Headline
PRESIDEN Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah menetapkan tarif impor baru untuk Indonesia
PRESIDEN Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah menetapkan tarif impor baru untuk Indonesia
MALAM itu, sekitar pukul 18.00 WIB, langit sudah pekat menyelimuti Dusun Bambangan
SUDAH nyaris enam bulan aku lebih suka menghabiskan waktu di dalam kamar. Sebuah ruang sempit yang hanya berukuran 7 meter persegi. Hanya ada sebuah kasur tanpa dipan, sebuah meja, dan komputer, ditambah air galon yang selalu terisi penuh.
Sejak peristiwa itu, aku tak lagi mau keluar rumah. Bertemu seorang teman ialah hal menyakitkan, apalagi bertemu seorang yang kuanggap musuh, akan membuatku jauh lebih menderita. Aku terus mengurung diri di kamar.
Aku hanya keluar kamar sekali waktu untuk sekadar membeli makan, minum, dan rokok. Selebihnya aku di dalam kamar. Menghabiskan waktu dengan membaca buku, menulis, dan menggambar. Begitu seterusnya, sampai aku dihunjam oleh kebosanan yang mengerikan.
Peristiwa itu, telah membuat hidupku berubah. Dunia ini memang tidak mengenal kompromi. Begitu salah mengambil keputusan, jangan berharap kamu bisa tertawa lebar. Penyesalan dan kesedihan menjadi teman setia. Meratapi keadaan dengan menumpahkannya ke dalam tulisan atau lukisan, itu pun jelek, setidaknya menurutku.
Beberapa teman ada yang mengunjungiku. Sekadar menanyakan kabar, atau berusaha menyembuhkan luka yang telah bernanah di dalam benakku. Sia-sia. Tidak hanya menolak kedatangan mereka, tetapi aku juga mengusir salah satu dari mereka yang menyarankan agar aku menemui seorang ahli kejiwaan. Depresi, katanya. Sebentar lagi mungkin aku akan memasuki tahap gila, lanjutnya.
Aku mengagumi keberaniannya menyampaikan beberapa kemungkinan yang terjadi padaku tanpa tedeng aling-aling. Barangkali karena ia seorang lulusan fakultas psikologi sehingga merasa banyak mengetahui tentang kejiwaan seseorang, atau mungkin ia telah banyak mempunyai pasien yang sakit sepertiku. Aku tak menggubrisnya.
Kenangan atas peristiwa itu tak kunjung hilang. Membekas dan terus menggerogotiku. Setiap kali aku mengingatnya, ada getir yang menyayat.
Disusul rasa mual, pusing, bahkan perasaan yang aku tak bisa mengungkapkannya dengan kata-kata. Rasanya tak ada kata yang tepat untuk bisa memberikan gambaran atas keadaanku.
Sesekali aku membuka telepon genggam, ada banyak pesan masuk dan tak semuanya kubaca. Ada sebuah nama yang tidak begitu kukenal dan aku juga tak pernah benar-benar mengingat orang itu. Seorang perempuan, yang hanya bertemu denganku sekali, itu pun kebetulan. Entah mengapa, ia mengirimiku pesan pendek. Dengan rasa waswas aku membukanya.
“Hei, anjing! Ada apa denganmu? Berengsek ya, kamu, telah menyakitiku.
Kalau kamu punya nyali, ayo temui aku secepat mungkin.”
Hatiku berdesir. Tak ada kemarahan. Aku senang ada seorang yang berani memaki-maki. Menantangku, dan juga tanpa pengantar basa-basi yang hanya menambah sesak dadaku. Kubiarkan pesan itu tak terjawab.
Pikiranku kembali melambung di antara langit-langit kamar.
“Hei, lelaki lemah. Aku tahu kamu sudah membuka pesanku. Kenapa?
Kamu takut menemuiku, berengsek?”
Kembali perempuan itu mengirimiku sebuah pesan. Belum sempat kubaca dengan tuntas, ada serentet pesan menyusul darinya yang berisikan makian-makian. Yang lebih mengherankan, katanya, aku telah menyakitinya beberapa waktu belakangan ini. Menyakiti? Aku telah berdiam dikamar cukup lama, bagaimana mungkin aku bisa menyakiti seseorang. Sungguh dunia ini tanpa kompromi, bahkan seorang yang berdiam diri di kamar bisa menyakiti orang lain. Aku tersenyum. Aneh, baru kali ini aku bisa tersenyum lepas setelah enam bulan mengurung diri di kamar. Tersenyum karena ada orang yang memaki-maki. Benar memang kata temanku, aku sudah gila.
“Aku tunggu sore ini di kedai tempat pertama kita berjumpa. Temuilah aku sebentar. Kalau nanti kamu mulai tak nyaman berbincang denganku, tulislah sebuah pesan wasiat kematian. Aku yang akan membunuhmu.
Orang sepertimu tak layak hidup, hanya kematian yang akan membuatmu tenang.”
Baru kali ini ada orang yang berani memaki, mengancam, sekaligus menasihatiku. Hidupku kembali bergairah sejenak. Aku bersiap menemuinya.
Beberapa bulan ini, aku tidak bisa bekerja dengan cukup baik. Setiap kali aku menjahit, selalu saja jarum itu menusuk ibu jari. Sakit. Sudah tak terhitung berapa kali aku membuka dan menempelkan kembali perban di jari-jariku, dari jempol, telunjuk, sampai kelingking telah terluka oleh tusukan jarum.
Setiap kali aku melakukan aktivitas, selalu saja ada gangguan. Ketika memasak, minyak goreng yang telah panas oleh api, muncrat mengenai lenganku. Sakit rasanya. Aku berhenti memasak. Kemudian aku melakukan hal lain. Ketika aku berkebun, sekadar menyirami tanaman di halaman rumah, kakiku tertusuk duri semak belukar yang kulewati.
Bedebah memang, dia telah mengusik hidupku!
Ada wajah lelaki yang tak begitu kukenal muncul di dalam lamunanku. Ia yang telah melakukan semua ini. Mengganggu hidupku. Menusukkan jarum, duri, dan menyiramkan minyak panas ke tubuhku. Aku akan membuat perhitungan denganmu.
Aku mendatanginya di sebuah kedai kopi yang cukup sepi. Ia duduk di pojok, dengan penerangan yang temaram, seperti ingin mengajak berbincang dengan rahasia. Kudatangi ia dengan langkah mantap.
Tanpa disuruh, aku duduk. Memesan secangkir kopi. Menyalakan rokok. Diam. Semua terdiam beberapa menit tanpa percakapan. Matanya tajam menatap mataku, masuk sepenuhnya. Aku merasa ada benda asing memasuki tubuhku merobek-robek jantungku. Dadaku sesak.
Cukup. Cukup, kataku. Aku memberikan isyarat padanya agar dia berhenti menatapku. Lebih baik segera siapkan pisau tajam atau pistol dengan peluru tajam dan kemudian tembuslah badanku dengan alat pembunuh itu. Aku akan mati dengan segera tanpa rasa sakit.
Seperti mengejek, ia tak juga melepaskan pandangannya. Kemudian tersenyum. dan keluarlah rentetan kalimat dari mulutnya.
Perempuan itu usianya lebih tua dariku. Mempunyai sikap yang sangat tenang. Meski kata-kata yang keluar dari mulutnya pasti disertai makian, aku suka mendengarnya.
Dengan percaya diri ia memberedel semua kehidupanku. Peristiwa itu ia buka lebar. Luka-luka yang belum kering di hatiku, ia sayat lagi. Terus dan terus begitu sampai aku nyaris muntah.
Perempuan itu mulai bercerita. Katanya, ada seorang lelaki yang telah kehilangan daya hidupnya. Kehilangan jati dirinya. Menjadi lelaki lemah tak berdaya, seperti mayat tanpa jiwa. Mungkin, hanya kematian yang sanggup membebaskannya dari penderitaan, atau lebih tepatnya dari kepengecutannya menghadapi hidup di dunia yang tak kenal kompromi.
Ia seorang seniman, lebih tepatnya orang yang selalu mencoba membuat karya seni. Karyanya bagus, setidaknya menurutku. Ia membuat dan terus membuat sampai suatu ketika, ia memutuskan untuk memamerkan karyanya kepada khalayak. Persiapan mulai dilakukan.
Ia menghubungi beberapa teman seniman. Meminta bantuan untuk memberikan masukan apakah karyanya layak untuk dipamerkan. Semua setuju. Semua terkesima oleh karyanya yang cukup bagus. Satu per satu persiapan mulai dilakukan.
Semua karya dikumpulkan, tidak hanya dalam bentuk lukisan, tetapi akan dijadikan sebuah pertunjukan. Latihan sudah dimulai. Ia terus membuat karyanya, menulis sendiri skenario pertunjukannya. Tentu saja dibantu oleh beberapa temannya.
Waktu terus berlalu, hari yang telah ditentukan sebentar lagi tiba. Persiapannya nyaris sempurna. Tak ada gangguan dan hambatan. Satu per satu karyanya telah dikumpulkan di sebuah studio. Gambar-gambar yang luar biasa, yang kemudian ia gubah karakternya menjadi tokoh-tokoh wayang, dan tentu saja sebuah pertunjukan. Ia akan membuat pertunjukan semacam pergelaran wayang. Menampilkan seluruh karyanya melalui pertunjukan itu.
Lukisannya bermetamorfosis menjadi tokoh wayang yang hidup. Berdirilah pakeliran itu dengan gagah.
Waktu kurang satu minggu, acara pameran dan pertunjukannya bakal mengagetkan khalayak, tetapi peristiwa yang tak disangka itu muncul.
Semua karya itu lenyap. Tidak sekadar satu atau dua, tetapi semuanya beserta pakeliran yang sudah ditata dengan gagahnya. Bukan khalayak yang kaget, melainkan lelaki yang telah membuat karya seninya itu yang kaget dan jatuh tersungkur tak lagi bisa bangkit dari hidupnya yang lemah.
“Bukan begitu mas lelaki lemah tak berdaya yang bahkan untuk mati saja tak pernah berani. Segera bangkit. Kamu memiliki daya hidup. Kamu memiliki api yang terus berkobar.”
Rasanya aku seperti dibacakan sebuah dongeng yang berakhir dengan penderitaan.
“Kamu memiliki gagasan-gagasan yang hebat, orang-orang yang mengambil karyamu hanyalah mengambil abu dari sisa-sisa kayu yang kamu bakar dengan nyala apimu yang berkobar.”
Belum sempat aku menanggapi omongan perempuan itu, ia menyodorkan sebuah koran. Terlihat jelas ada gambar dan narasi yang berisikan tentang karya-karyaku telah dipamerkan dan diapresiasi dengan luar biasa di hadapan khalayak ramai. Aneh, aku tidak merasa sakit, aku justru tersenyum lebar.
Perempuan itu meninggalkanku. Ia memintaku tak lagi mengganggunya. (M-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved