Headline
Putusan MK dapat memicu deadlock constitutional.
JAKARTA International Literary Festival (JILF) yang akan berlangsung pada 24-25 Agustus memberi kesempatan pada karya Indonesia untuk diterjemahkan ke berbagai bahasa asing. Hal itu dilakukan festival yang diinisiai Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) tersebut lewat program bernama pasar hak cipta.
Ketua komite sastra Dewan Kesenian Jakarta sekaligus kurator JILF 2019 Yusi Avianto Pareanom menyebutkan, penerjemahan karya sastra ke bahasa asing menjadi salah satu poin penting untuk perkembangan sastra Indonesia.
"Perhelatan JILF jadi salah satu ikhtiar terbesar kami untuk membantu karya sastra Indonesia memiliki suara penting dalam pergaulan internasional. Satu poin yang perlu digarisbawahi, memperbanyak penerjemahan sastra Indonesia ke bahasa lain sangatlah penting. Oleh karena itu salah satu yang akan ada dalam festival ini ialah pasar hak cipta," ungkap penulis Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi ini melalui rilis yang diterima Media Indonesia, Minggu, (23/6).
Pasar hak cipta ditujukan untuk memperkenalkan judul-judul kesusastraan Indonesia agar lebih banyak mendapat akses pembaca internasional. Selain itu, juga diharapkan mendorong lahirnya alih wahana ke medium kreatif lainnya. Selain menghadirkan pasar hak cipta, festival yang dikuratori Yusi, Eka Kurniawan, dan Isyana Artharini ini bakal menampilkan pidato kunci, simposium, lab ekosistem sastra, dan penghargaan yang bertajuk Jakarta Award.
JILF 2019 mengusung tema Pagar. Pagar dianggap menjadi cerminan fenomena peleburan batasan-batasan yang kian cair sebagai bagian dari 'global citizenship.' Selain itu, Pagar juga dapat dimaknai sebagai upaya perawatan dan pemeliharan dari semua yang telah melebur.
Sebelum memulai JILF 2019 yang dilaksanakan di Taman Ismail Marzuki, beberapa rangkaian pra acara juga telah dilakukan. Terakhir, diskusi bertema Kuasa dan Nuansa Gender yang dilaksanakan di toko buku Post, Pasar Santa, Jakarta Selatan pada Sabtu (22/6). Diskusi yang menghadirkan penulis Amanatia Junda dan Sabda Armandio ini mengangkat salah satu tema yang akan menjadi bahasan di simposium JILF.
Bias gender dalam sastra dianggap relevan sehingga menjadi isu yang penting untuk diperbincangkan. Selain itu, menurut Isyana Artharini, isu ini belum banyak dibahas dalam kajian sastra negara-negara Selatan.
"Dalam urusan kepenulisan, sejujurnya saya tidak memikirkan gender ataupun seksualitas. Bahkan dalam percobaan novel terakhir, saya berusaha menghadirkan narator aseksual yang malah terasa seperti pramesium yang punya fobia sosial," ungkap Sabda Armandio, penulis Bersama Gaspar: Sebuah Cerita Detektif. (M-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved