Headline

Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.

Fokus

Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.

Utamakan Rehabilitasi, Hindari Tanam Mangrove

Abdillah Marzuqi
10/8/2019 07:40
Utamakan Rehabilitasi, Hindari Tanam Mangrove
PENANAMAN MANGROVE PESISIR MUARA ANGKE( ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/)

DI berbagai wilayah pesisir di Tanah Air, kegiatan penanaman mangrove terus digencarkan. Kegiatan ini dinilai menjadi solusi untuk rehabilitasi lahan mangrove yang rusak.

Dari data terbaru dari pemerintah, sebanyak 1,1 juta hektare hutan mangrove di Indonesia dalam kondisi rusak parah atau kritis. Luasan itu sekitar 33% dari luas total area mangrove 3,5 juta hektare.

Wilayah Indonesia mempunyai garis pantai terpanjang kedua di dunia. Begitu pun kota besar di Indonesia. Hingga mangrove menjadi harapan untuk membentengi wilayahnya dari air laut.

"Indonesia nomor satu negara di dunia yang punya mangrove terluas. Sebanyak 60% penduduk Indonesia tinggal di pesisir. Berapa kota besar di Indonesia yang ada di pesisir? Hampir semuanya," ujar Executive Director Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN), Rizal Algamar.

Di sisi lain, kegiatan rehabilitasi dengan penanaman mangrove belum tentu tepat. Ada langkah lain yang harus terlebih dulu dilakukan.

Direktur Program Kelautan Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN), Muhammad Ilman, mengungkapkan perlu adanya studi pendahuluan untuk menentukan perlu tidaknya penanaman kembali pada hutan mangrove yang rusak.

"Jadi, teknis restorasi mangrove paling utama adalah melihat penyebab utama kerusakan mangrove," ucap Ilman kepada Media Indonesia, Jumat (9/8).

YKAN adalah afiliasi lokal dari The Nature Conservancy di Indonesia yang menginisiasi sebuah platform yang disebut mangrove ecosystem restoration alliance atau Aliansi Restorasi Ekosistem Mangrove (MERA) pada 2018.

Ilman menekankan jika penanaman kembali mangrove ialah upaya terakhir dari perbaikan kawasan mangrove. Lebih penting yang harus didahulukan ialah menanggulangi penyebab kerusakan mangrove, kemudian merehabilitasi ekosistem mangrove.

"Sebagian besar mangrove yang rusak itu tidak perlu ditanam. Jadi, program penanaman itu pilihan terakhir. Apabila secara alamiah aliran air terhambat, tidak mungkin diperbaiki lagi. Kedua, apabila induk tidak ada, misalnya, (akibat) tsunami," ucap Ilman saat dihubungi via telepon, Jumat (9/8).

Menurut Ilman, sebagian besar kerusakan ekosistem mangrove di Indonesia bisa ditanggulangi dengan upaya rehabilitasi secara alami. Caranya hanya dengan restorasi hidrologi dan menjaga kawasan tersebut dari gangguan manusia maupun alam. Pengembalian aliran air berperan penting sebagai pengupayaan lahan yang bisa ditumbuhi mangrove karena mangrove punya syarat agar tumbuh, yakni air sebagaimana ekosistem pesisir.

"Sebagian besar kerusakan ekosistem mangrove di Indonesia ini, saya berani katakan, bisa dilakukan rehabilitasi tanpa penanaman," tambahnya.

Menjaga aliran air

Rehabilitasi tanpa penanaman dilakukan dengan menjaga lokasi agar tidak ada hewan yang memakan bibit mangrove, seperti kambing ataupun babi. Lalu, airnya dibiarkan mengalir secara alami agar bibit-bibit alami dari induk mangrove yang berada dalam radius 1 km-2 km bisa menyebar ke wilayah tersebut. "Kalau begitu, dalam satu tahun sudah hijau," ujarnya.

Begitu pula yang terjadi di Muara Angke Jakarta ialah mangrove dipaksa untuk tumbuh di air tawar. Diakui memang permukaan air laut juga menggalami kenaikan disebabkan perubahan iklim, tapi hal itu dalam skala kecil. Penyebab utamanya ialah permukaan tanah turun di kawasan Jakarta. Ternyata penyebab yang sama juga terjadi pada kawasan mangrove di kota pesisir lain seperti Semarang.

"Ini menyebabkan hidrologi kacau balau. Jadi, air dari darat yang tawar, terutama musim hujan, enggak bisa terdorong ke laut sehingga mangrove-mangrove yang air asin ini susah tumbuh," jelas Ilman.

Sementara itu, kawasan lain yang masih kosong dan diperlukan penanaman kembali, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan. Program penanaman harus mewadahi keanekaragaman hayati. Artinya, sangat tidak disarankan untuk menanam hanya 2-3 jenis mangrove dalam satu kawasan.

"Kita punya lebih dari 40 jenis mangrove asli. Kalau terbuka, rusak kemudian dilakukan rehabilitasi seperti kebanyakan program, biasanya itu akan ditanami dengan hanya 2-3 jenis saja tanaman. Jadi, ini kurang bagus, karena setiap ekosistem dianggap bagus kalau keanekaragaman hayatinya tinggi," terang Ilman.

Metode itulah yang diterapkan MERA dalam upaya perbaikan kawasan mangrove di Muara Angke, Jakarta. Meski demikian, tidak semua kawasan mangrove seluas 243 ha itu bisa dilakukan upaya rehabilitasi alami. Metode rehabilitasi alami pun dipadu dengan penanaman kembali dengan persentase 50-50. Terdapat lima jenis yang cocok ditanam secara manual dari famili avicennia, rhizophora, dan sonneratia, sedangkan jenis mangrove lain diharapkan akan tumbuh secara alami.

Menurut Ilman, ekosistem mangrove yang sehat rata-rata memiliki 15-20 jenis mangrove dalam satu kawasan. Hal itu menjadi indikator tingginya keanekaragaman hayati. Biasanya, mangrove yang ditaman kebanyakan berasal dari famili rhizophora dan avicennia. Dua famili itu punya biji yang besar sehingga mudah ditaman.

"Persoalannya adalah di Indonesia kalau rata-rata 15 sampai 20 selalu ada di satu tempat. Kalau itu rusak dan diganti hanya dengan 2-3 jenis saja ini bisa menimbulkan persoalan ekologis. Tidak menyebabkan perbaikan ekologi karena tidak mendukung suasana alam yang awal," tambahnya.

Faktor kedua yang juga penting ialah pemilihan lokasi tanam. Menurut Ilman, banyak penanaman mangrove justru tidak sampai pada aspek ekologi. Tidak semua lahan pesisir berdampak bagus jika ditanami mangrove, bahkan malah menghancurkan ekosistem sebelumnya. Hal itu terjadi apabila mangrove ditanam pada ekosistem daratan lumpur.

"Memang ekosistemnya begitu, mirip lumpur, tapi tidak ada tumbuhan di atasnya," tegas Ilman.

Ekosistem daratan lumpur merupakan tempat beraneka jenis invertebrata, seperti cacing. Ekosistem itu juga menjadi lokasi persinggahan burung yang sedang bermigrasi.

"Ada dua hal di situ, bisa mangrovenya tumbuh dan merusak ekosistem dataran lumpur karena di situ ada cacing, belodok, segala macam. Yang paling penting dari dataran lumpur ini ada burung migran yang bermigrasi dari belahan bumi utara ke selatan. Itu selalu berhenti di dataran lumpur untuk isi bahan bakar," tambahnya.

Proses itu sudah berlangsung sejak ratusan ribu tahun yang lalu. Jika dipaksakan penanaman mangrove, akan berdampak pada kerusakan ekosistem awal sekaligus menganggu ekosistem global.

"Kalau itu ditanami mangrove kasihan itu tidak punya tempat dan kita menggangu ekosistem global. Burung-burung itu membawa sesuatu pastinya," lanjutnya.

Faktor ketiga yang harus diperhatikan ialah tidak mengubah karakter ekosistem sebelumnya. Setiap jenis hanya cocok untuk lingkungan tertentu. Misalnya, daratan tertinggi terendam air laut lebih dari 1 meter dan ditanam bibit yang tingginya kurang dari 1 meter, maka mangrove akan mati sebab tidak bisa bernapas pada saat air pasang.

Ketiga aspek itulah yang patut diperhatikan untuk keberhasilan penanaman mangrove. Cara itu pula yang bakal dilakukan MERA untuk merestorasi kawasan mangrove di wilayah lain.

"Ketiga aspek ini menyebabkan banyak terjadi kegagalan. Tidak hanya kegagalan untuk mencapai tujuan ekologi, tapi juga malah mati itu tanaman," pungkasnya. (M-1) 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Triwinarno
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik