Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Lebaran, Ziarah Kubur, dan Tradisi Merawat Roh Harmonisasi

Galih Agus Saputra 
16/6/2019 02:10
Lebaran, Ziarah Kubur, dan Tradisi Merawat Roh Harmonisasi
Khazanah(MI/Ebet)

ADA tradisi yang syahdu dan amat lekat di kalangan masyarakat, terutama pada saat memperingati Hari Raya Idul Fitri, yakni ziarah kubur. Tidak hanya di Pulau Jawa, penduduk yang tinggal di Palu dan Jambi juga menjalankan tradisi ini. Dalam rangka menyambut Hari Raya Idul Fitri atau Idul Adha, warga Kelurahan Petobo, Kecamatan Palu Selatan, Palu, Sulawesi Tengah, yang mayoritas ialah suku Kaili Ledo biasanya akan menjalaninya dengan sebuah prosesi yang disebut Molabe.

Molabe pada umumnya dilaksanakan sebelum ziarah dan doa di makam. Setiap kepala keluarga di suku Kaili Ledo akan menyediakan hindangan dalam sebuah talang besar sebagai bentuk puji syukur atas keselamatan yang selama ini telah diberikan. Selain dilaksanakan secara kekeluargaan di setiap rumah, Molabe juga dilakukan secara berjemaah di masjid.

"Tradisi yang dilakukan secara turun-temurun oleh suku Kaili Ledo di Lembah Palu dan Sigi menyambut Idul Fitri dan Idul Adha ini sebagai bentuk syukuran atas nikmat yang diberikan hingga bertemu dengan hari tersebut," kata Ketua MUI Kota Palu, H Zainal Abidin.

Dalam proses pelaksanaannya, talang besar yang dibawa setiap kepala keluarga dalam suku Kaili akan diisi beras pulut yang telah masak, kemudian dibungkus dengan daun kelapa (kalopa). Selain itu, mereka juga membawa nasi pulut satu piring, air putih satu gelas, pisang masak satu sisir, dan daging dalam sebuah piring kecil. Talang besar, yang dalam suku Kaili juga disebut bakii itu kemudian diletakkan di depan orang-orang yang hendak membaca doa.

Suku Kaili biasanya juga mengundang imam masjid untuk membacakan doa dalam upacara Molabe. Momen itu juga menjadi kesempatan untuk saling memaafkan setelah menunaikan ibadah salat Idul Fitri, sebelum pada akhirnya masyarakat suku Kaili pergi berziarah ke makam keluarga untuk menyiram makam sekaligus membacakan doa atau tahlil bagi para leluhurnya.

"Tradisi ini baik, tidak bertentangan dengan ajaran Islam, dan perlu dipertahankan. Ini menunjukkan hubungan persaudaraan tidak hanya saat masih hidup, tapi juga setelah wafat," imbuh Zainal.

Sementara itu, tradisi ziarah kubur di Provinsi Jambi biasanya ramai dilakukan sejak hari pertama hingga hari ketiga perayaan Hari Raya Idul Fitri. Hal itu biasanya ditandai dengan masyarakat yang datang silih berganti sejak pagi hingga sore hari, bahkan tidak jarang terlihat pula dari mereka yang datang jauh hari setelah Lebaran, dan jauh pula dari tempat tinggal yang didiaminya saat ini.

Saat di permakaman, peziarah biasanya akan membaca Surah Yasin dan tahlil, serta membersihkan makam kerabat atau sanak saudara yang terlihat kotor. Pada hari pertama perayaan Idul Fitri 1440 H misalnya, ratusan masyarakat tampak memadati permakaman yang ada di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Al Karomah, Jambi. Seusai pelaksanaan salat Idul Fitri, sejumlah keluarga secara berangsur mendatangi tempat permakaman itu dan tak jarang membuat lalu lintas menjadi semakin padat.

"Saya sekarang tinggal di Kabupaten Sarolangun, setiap tahun selalu mudik karena ingin ziarah ke makam orangtua. Saat ini hanya doa yang dapat kami panjatkan untuk orangtua yang telah meninggal," kata salah satu peziarah, Hairul.

 

Tradisi

Menyoal ziarah ke makam para leluhur menurut antropolog Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Argo Twikromo, sebagai tradisi yang diwariskan secara turun-temurun sejak zaman dahulu walaupun dalam perkembangannya juga kerap kali mengalami pembaruan.

Ketika melihat ziarah kubur, Argo juga menganggap hal itu memiliki hubungan dengan bagaimana kedekatan manusia dengan pendahulunya atau dalam arti bagaimana manusia menghargai jasa maupun pengalaman bersama mereka yang telah lebih dahulu meninggalkan dunia.

"Jadi, tidak hanya menjadi simbol tradisi yang diwariskan secara turun-temurun, tapi juga bagaimana cara kita menghargai asal-usul kita dari para orangtua. Tanpa mereka, kita tidak bisa terlahir seperti hari ini. Memang dalam konteks hari ini, hal itu bisa dibalut dengan berbagai macam hal, misalnya, dalam ritus keagamaan, hal itu bisa disebut sebagai doa. Akan tetapi, sesungguhnya hal itu dapat dimaknai sebagai cara kita mengenang kebaikan, kerinduan, cara minta maaf, hingga mengenang segala macam hal yang terkait dengan kehidupan," tuturnya.

Apabila diamati secara lebih dalam, menurut Argo, orang-orang yang pergi berziarah itu pada dasarnya selalu mengedepankan unsur kedekatan personal. Selain menaruh rasa hormat kepada orang-orang yang masih hidup, mereka juga hormat kepada orang-orang yang sudah meninggal. Hal tersebut pada akhirnya menjadi simbol keseimbangan, yakni manusia tidak hanya dekat dengan sesama, tapi juga dengan leluhur dan alam sekitarnya. "Banyak hal tersimbolkan dalam tradisi itu," katanya.

 

Harmonisasi

Cara manusia menghargai sesama, leluhur, dan alam sekitar yang dimaksud Argo itu bukan berarti dapat dikatakan sebagai sebuah pemujaan, sebagaimana yang sering salah ditafsirkan orang-orang. Manusia pada dasarnya hanya ingin hidup selaras atau seimbang, yang mana hal itu terkadang dapat dijumpai dalam momen-momen tertentu.

"Memang sekarang ini bisa kita lihat sedang banyak terjadi konflik. Namun, sekali lagi, dengan datangnya momen Lebaran, ziarah kubur, dan segala macam itu, kita semua menjadi rela untuk meninggalkan permusuhan dan kembali lagi menghargai satu sama lain. Adanya relasi historis, religius, kedekatan personal, persaudaraan, kekerabatan, semuanya kempal dalam satu momen itu," tutur Argo.

Tradisi lokal yang berkembang di Indonesia pun sebenarnya juga selalu peka atas keseimbangan yang dimaksud Argo. Mereka selalu punya benang merah yang dapat dikaitkan dengan usaha untuk mengelola konflik. Mereka selalu punya cara untuk merawat kehadiran 'roh' harmonisasi.

Dalam satu contoh kasus, seseorang dalam suku tertentu bisa dibilang tidak suka dengan saudaranya atau suku lainnya dan begitu pula sebaliknya. "Akan tetapi, ketika datang Lebaran, konflik itu kemudian dikelola hingga terlebur atau seperti yang orang-orang bilang menjadi 'nol' lagi. Oleh karena itu, dalam hemat saya, jika tidak ada Lebaran, konflik-konflik itu boleh dibilang akan semakin kuat, menumpuk, dan jika ada satu kali ledakan akan bisa sangat berbahaya. Momen-momen kebersamaan, momen ziarah kubur itu sangat lekat dengan bagaimana cara masyarakat mengelola kehidupannya agar dapat mencapai sebuah titik yang disebut 'harmoni'," tutur Argo. (Ant/M-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah
Berita Lainnya