Headline
Nyanyi Bareng Jakarta (NBJ) terinspirasi dari komunitas serupa di luar negeri yang mewadahi orang bernyanyi bersama tanpa saling kenal.
Nyanyi Bareng Jakarta (NBJ) terinspirasi dari komunitas serupa di luar negeri yang mewadahi orang bernyanyi bersama tanpa saling kenal.
Seperti Laron
Seperti laron cintaku
berpusar-pusar mengelilingi cahaya
Maka jangan padamkan lampumu
agar laron tak berjatuhan kehilangan arah
Salam Hujan kepada Kata
Tumbuhlah kalian setelah turunku
Tumbuhlah dengan darahku
Berbungalah dengan rinai kebahagiaanku
Berbuahlah dengan deras cintaku
Izinkan aku menjadi sebab yang ditunggutunggu
Kalinyamatan, 2012
Si Pencari
Sunyi menelanku hingga hilang
dalam gelap aku merindukan kunang-kunang
menuntunku pada rindumu
Namun ketika sampai pada keramaian
tersesat aku kehilangan cahayamu
membuatku terjatuh
seperti laron-laron ketika kehilangan sinar
Haruskah aku terus mengejarmu?
sedangkan aku bukanlah angin yang tak bisa diam?
Namun tiada bisa kuingkari
aku sangat butuh tempat labuh
sebab kaki-kakiku amatlah rapuh
Rindu Hujan
Hujan sore menggambar
wajahmu di kaca-kaca
penuh leleran air mata
dan kumpulan peta-peta
Rumah Tangga Sunyi
Sunyi, selalu mempunyai caranya sendiri untuk aku
bercengkerama dengannya, mengenali setiap ceruk
celah keindahannya, hingga akhirnya aku jatuh
cinta kepadanya. Sekian lama kami telah menjalin
hubungan diam-diam. Dari hubungan gelap itu, telah
lahir anak-anak luar biasa yang setiap detik selalu
menyuarakan kegundahan-kegundahan kami dalam
menjalani hidup.
Kalinyamatan, 2012
Batu ini Berlumut
Bagaimana aku tak menjadi batu dalam waktu
bila dirimu tak juga berkabar tentang rindu lewat
angin
Bagaimana batu ini tak berlumut dalam hujan
bila galau selalu menebar benih di musim penantian
Bagaimana bunga bisa mekar di atas batu
jika akar-akarnya hanya menempel pada permukaan
Bagaimana aku bisa menjamu keinginanmu
jika kau hanya terpaku menatapku di ujung sana
Mei, 2011
Kemerdekaan
Telah sekian tahun aku terkungkung cangkang yang
menutup penglihatan menulikan pendengaran
dan menghalangi gerak kaki. Telah sekian tahun
pikiranku dibatasi bahwa dunia ini begitu sempit dan
membosankan.
Retak cangkang kemudian memberiku celah cahaya
yang membuka mata bahwa ada dunia luar di sana
yang begitu luas lebih besar dari cangkangku. Dengan
keberanian yang sekian tahun terkurung kudobrak
cangkang itu. Kupunguti serak kulit yang membuatku
terkungkung sekian tahun. Inikah kebodohanku?
Dan, setelah sekian masa aku berjalan di luar kulihat
jua ribuan cangkang yang belum menetaskan
kemerdekaan. Apakah aku mesti bersyukur? Meski
sekian masa tak jua kutemukan batas langit yang
menyerupai cangkang raksasa. Benarkah kebebasan
itu ada? Ataukah hanya sekadar mimpi mereka yang
tengah bosan dan kecewa?
Dengan kemerdekaan ini. Setidaknya aku tahu, sayap
ini memang diciptakan untuk terbang mengukur luas
angkasa.
Rejosari, 11 Juni 2018
Jangan Lupa Hidup
Kamu sudah bahagia belum?
Mari, aku pinjami sehat hari ini
sebelum sakit besok
Jangan lupa cicipi senyum
sebelum sedih merampas bibir
Kau juga harus bersenang-senang di masa mudamu
Sebelum semuanya keriput, layu, dan tak menarik lagi
Jangan lupa hidup
sebelum mati
Sebab mati juga butuh hidup
Rejosari, 2018
Langit sedang Hujan
“Kenapa Kau jadikan aku hanya memberi
tanpa bisa menikmati?”
“Karena kau hanya kami titipi,”
awab suara dari seberang
_____________________________________________________
Adi Zam Zam, lahir di Jepara, 1 Januari 1982. Beberapa
cerpen dan puisi dipublikasikan di Bahana Sastra-nya
RRI Pro II Semarang pada 2002. Dia masuk dalam kategori Unggulan Lomba Cerber Majalah Femina 2014/2015.
Juara 1 Lomba Cerpen Kategori C (Umum, Guru, Dosen,
Pengarang) Green Pen Award 3 Perum Perhutani 2016,
dan masuk nominasi lomba cerpen Krakatau Award
2018.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved