Headline
Kemenu RI menaikkan status di KBRI Teheran menjadi siaga 1.
DUA kampung bertetangga yang tenteram digemparkan kedatangan celeng (babi hutan). Binatang bertaring ini menjadi momok dan dianggap mengancam warga kampung. Warga kampung Batak, merasa Celeng yang beberapa waktu terakhir menampakkan diri dan mengganggu, berasal dari warga kampung Jawa. Sebaliknya, warga kampung Jawa justru merasa di kampung mereka tidak ada binatang liar itu.
Kedua kampung yang berdampingan itu pun sepakat untuk melaporkan peristiwa ini pada kepala RT Marwoto. Berbekal pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki, ia menggiring warga untuk bersatu, memburu celeng dengan mencari jejak yang ditinggalkan. Cara yang ditempuh ialah menggunakan tetabuhan.
Namun, yang diupayakan Marwoto justru seolah-olah memonopoli warga dengan menyimpan maksud kepentingan pribadinya sehingga ia dengan mudah menyetir kabar sepotong-potong untuk ia jahit menjadi maklumat bersama.
Boleh jadi, Marwoto memang memimpin perburuan celeng yang meresahkan warga. Namun, apa motivasi di balik perburuan yang justru terkesan menumbalkan seorang warga korban serangan celeng, justru dituduh sebagai jelmaan babi hutan itu.
Celeng pernah muncul dalam karya lukis Djoko Pekik, dengan karya bertajuk Berburu Celeng. Dalam karya yang lahir pada 1998, tahun saat Soeharto lengser, digambarkan celeng dengan sosok hitam tambun diikat dan dipikul dengan sebilah kayu.
Sementara itu, pada ruang kanvas dipenuhi arak-arakan sosok ramai orang yang larut dalam euforia jatilan. Dua tahun sebelum Berburu Celeng, Pekik juga melukis Susu Raja Celeng yang menjadi bagian dari trilogi dilengkapi dengan Tanpa Bunga dan Telegram Duka Cita (2000).
Pada saat kemunculan karya Berburu Celeng, banyak tafsir muncul sebagai ekspresi atas lengsernya Soeharto. Ketika rezim yang berkuasa selama 32 tahun itu tumbang dan memasuki babak reformasi.
Menafsirkan watak celeng yang rakus dan seradak-seruduk pada era keterbukaan ini menjadi medium kreatif dalam lakon Celeng Oleng yang ditulis dan disutradarai Agus Noor. Bagaimana watak celeng yang kerap dikaitkan dengan suatu zaman, toh nyatanya masih menjangkiti meski zaman itu telah tumbang. Artinya, watak itu bisa saja hidup dalam individu masyarakat saat ini.
Formula berulang
Lakon bergaya komedi ini berhasil menyelipkan jalan utama cerita dengan berbagai bumbu humornya. Eksplorasi dari improvisasi para aktor di panggung menjadi nyawa dari setiap pentas Indonesia Kita yang selalu melibatkan Marwoto, Cak Lontong, dan Akbar sebagai aktornya.
Tak terelakkan, formula yang diramu Agus Noor, Butet Kartaredjasa, dan Djaduk Ferianto yang kali ini mengajak Paulus Simangunsong sebagai tim kreatif, selalu berulang.
Formulanya, pembukaan jalan cerita, lalu dibumbui dengan sebanyak-banyaknya berbagai adegan selingan dengan komedi-komedi para aktornya, menyelipkan sedikit-sedikit intrik, dan ditutup dengan akhir dari kisah mula. Positifnya, pertunjukan teater menjadi tidak terasa tegang atau kaku.
Bahkan, seolah-olah kita menonton ketoprak sebab improvisasi aktor jadi bahan bakar utama. Dengan eksplorasi kekuatan aktor ini, tata artistik realistis di panggung menjadi tidak perlu dihadirkan secara dominan. Hanya cukup mengisi komposisi agar panggung tidak terlihat kosong melompong. (Jek/M-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved