Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Tembang Kehidupan untuk Perdamaian

Galih Agus Saputra
12/5/2019 08:30
Tembang Kehidupan untuk Perdamaian
Ilustrasi MI(MI/EBET)

PERSERIKATAN Bangsa-Bangsa (PBB), 20 tahun lalu, pernah menggagas 'tahun perdamaian dunia' yang ditandai dengan perayaan 'The International Year for the Culture of Peace'. Salah satu agenda resminya berlangsung di Bali pada 1999, yang ditandai dengan perhelatan bertajuk 'Sacred Rhythm: The Millennial Percussion for Unison'. Misi utamanya ialah untuk menyuarakan perdamaian dunia. Bukan hanya menyoal personal, melainkan juga memadukan persoalan masa lalu dan masa kini, sekaligus pemikiran dan praktis tradisional-modern-kontemporer dalam sebuah integrasi lintas etnik, kepercayaan, gender, dan generasi.

Berangkat dari latar belakang itu, sejumlah tokoh, seperti alm Serrano G Sianturi, Stephen Hill, Stomu Yamash'ta, Philipe Delanghe, I Nyoman Astita, alm Umar Kayam, alm Nurcholish Madjid, alm Roby Soelarto, Franki Raden, dan Tony Rudyansyah, lantas menggagas sebuah yayasan bernama 'Sacred Bridge'. Pada 2000, yayasan tersebut bahkan diakui sebagai rekan budaya (cultural counterpart) UNESCO, yang mana memiliki serangkaian agenda kebudayaan untuk mengabarkan perdamaian di dunia.

Namun, cita-cita mulia itu tampaknya tak selalu berbanding lurus dengan mimpi yang dikehendaki. Bahkan, hingga hari ini perpecahan masih terjadi dan masih banyak agenda perdamaian yang harus dijalani. Oleh karena itu pula, sekelompok anak muda kemudian mengambil alih 'Sacred Bridge' untuk meneruskan beberapa agenda kebudayaan yang masih tertunda. Mereka masih berjalan dengan semangat yang sama, yaitu 'kesetaraan', 'simbiosis mutualisme', 'kejujuran' dan 'komitmen akan nilai-nilai persatuan' yang dipercaya cukup ampuh untuk menjadi landasan meraih masa depan, sekaligus merayakan kehidupan.

Secara konkret, sekelompok anak muda itu kemudian meneruskan agenda para pendahulu yang tertunda dengan menggelar pertunjukan bertajuk ‘Sacred Rhythm: Reborn Unison, Celebrate Life’ yang berlangsung di Museum Nasional Indonesia, pada Sabtu (26/4) lalu. Dalam gelaran itu, mereka menampilkan sejumlah karya, termasuk lagu yang dibawakan Canang 7 Atjeh Ensamble, Gado-Gado Ensambal, I Nyoman Astita, Made Agus Swardana, dan diiringi tarian dari Namarina Youth Dance.

 

Tradisi dan ilmu pengetahuan

Setidaknya, ada delapan lagu yang dipentaskan dalam ‘Sacred Rhythm: Reborn Unison, Celebrate Life’ malam itu, dari Ayat Tujoeh, Kotekan, Cosmic Gamelan, Tenun, Gondang, Genggong (Bungkak Sari), dan Cosmic Vibration, serta Celebration. Personel Gado-gado Ensambal, Ginastera Sianturi (akrab disapa Boo Boo), sempat meluangkan waktu untuk bertemu Media Indonesia demi menuturkan kisah di balik sejumlah lagu itu. Selanjutnya, Boo Boo menceritakan bahwa Kotekan diambil sebagai lagu pembuka karena ia dan kawan-kawan ingin mengusung kembali (revisiting) karya yang diciptakan Serrano G Sianturi pada 1982.

"Beliau dulu belajar masternya di luar negeri, tapi nuansa musiknya masih kental dengan Bali. Ini sangat penting sekali bagi Indonesia, bukan hanya dalam hal pengembangan lagu, tapi kemudian juga berpengaruh terhadap proses belajar mengajar gamelan di luar negeri. Kotekan ini juga salah satu karya beliau yang ditulis dengan notasi barat, padahal alat musiknya gamelan. Artinya apa, ada perpaduan budaya di sini, yang tradisional bertemu dengan science atau dalam hal ini musik. Bahkan tidak hanya itu, notasi gamelan ini juga sempat saya bawakan bersama teman-teman di London menggunakan gitar," tuturnya.  

Cukup menarik karena lagu yang dibawakan Gado-Gado Ensambal juga bercerita tentang salah satu produk kebudayaan Indonesia, yaitu kain tenun. Dalam pementasan ini, Istri I Nyoman Astita, Ni Putu Lastini, bahkan turut tampil menjadi penari yang memperagakan teknik menenun sambil diiringi musik Gado-Gado Ensambal.

Tenun sendiri, kata Boo Boo, merupakan lagu yang diciptakan secara kolektif oleh musisi yang tergabung dalam Gado-Gado Ensambal. "Kita ibaratnya saling mengisi dan ini sesuai dengan semangat di 'Sacred Bridge'. Kita selalu ingin memperkaya satu sama lain, bukannya malah saling mendominasi. Apalagi dalam pandangan umum (common ground) berkesenian di Indonesia sendiri selama ini juga mengenal prinsip demikian. Di mana pelaku, atau produk kesenian memiliki keterikatan (interconnectivity) dengan pelaku, atau produk kesenian lainnya," imbuh musikus berambut gondrong itu.

 

Alam dan kemenangan

Ada kisah unik di balik terbentuknya kelompok musik Gado-Gado Ensambal. Boleh dibilang, seluruh personel dalam kelompok itu ialah penggemar masakan pedas, dan oleh karena itu mereka kemudian menyelipkan pelesetan kata Ensambel menjadi Ensambal dalam nama Gado-Gado Ensambal.

Sambal sendiri di mata Boo Boo merupakan salah satu citra kultur masyarakat Indonesia yang mana suka dengan masakan pedas, dan barangkali banyak orang yang mau bersepakat bahwa negara di dataran tropis itu memiliki bentang alam yang cukup indah, sehingga memantik Boo Boo dan kawan-kawan untuk menciptakan sebuah lagu yang bercerita tentang kekayaan alam berjudul Gondang.

Gondang, kata Boo Boo, ialah lagu yang menceritakan imajinasi perjalanan laut dari Banda Neira ke Danau Toba. "Awalnya, lagu ini sebenarnya dari main bareng (ngejam) di dapur. Ada kawan kita namanya Mita Alwi dan Anwar Badilah. Kita biasanya masak bareng di London, lalu makan sambil bawa alat musik, setelah itu kita main bareng. Tapi waktu itu saya diam-diam saya rekam. Iseng sebenarnya, terus waktu pulang saya dengar lagi, lo, kok ternyata ada warna baru yang rasanya belum pernah saya temukan. Kaget kan saya, apalagi lagu jamming ini ternyata memiliki struktur, tidak seperti jamming kita biasanya. Awalnya ada lagu tradisi dari Banda Neira, kemudian iringan dari Toba. Inilah yang rasanya seakan-akan kita lagi berlayar dari Banda Neira menuju Danau Toba, hingga jadilah lagu yang kita mainkan malam ini," tutur Boo Boo.

Suasana kemudian menjadi terasa lebih khidmat kala puncak acara. Kini, giliran Boo Boo memainkan gamelan ketika Gado-Gado Ensambal membawakan lagu Celebration. Ketika ditanya, apa pesan yang ingin disampaikan melalui lagu tersebut, Boo Boo mengaku kesulitan untuk menjelaskannya. Menurutnya, lagu tersebut terinspirasi dari kata-kata yang selalu diucapkan salah satu Pendiri Sacred Bridge, mendiang Serrano, yaitu "let's celebrate life with joy (baca: mari rayakan hidup dengan sukacita)". Lantaran punya kenangan dengan kata-kata itu, Boo Boo lantas menginisiasi karya tersebut untuk dipentaskan dalam ‘Sacred Rhythm: Reborn Unison, Celebrate Life.

"Dibuatnya juga secara kolektif, terngiang-ngiang kata-kata almarhum itu lalu munculah irama-irama yang kemudian jadi lagu. Awalnya pun juga tidak punya lirik. Lirik kemudian diambil dari puisi yang ditulis oleh direktur program acara ini, Bintang Perkasa," tutur Boo Boo, yang mengaku sangat puas dengan jalannya pertunjukan malam itu.

Pascaacara ‘Sacred Rhythm: Reborn Unison, Celebrate Life ini, para penerus Sacred Bridge kemudian hendak menggagas puncak acara ‘Sacred Rhythm: Reborn Unison’ pada akhir 2019 mendatang. Para penerus juga enggan mengomersialkan seluruh agenda ini karena sadar bahwa siapa saja berhak terlibat dalam sebuah pesta untuk merayakan kemenangan, kehidupan, dan perdamaian. (M-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya