Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Ragam Keriaan dan Doa Menyambut Tamu

Retno Hemawati
29/6/2019 23:00
Ragam Keriaan dan Doa Menyambut Tamu
Khazanah(MI/Ebet)

SETELAH menempuh perjalanan dari Samarinda dengan pesawat Susi Air, tibalah kami tim WWF Indonesia, dalam misi Heart of Borneo di Bandara Datah Dawai. Bandara itu terletak di Desa Long Lunuk, Kecamatan Long Pahangai, Kabupaten Mahakam Ulu, Kalimantan Timur.

Pesawat yang terisi maksimal 15 orang tersebut mendarat di bandara yang sangat sederhana, gedungnya masih kayu, dan landasan pacunya cukup pendek. Setibanya di sana, kami dibukakan pintu, mirip pintu halaman rumah yang tingginya hanya sekitar satu meter. Orang-orang kampung di Long Pahangai tampak menyambut kami. Sebagian menabuh alat musik, sebagian membawa gelang, dan seorang mendaraskan doa bagi tetamu.

Beras putih mentah yang diletakkan di piring porselen putih pun ditabur di udara. Sebagian dibagikan pada tetamu. Tetamu wajib mengambil setidaknya sebutir untuk kemudian digigit, dikunyah, dan ditelan. Beras merupakan perlambangan hasil bumi pemberian ‘Amai Tingai’ atau Sang Pencipta yang telah menciptakannya sejak semula. Beras menjadi sarana yang layak untuk para leluhur, perantara umat manusia dan penciptanya.

Setelah itu, perwakilan tamu juga diminta menginjak telur ayam. Telur ialah awal kehidupan dengan suhu yang sejuk, melambangkan ketenangan dan kedamaian bagi hidup manusia. Tradisi penyambutan lainnya yang menarik ialah adanya seorang penyambut tamu yang membawa parang. Parang ini ditempelkan ke bagian atas wajah tamu.

Jangan khawatir, itu tentu saja bukan untuk ancaman. Gestur tersebut hanyalah lambang penguatan dan peneguhan bagi jiwa dan hati manusia terhadap musuh-musuh yang melemahkan jiwa.

Seusai itu semua, seluruh tamu dikenakan gelang manik berwarna-warni di tangan kiri sebagai simbol persaudaraan. Di lain tempat, gelang warna-warni ini juga perlindungan dari hal-hal yang dianggap tidak baik. Gelang tersebut terdiri atas dua biji merah dan satu biji hitam. Konon, gelang berwarna tersebut mempunyai arti bahwa yang hitam membuat kita tidak kelihatan iblis tertentu. Sementara itu, gelang merah yang dirangkai dengan benang merah, merupakan simbol harapan agar sang pemakai selalu sehat dan selamat.

Di daerah Kalimantan Timur, setiap kita datang ke sebuah desa dan disambut secara adat, maka akan diberikan gelang atau kalung. Tradisi yang sama juga terjadi saat kami tiba di Long Tuyoq, masih di kecamatan yang sama meski jaraknya hampir 50 kilometer.


Luuq Linggang Melapeh

Beberapa hari setelahnya, kami tiba di Kampung Linggang Melapeh yang berada di Kecamatan Linggang Bigung dalam Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur. Pertama tiba, kami disambut warga setempat dengan musik dan tari-tarian di Luuq Linggang Melapeh. Luuq bisa juga disebut dengan rumah adat, atau di Kalimantan dikenal dengan lamin.

Di sini, kami mengulang tradisi memakan beras, dikenakan gelang dan kalung, dan serangkaian upacara di Luuq Linggang Melapeh yang berdiri di atas tanah dengan dimensi setidaknya 20 meter x 12 meter. Yovenalis Syahdan, Ketua Linggang Melapeh, turut menyaksikan dan menyambut tetamu. Dia juga turut mengikuti prosesi dari awal hingga akhir dengan durasi setidaknya 1 jam.

Para tamu duduk beralaskan lampit, dikelilingi penari yang jumlahnya sebanyak 20 orang. Mereka membawakan Ngelewai, tarian yang menggunakan selendang dan menjadi ucapan selamat datang bagi tamu. Para penarinya ialah ibu-ibu, remaja, dan anak-anak perempuan dengan dandanan baju khas Dayak: topi yang dilengkapi buku burung enggang, tidak lupa teratai dan pendeng baju Dayak.

Tampilan mereka cantik dengan warnawarni manik yang indah atau biji jali. Manik atau biji jali itu dirangkai dengan tangan oleh perempuan yang tinggal di daerah setempat saat senggang. Setiap daerah memiliki kekhasan, ada yang bagian tengahnya dihiasi batu hias berwarna atau diberi tambahan manik sedikit lebih panjang yang disebut mereka dengan ‘mata’.

Sesaat kemudian, orang yang ditunjuk untuk memimpin penyambutan, memulai prosesinya. Dia mengoleskan pupur atau bedak yang dicairkan kepada tamu di beberapa bagian; punggung, dada, leher samping, dan dahi. Di punggung, menurut Yovenalis Syahdan, agar mampu menyampingkan segala yang buruk; di dada agar tidak merasa ketakutan; leher samping agar yang tidak baik atau sudah lewat segera dilupakan; dan di dahi agar penerimanya selalu ingat apa yang terjadi dan selalu sadar diri.

Banyak acara adat bisa dilakukan di Luuq Linggang Melapeh ini. Tidak hanya menyambut tamu. Segala rupa kepentingan penduduk setempat kebanyakan dipusatkan di lamin yang berusia 15 tahun tersebut. Lamin ini cukup besar, setidaknya berukuran 20 meter x 12 meter, dengan tinggi 1,5 meter dari atas permukaan tanah. 

Untuk mencapainya, cukup menggunakan tangga. Terdapat tangga yang sudah modern, tetapi ada juga tangga curam dari kayu ulin yang agak licin. Penduduk setempat boleh menggunakan lamin untuk acara pernikahan, sunatan, rapat kecil, pertemuan antarpetinggi, atau bahkan pertemuan antarwarga. 

Selain Luuq Linggah Melapeh, daerah ini banyak juga dikunjungi wisatawan. Banyak tempat-tempat wisata yang masih terjaga keasriannya, seperti Danau Aco, Djantur Tabalas, Djantur Atay, dan Hutan Lindung Eno. (M-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah
Berita Lainnya