Headline

Manggala Agni yang dibentuk 2002 kini tersebar di 34 daerah operasi di wilayah rawan karhutla Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan.

Fokus

Sejak era Edo (1603-1868), beras bagi Jepang sudah menjadi simbol kemakmuran.

Masih Sayang untuk Dilewatkan

Abdillah Marzuqi
16/6/2019 02:30
Masih Sayang untuk Dilewatkan
Cupliman Film X-Men: Dark Phoenix(Dok. 20TH CENTURY FOX)

SETIAP pahlawan punya sisi gelap. Begitu kalimat dalam cuplikan X-Men: Dark Phoenix. Dari situ, bisalah diekspektasi tentang tema yang dilarut film ke-11 X-Men ini. Pertanyaan tentang bagaimana menggunakan kekuatan super, diimbangi usaha memanusiawikan sebuah tim superhero sebagai sebuah keluarga.

X-Men Dark Phoenix dibuka dengan suara tokoh Jean Grey (Sophie Turner) yang mempertanyakan kediriannya. Dengan suara berat, Jean bernarasi tentang identitas, hidup, dan takdir. Mengikuti jalan takdir atau menjadi lebih besar daripada takdir? Sebuah pilihan.

Jika mengharap pergulatan karakter yang bisa membuat terenyuh, bersiaplah untuk menurunkan ekspektasi. Dark Phoenix terasa lebih datar daripada seri X-Men sebelumnya.

Jean Grey yang diperankan Sophie Turner belum mampu mengaduk emosi penonton. Padahal, akan lebih menarik ketika pergolakan emosional­ saat Jean dihadapkan dengan pilihan menggunakan kekuatannya untuk kebaikan atau kejahatan. Aktingnya jauh berbeda dengan yang ia tampilkan sebagai Sansa Stark di serial populer Game of Thrones, ketika ia mampu menunjukkan kecerdasan dan kedalaman karakter.

Belum lagi ketika banyak pemain dalam film ini yang karakternya hanya numpang lewat. Tentu lebih menarik jika setiap karakter hidup dan berkelindan dengan alur cerita. Cukup disayangkan mengingat film ini didukung pelakon-pelakon berbakat, seperti Michael Fassbender (Magneto), Jennifer Lawrence (Mystique), Nicholas Hoult (Beast), Tye Sheridan (Cyclops), dan Jessica Chastain (Vuk).


Cerita landai

Kisah Dark Phoenix bermula ketika Jean Gray yang berusia 8 tahun pada 1975 tidak sengaja menggunakan telekinesis yang menyebabkan kecelakaan mobil hingga menewaskan orangtuanya. Profesor Charles Xavier kemudian menampungnya, juga memblokir kecelakaan itu dari ingatan Jean.

Semua baik-baik saja, hingga pada 1992, tim X-Men dikirim ke ruang angkasa untuk menyelamatkan pesawat antariksa yang rusak. Kejadian itu satu dekade setelah peristiwa di X-Men: Apocalypse.

Misi berhasil, tapi ada efek buruk. Jean terpapar suar matahari. Banyak yang mengira ia akan mendapati ajal. Nyatanya, energi suar surya justru terserap dalam tubuhnya. Kejadian itu yang membuat Jean mendapat julukan baru, Phoenix, burung legenda yang bangkit dari kematian.

Jean menjelma mutan paling kuat dan sayangnya sekaligus paling beringas. Sisi gelap Jean menjadi tidak terkendali. Tanpa sadar, ia menghancurkan semuanya. Sejak itulah, pergolakan dimulai.

Selama durasi film 114 menit, tidak tampak adeganyang sanggup membuat penonton menahan napas. Semua berjalan landai hingga akhir. Bahkan, Vuk, sang antagonis, tidak pernah tampak cukup culas atau berbahaya dengan ekspresi pasif sepanjang film. Hanya adegan pertempuran dahsyat yang mampu membuat mata tertuju pada layar.

Cukup mengejutkan film yang dibumbui dengan banyak karakter kuat ini sedikit meleset. Namun, tentu saja, film ini masih layak ditonton loyalis serial X-Men. Masih banyak pertanyaan yang belum terjawab. Itu jadi modal film selanjutnya. Bukankah rasa penasaran ialah daya utama yang menggerakkan kaki penonton ke bioskop? (M-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah
Berita Lainnya