rp8 juta.

Hal menarik lainnya ialah bahwa prinsip hidup itu dijalankan Masyarakat Adat Kajang karena mereka paham betul bahwa kelesta rian hutan bukan hanya penting bagi suku mereka sendiri, melainkan juga daerah lain yang berkilometer jauhnya.

Bahruni Said, salah seorang Pengurus Wilayah Aman Sulawesi Selatan, menyebutkan ada tiga Daerah Aliran Sungai (DAS) yang sumbernya dari hutan adat Kajang, yaitu DAS Raowa, DAS Baonto, dan Das Aparang. Dalam sebuah laporan yang dibuatnya tahun lalu, Bahruni menjabarkan jika keberadaan sungai di tiga DAS itu sangat penting untuk pertanian yang mencakup areal 3.135 ha.

Pewarna alam

Pola hidup ramah lingkungan juga terlihat di masyarakat Kajang Luar. Di wilayah Tanah Toa, Kecamatan Kajang, misalnya, para perajin kain adati tidak menggunakan pewarna kimia. Mereka memanfaatkan getah daun tarum dari pohon indigo (indigofera) untuk menghasilkan warna biru tua pada kain tenunnya.

Salah satu perajin bernama Hanira, juga menggunakan abu dari tungku masak serta kapur untuk melakukan proses pewarnaan. Nurhaeda, anak Hanira, pun menunjukkan proses pewarnaan kain. Proses itu dimulai dengan perendam an daun tarum selama sehari semalam. Air dari daun itu kemudian dicampur kapur dan diaduk hingga menghasilkan warna abu-abu. Kain tenun sangat berarti untuk Masyarakat Adat Kajang. Seorang perempuan biasanya akan memberikan kain tersebut kepada calon suaminya di hari pernikahan.

Kain tenun juga digunakan sebagai penutup jenazah dalam upacara adat kematian. Beberapa upacara adat Masyarakat Adat Kajang lainnya juga mengunakan kain tenun, maka dari itu para perempuan setiap hari selalu menenun agar mereka memiliki tabungan kain jika sewaktu-waktu ada upacara adat atau pesanan. “Untuk penjualan biasanya kami jual Rp1 juta untuk ukurannya 6 meter. Dalam seminggu biasa dapat pesanan 10 kain, tetapi kadang juga tidak mendapat pesanan sama sekali. Tetapi kami selalu menenun setiap hari,” imbuh Nurhaeda.

Selain mendapat pemasukan dari produksi kain tenun, Masyarakat Adat Kajang juga mendapat penghasilan dari pengelolaan lahan di sekitaran hutan adat. Penghasilannya bahkan mencapai Rp26,1 miliar pada 2018, yang mana itu semua diperoleh dari kebun jagung, padi, karet, merica, peternakan, kebun campuran dan lain sebagainya.  

Atas kondisi itu Pemerintah Kabupaten Bulukumba mengeluarkan Perda No 9/ 2015 tentang Pengukuhan, Pengakuan Hak, dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat Ammatoa Kajang.

Wakil Bupati Bulukumba, Tomy   Satria, Rabu (28/8), mengatakan bahwa pengakuan Masyarakat Adat Kajang itu merupakan hasil dari prosesamat panjang. Nilai kearifan budaya Masyarakat Adat Kajang tak membuat Pemda Bulukumba merasa kesulitan untuk melihat bahwa pada dasarnya masyarakat adat juga mampu melaksanakan pengelolaan hutan dengan baik. (Gas/M-1)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Thalatie Yani
Berita Lainnya